UU Anti Islamofobia oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Islamofobia sebagai sikap takut berlebihan kepada Islam ternyata semakin merajalela di negeri ini. Ironinya terjadi di negara Republik Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Tokoh dan kelompok Islamofobis menggonggong terus dengan indikasi mereka adalah peliharaan atau di bawah kendali orang kuat rezim berkuasa.
Islamofobia di Indonesia adalah buntut dari clash of civilization dalam skala dunia di mana Barat berupaya untuk menggempur dan melumpuhkan kekuatan Islam di berbagai belahan dunia. Afghanistan Irak, Suriah, Bahrain, Yaman diporakporandakan. Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab dipegang dan dikendalikan. Terorisme menjadi isu strategis untuk menakut-nakuti.
Negara Asia Tenggara tidak terkecuali. Aksi teror seakan marak yang sebenarnya diragukan keasliannya. Selalu ada pemain peran di sana karena aksinya tidak rasional, tak jelas target, serta jaringan yang abu-abu.
Framing al-Qaida, ISIS, JI, JAD, dan sejenisnya dibutuhkan untuk membangun keterkaitan. Setelah pembiayaan meredup, Islamofobia muncul dalam bentuk isu radikalisme, intoleransi, atau moderasi. Islam dan umatnya dirusak citranya.
Buzzer dan penista agama berada di front depan Islamofobia. Dibanding terorisme maka isu radikalisme dan intoleransi itu lebih murah dan mudah koordinasinya. Soal daya rusak mungkin masih sama dan sebanding. Bahkan lebih. Intinya pelumpuhan dan memecah belah umat Islam. Sekulerisasi dan liberalisasi sebagai penunggang program moderasi dan anti intoleransi.
UU Anti Islamofobia harus segera dibuat dengan seperangkat sanksi atas pelanggarannya. Alasan strategisnya adalah
Pertama, dunia mulai mengubah framing Islamofobia. Amerika memproduk UU penghapusan Islamofobia. PBB mengeluarkan Resolusi dan menetapkan 15 Maret sebagai Hari Perlawanan Islamofobia.
Kedua, di Indonesia kebijakan Islamofobia sangat kontra-produktif terutama dalam membangun integrasi bangsa. Memusuhi umat Islam adalah kebijakan bodoh dan zalim. Diskriminatif dan sangat melanggar HAM.
Ketiga, jangan biarkan penghina agama dan buzzer bayaran bergerak bebas menciptakan kegaduhan dan keonaran baik di media maupun di masyarakat nyata. Penghina dan buzzer adalah makhluk jahat yang harus dibasmi.
Keempat, watak neo PKI dan pendukung komunis selalu memojokkan agama dan menjadi pemanfaat Islamofobia. Musuh abadi PKI dan komunis adalah umat beragama khususnya umat Islam.
Kelima, UU yang ada termasuk pasal penodaan agama KUHP tidak cukup kuat untuk menghapuskan Islamofobia. Semakin banyak dan beraninya kaum Islamofobis kini menjadi bukti bahwa ancaman pasal-pasal yang ada kurang bermakna dan tidak berefek jera.
UU Anti Islamofobia dibuat untuk menciptakan kerukunan dan mengokohkan integrasi bangsa. Mendorong umat Islam untuk memaksimalkan peran konstruktif dalam membangun negeri. Kenyamanan dan perlindungan menjadi prasyarat agar umat lebih banyak berbuat.
Aspek filosofis dan sosiologis sudah cukup mendasari keberadaan UU Anti Islamofobia. Tinggal yuridisnya yakni prosedur pembentukan UU tersebut. Hebat jika RUU diajukan oleh pemerintah akan tetapi baik pula jika RUU ini adalah inisiatif DPR.
Persoalan Islamofobia menjadi momen pemerintah dan DPR untuk memperbaiki citra dan meningkatkan kinerja.
UU Anti Islamophobia adalah tuntutan agama, bangsa dan negara. Demi kebaikan bersama. Untuk Indonesia. (*)
Bandung, 6 Mei 2022
Editor Sugeng Purwanto