PWMU.CO– Sejarah halal bihalal, silaturrahmi dan Lebaran kupat dibahas dalam Pengajian Ahad Pagi oleh Drs KH Dawam Sholeh di Masjid At-Taqwa Perguruan Muhammadiyah Giri Kebomas Gresik, Ahad (15/5/2022).
Pengajian bulanan ini diselenggarakan Majelis Tabligh PCM Kebomas. Pengasuh Pondok Pesantren al-Ishlah Lamongan ini mengisahkan awal istilah halal bihalal yang dipopulerkan Presiden Indonesia pertama Ir Sukarno atas usulan KH Abdul Wahab Chasbullah, Kiai Nahdlatul Ulama anggota penasihat presiden.
“Sejarah halal bihalal bermula pada 1948 kala Indonesia baru berdiri dilanda gejala disintegrasi bangsa. Banyak perseteruan di antara elite politik dan pemberontakan DI/TII maupun Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang menerjang,” kisahnya.
Pada saat itu, sambung Kiai Dawam, ada usulan untuk mengumpulkan semua tokoh politik dalam acara silaturahmi bertepatan dengan hari raya Idul Fitri yang akan datang. Kala itu Soekarno menganggap silaturahmi biasa tidak akan membuat para politisi tertarik dan mau datang. Muncullah ide membuat acara halal bihalal.
”Acara halal bihalal pada hari raya tersebut berhasil dilaksanakan. Acara ini kemudian dilanjutkan oleh instansi-instansi pemerintah di bawah kekuasaan Bung Karno hingga saat ini istilah halal bihalal jamak digunakan,” katanya.
Lantas dia menjelaskan istilah kata silaturahim atau silaturahmi. Kiai Dawam menjelaskan kata silaturahim atau silaturahmi berasal dari dari dua kata: shilat dan al-rahim atau al-rahmi. ”Shilat berarti sambungan atau menyambung atau menjalin atau menghubungkan,” ujarnya.
Sementara al-rahim atau al-rahmi, satu akar kata yang sama yaitu rahima – yarhamu. Dari kata rahima – yarhamu bisa menghasilkan arti yang berbeda pula. Yaitu 1) kasih sayang, dan 2) rasa sakit pada rahim wanita setelah melahirkan.
”Jika merujuk dalam banyak hadits, antara rahim dan rahmi, Rasulullah saw lebih banyak menggunakan pandanan rahim,” jelasnya.
Filosofi Kupat
Kiai Dawam juga sampaikan filosofi Lebaran. Kata Lebaran bisa dijabarkan secara detail untuk perubahan kata dari lebar, lebur, dan luber. Lebar dimaknai selesai atau tuntas – sebagai sebuah kemenangan dari usainya ibadah puasa Ramadhan.
”Lebur memberi makna melebur atau menjadi satu atau sebagian menghilang. Semoga dosa-dosa kita seusai ibadah di bulan Ramadhan menjadi melebur dan hilang tergantikan oleh kebaikan dan pahala dari Allah swt,” ujarnya.
Luber bisa dimaknai melubernya rahman dan rahimnya Allah. Dan labur dimaknai perbaikan diri berhias untuk lebih baik lagi
”Keempat istilah itu lebar, lebur, luber dan labur oleh walisongo dikenalkan sebagai kupat, artinya perilaku papat,” tandasnya.
Kontributor Mahfudz Efendi Editor Sugeng Purwanto