Kenangan bersama Buya Syafii sang Alumnus Muallimin

Buya Ahmad Syafii Maarif (kiri) di acara Milad Ke-100 Madrasah Muallimin dan Muallimaat Muhammadiyah Yogyakarta (Istimewa/PWMU.CO)

Kenangan bersama Buya Syafii sang Alumnus Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta; Ditulis oleh Habib Chirzin; Koordinator International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Indonesia dan Ketua Badan Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1990-1995. 

PWMU.COInnalillahi wainnailaihi raji’un. Kita kehilangan lagi seorang cendekiawan yang alim, bersahaja, dan tak kenal lelah bekerja untuk kepentingan banyak orang. Keteladanan Buya Syafii menjadi legacy (warisan) bagi umat dan bangsa pada kecendekiawanan, integritas, dan semangat pengabdian sejak masa mudanya. 

Saya mengenal Buya Syafii Maarif sejak kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Karang Malang sekitar pertengahan tahun 1960. Saya sering naik sepeda dari Kampung Selokraman, melewati Kampung Samakan. Di sanalah tempat tinggal Mbah Mulyodiwarno—orangtua Lik Murdiyo, kawan sekelas Buya Syafii saat sekolah di Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. 

Kami sama-sama menamatkan kuliah tahun 1953. Selanjutnya, Buya Syafii dibenum ke Lombok Timur, sementara Lik Murdiyo ke Donggala. Ustadz Suprapto Ibnu Juraimi kemudian menyusul ke Donggala. 

Ketika kuliah di IKIP, Buya Syafii pernah tinggal di di Kampung Selokraman. Tepatnya di rumah Kiai Amir dan Mbah Haji Ahmad—kakek Lik Darwis Khudlori yang sekarang tinggal di Paris dan mengajar di Universitas Le Havre Normandia. Buya Syafii juga mengaji di Pondok Kiai Amir—pendiri Sekolah Ma’had Islami Kotagede, Pakdhe (paman) Kang Achmad Charris Zubair. 

Waktu itu, Muhammad Chirzin—bapak saya—menjadi Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kotagede. Bapak sering meminta tolong Buya Syafii untuk menulis pidato atau khutbah Jumat yang saat itu disebut ‘Cara Melayu’ dalam Bahasa Indonesia. Sebab, Pak Syafii sering menulis di koran Mercu Suar, sekarang namanya berganti Masa Kini

Buya Syafii juga pernah menjadi pengajar di Institut Pengembangan Masyarakat (IPM) Pondok Pabelan bersama Arief Budiman, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, Aldy Anwar, Affan Gafar, dan lainnya. Ketika Milad Ke-70 KH Hammam Djakfar di Pondok Pabelan, Buya Syafii hadir sebagai pembicara bersama Pimpinan Pesantren Darunnajah KH Mahrus Amin dan saya sebagai anggota Yayasan Badan Wakaf Pondok Pabelan. 

Buya Syafii Maarif (tenga) bersama Habib Chirzin. Kenangan bersama Buya Syafii sang Alumnus Muallimin (istimewa/PWMU.CO)

Murid Prof Fazlur Rahman 

Saya masih mengingat beberapa momentum kebersamaan dengan almarhum. Misalnya ketika beliau akan kembali ke Chicago—setelah berlibur di Indonesia pada akhir tahun 1970an—saya menemaninya berpamitan kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 

Kemudian, tahun 1983 usai Pak Syafii pulang dari studinya di Chicago, saya—saat itu sebagai direktur bersama Mas Chumaidi Syarief Romas—sering mengundangnya untuk mengajar di Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS) Yogyakarta. Adapun mata kajiannya Tema-Tema Besar al-Quran sesuai judul buku karya Prof Dr Fazlur Rahman. Beliau guru Pak Syafii di Chicago. 

Waktu itu Pak Syafii sering berbicara tentang Prof Fazlur Rahman sebagai juru bicara dunia Islam yang sangat bertanggung jawab di dunia Barat. Ketika Prof Fazlur Rahman bersama istrinya datang ke Jakarta—-menghadiri International Conference on the New Approach to Islamic Research di LIPI Jakarta tahun 1987—Pak Syafii mengajak saya menemuinya. Saya masih menyimpan foto dokumentasi kami berempat. 

Hadir juga Prof Dale Eickelman dari University of New York. Ketika saya mengemukakan masyarakat berbasis kelompok Jamaah dan Dakwah Jamaah melakukan tajdid Muhammadiyah saat itu dengan berbagai inisiatif gerakan sosial di tingkat dasar berlandaskan teologi al-Maun, pakar Antropologi Prof Dale Eickelman pun mewawancarai saya. Dia meminta tulisan-tulisan saya untuk diterjemahkan mahasiswanya: Yusron Asrofie asal Kotagede. 

Baca sambungan di halaman 2: Kawan Dekat Mahasiswa UII 

Buya Ahmad Syafii Maarif (kiri) di acara Milad Ke-100 Madrasah Muallimin dan Muallimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Kenangan bersama Buya Syafii sang Alumnus Muallimin (Istimewa/PWMU.CO)

Kawan Dekat Mahasiswa UII 

Pak Syafii pernah bersama Mas Kuntowijoyo, Affan Gaffar, dan saya menjadi penasihat majalah mahasiswa UII, Himmah, yang dikelola Hamid Basyaib, AE Priyono, dan kawan-kawannya. Meski kami berempat bukan dosen di UII, kami dekat dengan kawan-kawan di sana. 

Pak Syafii pernah diundang ke UII bersama Nurcholish Madjid (Cak Nur)—sesama alumnus Chicago—dan Fachri Ali dari Jakarta untuk diskusi. Panitia meminta saya menjadi moderatornya. Mungkin karena mereka tahu saya mengenal ketiganya. Keesokan harinya, ada dialog lagi dengan Cak Nur di Hotel Sri Manganti, Jalan Solo. Meski saya terlambat datang dari rumah di Wijilan, tapi diskusi yang saya ikuti cukup seru. 

Ada peristiwa tak terlupakan saat saya dan Buya Syafii tinggal sekamar hotel selama tiga hari tiga malam di Kuala Lumpur. Yaitu untuk menghadiri World Dialog tentang Globalisasi, Agama-Agama, dan Perdamaian yang digelar International Movement for the Just World. Pemimpinnya sahabat lama saya, Prof Dr Chandra Muzaffar yang pernah berkunjung ke rumah kami di Jakarta.

Hadir para tokoh perdamaian dan agama seperti Richard Falk dari Princeton, hakim agung dari India Justice Baghwati, mantan Menteri Pendidikan India Swami Agnivesh, dan tokoh Gerakan Indeks Kebahagiaan Nasional Bangkok sekaligus pendiri INEB Ajarn Sulak Sivaraksa. 

Buya Syafii bersama saya juga mendapat undangan Round Table bersama Prof Dr Syed Hossein Al Attas. Dialah tokoh ilmuwan Malaysia, penulis buku The Sociology of Corruption, The Myth of the Lazy Native, mantan Vice Chancellor (Rektor) Universiti Malaya, dan bersama Paul Knitter bekerja di lembaga pendidikan Dinas Luar Negeri Malaysia. 

Teladan Alumnus Muallimin Yogyakarta

Pada Milad Ke-100 Madrasah Muallimin dan Muallimaat Muhammadiyah Yogyakarta—18 Desember 2018—saya sempat mendampingi Buya Syafii bersama Dr Noordjannah Djohantini, Ketua Umum PP Aisyiyah yang juga alumnus Muallimaat. Sebelum bertausiah, Buya Syafii sempat menyapa Lik Murdiyo—kawan sekelasnya di Muallimin—-dan bapak-bapak alumnus lainnya. 

Menjelang acara puncak itu, saya pernah mendapat undangan bersama Buya Syafii berdiskusi panel di Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB). Saat itu, sang rektor, Dr Dahsan dan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Dr Saifullah juga alumnus Muallimin. 

Di akhir hayat Buya Syafii, saya beberapa kali bersama dalam pertemuan Panitia Pembangunan Kampus Terpadu Muallimin Muhammadiyah—di Sedayu, Yogya barat, dengan masjidnya yang indah dan megah—dengan BPH Muallimiin dan Muallimaat. Buya Syafii sangat besar jasanya dalam merenovasi gedung Muallimin di Jalan S. Parman dan dalam pembangunan kampus terpadu itu. 

Sebagai alumnus Muallimin, Buya Syafii telah memberikan keteladanan sebagai kader persyarikatan, umat, bangsa, dan kemanusiaan. Kini Buya telah kembali ke haribaan Yang Maha Pengasih. Jasa-jasa dan keteladanannya akan tetap kita kenang dan akan menjadi warisan bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan yang abadi. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni/SN

Exit mobile version