PWMU.CO– Kisah Jalaluddin Rumi dalam kitab Fiihi maa Fiihi menceritakan, ulama besar dari Samarkand tahun 604 Hijriyah atau 2207 Masehi itu berdialog dengan penguasa dari Rum, sebutan untuk Turki di masa itu.
Berkata penguasa Rum itu, ”Pada zaman dahulu orang menyembah berhala dan bersujud kepadanya. Kini kita melakukan hal yang sama. Kita pergi bersujud kepada bangsa Mongol. Kita pergi melayani mereka. Namun di luar pelayanan yang kita lakukan kepada mereka itu, dalam hati kita masing-masing, ternyata kita memiliki berhala-berhala lainnya, seperti ketamakan, hasrat nafsu, dendam, dan kedengkian, yang sadar atau tidak, semua kita patuhi. Lalu masih pantaskah kita mengaku sebagai muslim?”
Jalaluddin Rumi menjawab,”Namun ada yang berbeda di sini. Dalam pikiranmu terlintas pandangan bahwa perilaku semacam itu sungguh buruk dan tidak bisa diterima. Itu terjadi karena mata hatimu telah melihat sesuatu yang agung sehingga kau bisa menunjukkan mana yang baik dan mana yang keji. Air asin akan terasa asin bagi lidah yang pernah mereguk air manis. Sesuatu menjadi jelas setelah melihat kebalikannya. Allah menanamkan cahaya iman dalam jiwamu, sehingga kau bisa melihat hakikat sebuah perbuatan.”
Itulah dialog kisah Jalaluddin Rumi penguasa Rum yang digambarkan dengan jelas dalam mukadimah khotbah Idul Fitri oleh Ustadz M. Idris Shaleh di lapangan mushala Dusun Aengnyior, Desa Lobuk, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Senin (2/5/2022).
Ustadz Idris menjelaskan, penguasa Rum melihat berhala-berhala dalam diri manusia. Sementara Rumi melihat masuknya cahaya ilahiyah ke dalam jiwa penguasa sehingga ia mampu membedakan dua hal yang bertentangan dan mengambil sikap atasnya.
”Jika ini dihubungkan dengan puasa Ramadhan, percakapan ini memiliki relevansi yang sangat tinggi. Setidaknya ada dua pelajaran tentang dua kesadaran yang bisa kita petik darinya,” tegas Ustadz Idris.
Kesadaran pertama, kesadaran penguasa akan adanya berhala-berhala dalam diri manusia. Sebuah kesadaran simbolik kerentanan manusia untuk jatuh ke dalam fatamorgana dunia. Berhala itu berwujud ketamakan, sulit bersyukur, kecemburuan individual dan sosial, atau perasaan tak pernah puas dalam memenuhi dahaga atas hasrat duniawi.
Namun apakah tepatnya berhala-berhala dalam diri kita itu, hanya masing-masing kita yang mengetahuinya. Tentu melalui perenungan dan refleksi diri yang mendalam.
”Singkat kata aneka berhala itu karena kecintaan yang berlebihan pada hal-hal yang berbau duniawi. Kecintaan kepada perempuan-perempuan, anak-anak, harta emas dan perak, kuda pilihan (kendaraan), sawah ladang dan binatang ternak, sebagaimana termaktub dalam surat Ali Imran ayat 14,” urai Ustadz Idris.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.
Kesadaran Situasi
Kesadaran kedua yaitu kesadaran situasi. Manusia harus menyadari keadaannya lebih baik dari keadaan sebelumnya. Perlu refleksi ke dalam dan ke luar. Refleksi ke dalam, berarti puasa mengajak orang-orang beriman untuk melakukan refleksi tentang berhala-berhala yang melekat pada diri manusia.
Jika berhala-berhala itu sudah diketahui, maka harus dibuat upaya pelemahan atau bahkan penghancuran melalui riyadhah atau latihan mengendalikan diri, terutama dengan puasa Ramadhan.
Sedangkan refleksi ke luar, sambung Ustadz Idris, puasa akan membangun kepekaan sehingga muncul empati dan solidaritas sosial. Puasa mengandung makna hakiki kepedulian kepada sesama.
”Karena kepedulian sosial ini terkadang sulit diwujudkan oleh sebagiian orang jika tidak dialami langsung, maka puasa memberikan pengalaman itu secara langsung,” tutur ustadz muda ini.
Menjaga Tradisi
Usai shalat Idul Fitri, jamaah bersalam-salaman. Tidak ada yang pakai masker kecuali empat orang. Harap maklum, ini negeri tanpa corona, julukannya. Jangankan di musim landai seperti saat ini, di waktu masih mencekamnya penyebaran virus corona varian alfa dan delta, semua masih sama. Seperti tidak ada pandemi. Tak ada prokes.
Usai bersalaman semua jamaah duduk melingkar. Menunggu kaldu. Makanan gulai kacang hijau campur daging sapi yang rasa gurih dan hangat. Para jamaah makan sambil bersenda gurau. Tak ada obrolan tentang minyak goreng yang membuat emak-emak menjerit. Inilah hari raya, waktunya bergembira. Ini tradisi setiap hari raya.
Penulis Ernam Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post