Idul Fitri: Resolusi Proklamatik oleh Daniel Mohammad Rosyid, guru besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jatim.
PWMU.CO– Kerusakan lingkungan fisik, perang dan perebutan sumber-sumber daya alam, kemiskinan dan kesenjangan sosial yang persisten, serta deformasi kehidupan bersama di keseluruhan planet ini adalah rangkaian bukti bukan sekadar failed states tapi juga failed global system.
Kita tidak hanya menghadapi ancaman keruntuhan ekosistem akibat global warming, kita kini juga menghadapi ancaman perang nuklir yang dipicu sebagian oleh intervensi militer Rusia ke Ukraina.
Dalam skala nasional kita sedang menghadapi krisis konstitusi, setelah terjadi kudeta konstitusi melalui serangkaian amandemen atas UUD45, dan maladministrasi publik melalui pembuatan undang-undang dan interpretasinya untuk kepentingan elite penguasa, bukan untuk kepentingan publik.
Hampir seratus tahun kita mengadopsi sebuah sistem global sekuler setelah keruntuhan Khilafah Turki Usmani pada 1924. Segera kekhilafahan Islam itu digeser oleh Pax Britanica, lalu ke Pax Americana.
Pada saat hegemoni AS berangsur surut oleh kebangkitan China, dunia tidak menjadi lebih baik dan damai, tapi peperangan justru makin menjadi dengan persenjataan yang makin mampu membunuh secara massal hingga dua dekade abad 21 ini.
Kemerdekaan abadi dan keadilan sosial yang dijanjikan oleh PBB dan semua perangkatnya itu gagal diwujudkan, bahkan disertai dengan kerusakan lingkungan yang makin parah.
Yang terakhir adalah pukulan pandemi Covid-19 yang telah mengubah trajektori sejarah peradaban itu serta membuka peluang resetting of the world order. Dari perspektif Indonesia, berbeda dengan harapan awal operator perang biologis ini, pandemi ini perlu dilihat sebagai peristiwa yang telah membuka peluang baru bagi kebangkitan dari keterpurukan multi-dimensi ini.
Nekolimisasi atas negeri ini sejak proklamasi harus segera diakhiri. Melalui momentum Idul Fitri ini kita dengan berbekal takwa kita mulai melakukan reproklamasi kemerdekaan kita. Indonesia Islam berpeluang besar untuk mengonsolidasikan ASEAN sebagai kekuatan baru mengantisipasi prospek kebangkitan Pax Sinica.
Dalam rangka memitigasikan learning loss yang berpotensi mengubah bonus demografi menjadi bom demografi, maka dari perspektif Shaum Ramadhan sebagai syahru madrasah dalam rangka mendidik bangsa berkarakter al-Quran, maka reproklamasi itu harus dimulai dengan rekonstruksi sistem pendidikan nasional yang selama 70 tahun dirancang sebagai instrumen teknokratik untuk menyiapkan bangsa jongos untuk mengeksploitasi alam semesta ini.
Tidak sekadar dengan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, tapi Sisdiknas perlu dirancang ulang sebagai platform Belajar Merdeka untuk menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka.
Agar lebih robust menghadapi berbagai external shocks, kita perlu bebaskan Sisdiknas dari dominasi persekolahan yang formalistik supply-driven, outside-in, menjadi sebuah learning cybernetics yang informal, lentur, demand-driven, dan inside-out.
Sistem Belajar Merdeka ini akan bertumpu pada keluarga, dan masyarakat, sementara persekolahan hanya bersifat melengkapi dan menambahi saja. Sistem pendidikan nasional dirumuskan kembali sebagai sebuah strategi budaya untuk membangun bangsa berjiwa merdeka, bukan sekadar instrumen teknokratik untuk menyediakan buruh yang cukup terampil menjalankan pabrik.
Membangun adalah memperluas kemerdekaan, bukan sekadar mengadakan sarana dan prasarana fisik melulu.
Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang, pertama, jujur, amanah, cerdas dan peduli sebagai jati diri atau fitrah bangsanya yang.
Kedua, kompeten mentransformasikan negeri yang dirahmati dan diberkati Allah swt melalui sikap takwa, syukr, rusyd (Al Baqarah 183-187) dan shabr dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga, berbangsa dan bernegara serta dalam pergaulan global.
Melalui kemampuan pengendalian syahwat perut dan kelamin dalam diklat Ramadhan sebagai platform mlungsungi itu, kita tinggalkan kerak-kerak dusta, khianat, kejahilan, dan ketidakpedulian itu menjadi manusia fitri yang jujur, amanah, cerdas dan peduli untuk lahir kembali sebagai bangsa yang merdeka yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Pada saat kudeta konstitusi telah mengarah pada krisis konstitusi, bagi umat Islam, Idul Fitri dengan demikian bisa dimaknai sebagai sebuah resolusi dan reproklamasi sebagai bangsa yang merdeka.
Gunung Anyar, 2 Mei 2022
Editor Sugeng Purwanto