Bendera LGBT, Arogansi Kulit Putih oleh Dhimam Abror Djuraid, jurnalis.
PWMU.CO– Bendera LGBT berkibar di Kedutaan Besar Inggris di Jakarta berdampingan dengan The Union Jack bendera nasional Inggris. Pengibaran bendera pelangi itu dalam rangka memperingati Hari Anti-Homophobia Internasional, 17 Mei. Inggris ingin pamer kepada masyarakat Indonesia bahwa negara itu mendukung LGBT.
Inggris bukan cuma pamer bendera LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) di halaman Kantor Kedutaan Besar tapi juga mengunggahnya di akun resmi media sosial kedutaan. Tindakan ini memicu protes luas dari sekalangan masyarakat dan sejumlah politisi. Kedubes Inggris sudah menurunkan bendera pelangi itu, tapi message-nya sudah sampai kepada publik Indonesia.
Dengan mengibarkan bendera pelangi itu Inggirs mengirim pesan politik sekaligus mengajari publik Indonesia supaya jangan terjangkit homophobia, kebencian kepada orang homo. Sebagai negara berdaulat Inggris punya hak untuk menyatakan pendapatnya kepada siapa pun. Tetapi Indonesia sebagai negara berdaulat juga punya hak untuk dihormati oleh negara berdaulat mana pun di dunia.
Mengibarkan bendera pelangi di negeri yang berdasarkan moralitas Pancasila dan nilai-nilai agama, terutama Islam, adalah tindakan yang tidak sensitif. Tindakan ini menunjukkan arogansi rasialis yang merupakan sisa-sisa dari mental kolonial dan imperialis yang masih melekat di kalangan bangsa kulit putih.
Wilayah kedutaan adalah wilayah kedaulatan suatu negara yang dilindungi sesuai dengan aturan-aturan diplomatik. Para diplomat dan pekerja kedutaan (home staff) berhak atas perlindungan penuh dari negaranya. Para diplomat mempunyai kekebalan diplomatik yang dilindungi oleh konvensi internasional.
Wilayah kedutaan adalah wilayah terlarang yang tidak boleh diintrusi atau dimasuki secara sembarangan tanpa izin. Pelanggaran terhadap hak-hak diplomatik dan kedaulatan negara bisa memicu terjadinya insiden diplomatik yang bisa menyebabkan krisis.
Risiko terhadap pelanggaran diplomatik bisa berwujud pemanggilan duta besar oleh Kementerian Luar Negeri tuan rumah, untuk meminta keterangan mengenai sebuah tindakan yang dianggap tidak pantas.
Kalau terjadi pelanggaran yang dinilai serius tuan rumah bisa melakukan tindakan pengusiran staf diplomatik level rendah sampai ke level yang lebih tinggi, bergantung pada jenis pelanggaran.
Pelanggaran diplomatik yang lebih serius bisa mengakibatkan pemulangan duta besar sebagai pejabat diplomatik tertinggi yang mewakili sebuah negara. Sanksi paling puncak dari sebuah kriris diplomatik adalah pemutusan hubungan diplomatik yang ditandai dengan pengusiran duta besar sebagai simbol perwakilan negara.
Kedutaan Besar Inggris di Jakarta adalah wilayah steril yang sepenuhnya menjadi kedaulatan kerajaan Inggris. Tetapi dengan memasang bendera LGBT secara terbuka menunjukkan bahwa pemerintah kerajaan Inggris tidak peka dan bahkan melecehkan tradisi, budaya, dan keyakinan bangsa Indonesia.
Mengibarkan bendera LGBT di lingkup kedutaan tidak menjadi masalah. Tetapi mengibarkannya di halaman terbuka yang bisa terlihat oleh publik secara langsung sama saja dengan pamer aurat di depan umum. Pamer aurat dilakukan karena punya kelainan psikologis mengidap penyakit eksibisionis, atau sengaja ingin mempermalukan orang lain padahal dia sendiri yang seharusnya malu.
Pamer bendera LGBT secara terbuka menunjukkan arogansi Inggris yang merasa lebih pandai dalam hal toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan. Kesombongan ini merupakan sisa-sisa sikap kolonialis dan imperelis di masa lalu yang menjadikan Inggris sebagai negara penjajah dengan jumlah negara jajahan terbesar di dunia.
Inggris bangga dengan predikat ini. Tanpa rasa malu mereka menyebut semboyan ‘the sun never sets in the British Empire, matahari tidak pernah tenggelam di kekaisaran Inggris. Ini menunjukkan luasnya negara jajahan Inggris yang membentang dari belahan barat sampai ke timur sehingga matahari terus bersinar, karena perbedaan waktu sehari dari satu ujung ke ujung lainnya.
Harusnya Inggris malu dengan predikat itu. Tapi Inggris justru bangga. Menjadi penjajah bukan sebuah aib tapi sebuah tugas dari sebuah bangsa yang beradab untuk mengajari peradaban kepada negara-negara lain yang belum beradab. Penjajahan bukan kejahatan melainkan The white man’s burden, kewajiban manusia kulit putih untuk memberadabkan manusia-manusia kulit berwarna.
Penjajahan kulit putih diperkuat dengan angkatan bersenjata dan dipertegas dengan penjajahan budaya. Edward Said mengecam penjajahan budaya ini dalam Culture and Imperialism. Karya-karya sastra Inggris secara sengaja menjadi bagian dari strategi penjajahan untuk mencekoki mentalitas kaum terjajah bahwa mereka memang bangsa yang inferior yang harus diangkat derajatnya melalui penjajahan.
Budaya dan nilai-nilai sosial-politik kalangan penjajah dipaksakan sebagai nilai-nilai yang universal yang dipaksakan untuk diadopsi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Setelah wilayah kekaisaran Inggris menciut pasca-Perang Dunia Kedua, mentalitas superior itu tetap masih dipertahankan dan diteruskan oleh Amerika yang menjadi super power baru.
Nilai-nilai dalam hak asasi manusia dan demokrasi disebut sebagai nilai universal yang harus berlaku di seluruh dunia. Tidak ada lokalitas dan tidak ada local wisdom. Demokrasi dan hak asasi manusia harus diterima di seluruh dunia, dan negara-negara yang menolak akan diisolasi dan bahkan diserang dengan kekuatan militer.
Itulah sisa-sisa mental kolonialisme dan imperialisme yang sekarang masih kental di negara-negara Barat. Dulu masih ada komunisme yang menjadi antitesa Barat, tapi sekarang komunisme ambruk dan kapitalisme-liberalisme memproklamasikan diri sebagai kekuatan tunggal dunia. The end of history, sejarah telah berakhir dengan runtuhnya komunisme Uni Soviet pada 1990.
Nilai-nilai kapitalisme dan liberalisme manjadi penguasa dunia yang harus diadopsi oleh semua negara. Keengganan menerima nilai universal itu akan berakibat pengucilan dan serangan militer. Iraq dan negara-negara Timur Tengah menjadi korban serangan militer. Banyak negara yang menjadi korban isolasi karena menentang nilai-nilai universal paksaan.
LGBT menjadi simbol liberalisme-kapitalisme yang sekarang mulai mengibarkan bendera di seluruh dunia dan memaksakannya sebagai nilai yang harus diadopsi dan dihormati manusia seluruh dunia. Sama dengan hak asasi dan demokrasi, LGBT dianggap sebagai nilai universal yang harus diterima dan dihormati di seluruh dunia.
Keengganan untuk menerima nilai universal ini akan berujung pada pengasingan dan penyerangan. Kampanye LGBT berlangsung masif didukung oleh negara-negara superpower dunia bersama-sama dengan perusahaan-perusahaan trans-nasional paling top di seluruh dunia.
Penjajahan kolonial di masa lalu mempergunakan karya sastra seperti novel dan puisi untuk memperkuat legitimasinya. Itulah inti kritik Edward Said dalam Culturer and Imperialism (1996). Sekarang, pola itu kembali diterapkan.
Kampanye dukungan terhadap LGBT dilakukan secara masif oleh industri perfilman Hollywood dan media besar di Amerika dan Eropa. Publik seluruh dunia keranjingan dan tergila-gila oleh tokoh-tokoh superhero rekaan Hollywood. Super hero seperti Superman digambarkan sebagai sosok manusia sakti mandraguna yang bisa terbang dan punya kekuatan ekstra untuk menghancurkan kejahatan.
Kekuatan dan kehebatan Superman identik dengan kejantanan yang macho. Tapi itu cerita lama. Versi terbaru menggambarkan Superman sebagai manusia yang mempunyai orientasi seksual yang menyukai sesama jenis. Dalam salah satu episode digambarkan Superman mempunyai hubungan romantis dengan sesama laki-laki.
Dengan kampanye yang sedemikian masif sangat mungkin anak cucu kita melihat bahwa LGBT adalah sesuatu yang harus diterima sebagai bagian dari keberagaman. Siapa lagi idola yang dipuja oleh anak-anak milenial sekarang kalau bukan para selebritas dan super hero?
Pengibaran bendera pelangi di Kedutaan Besar Inggris menjadi warning bagi bangsa Indonesia, supaya bersiap untuk menghadapi perang budaya dan peradaban yang masif melawan LGBT. (*)
Editor Sugeng Purwanto