
Resolusi Anti-Islamophobia
Dari Revolusi Prancis lahirlah konsep liberalisme individualisme yang sekuler. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuasaan mutlak atas nasibnya sendiri, bebas dari tekanan kekuasaan negara dan gereja.
Semangat liberalisme individualisme sekuler ini menular luas ke seluruh Eropa dan Amerika. Semangat ini pula yang mengilhami PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) menyusun Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) pada 1948.
Deklarasi HAM disebut sebagai deklarasi universal yang harus berlaku di seluruh penjuru dunia. Deklarasi itu dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan karenanya kalangan Islam menolaknya. Tetapi, sekarang PBB mengeluarkan resolusi anti-islamophobia yang membela hak-hak Islam dari kesalahpahaman Barat.
Luka lama akibat penjajahan kolonialisme-imperialisme Barat terhadap Timur selama ratusan tahun akan menjadi luka yang tak bakal mudah disembuhkan. Barat tidak pernah merasa perlu meminta maaf atas perlakuan itu. Bahkan Barat merasa bahwa penjajahan merupakan kewajiban Barat untuk membuat Timur maju dan beradab. Rudyard Kipling menyebutnya penjajahan itu sebagai “White Man’s Burden”, kewajiban manusia kulit putih terhadap bangsa kulit berwarna.
Justifikasi Kipling terhadap kolonialisme dan imperialisme ini dikecam keras oleh Edward Said. Menelaah hubungan sastra dengan imperialisme, Said mengatakan bahwa karya-karya seni dan sastra Barat secara sengaja telah menjadi bagian dari propaganda Barat untuk menjadi pembenaran penjajahan Barat atas Timur. Karya-karya film Hollywood sampai sekarang banyak yang menjadi propaganda pembenaran superioritas Barat atas Timur.
Demo yang luas terhadap Rasmus Paludan adalah pelampiasan kekecewaan atas kejahatan penjajahan Barat selama ratusan tahun yang tidak pernah berhenti dan tetap berlanjut sampai sekarang.
Islamophobia Indonesia
Di Indonesia benturan itu masih selalu bermunculan. Salah paham dan kecurigaan terhadap Islam meluas menjadi islamophobia yang mendalam. Seorang gurubesar seperti Budi Santoso bisa membuat unggahan yang tidak sensitif terhadap umat Islam.
Menyebut hijab sebagai pakaian manusia gurun adalah tindakan yang tidak sensitif yang menunjukkan pola pikir yang tidak akomodatif terhadap perbedaan budaya. Hijab yang menjadi identitas wanita muslim sering dilecehkan sebagai pakaian gurun karena bagian dari budaya Timur Tengah.
Budaya dan agama tidak bisa dipisahkan. Akulturasi budaya di Indonesia terjadi karena pengaruh agama. Peci yang menjadi ciri nasional Indonesia juga dipakai oleh orang-orang India dan Pakistan. Sarung yang menjadi salah satu pakaian khas santri juga dipakai oleh orang-orang Hindu dan Budha di India.
Bahasa Indonesia banyak sekali menyerap Bahasa Arab karena akulturasi. Lembaga tertinggi di Indonesia ‘’Dewan Perwakilan Rakyat’’ dan ‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat’’ menyerap namanya dari bahasa Arab.
Ungkapan ‘’alhamdulillah’’ dan ‘’insyaallah’’ sudah menjadi bahasa sehari-hari yang tidak mungkin diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Ungkapan-ungkapan itu bukan ‘’bahasa langit’’ tapi sudah menjadi bahasa pergaulan sehari-hari.
Prof Suteki dari Universitas Dipinegoro memperkenalkan istilah ”profesor otak kecil” atau ”Ocil” untuk menyebut akademisi bergelar guru besar tapi cara berpikirnya sempit.
Mungkin Budi Santoso termasuk di dalamnya? Terserah Anda. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post