Puisi Guru Ini Ledakkan Tangis Wisudawan Tahfidh, liputan Slamet Hariadi kontributor PWMU.CO Lamongan.
PWMU.CO – Wisuda Purnasiswa dan Tahfidh Quran SMP Muhammadiyah 17 Laren digelar di halaman sekolah di Desa Keduyung, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Ahad (19/6/22) pagi.
Wakil Kepala Madrasah Diniyah Takmiliah Wustha Nurul Quran Tholin SE mengatakan, dalam Wisuda Tahfidh Quran diwisuda sebanyak 16 santri. Dua santri dengan hafalan juz 29 dan 30 dan 14 santri dengan hafalan juz 30.
Tholin mengatakan tujuan wisuda ini untuk memberikan penghargaan, agar mereka lebih bersemangat lagi dalam menghafal al-Quran.
Sebelum diwisuda, sambungya, diadakan munaqasah atau ujian terlebih dahulu. “Peserta 21 anak yang lulus 16 anak,” ujarnya.
Madrasah Diniyah Takmiliyah Wustha Nurul Quran telah berusia tiga tahun. Tholin mengatakan tujuan didirikannya madrasah diniah ini untuk melengkapi pelajaran agama di SMPM 17 Keduyung.
“Dan lebih penting memperdalam dan memperluas keislaman, memberikan pengetahuan dan pemahaman ilmu alat, seperti tajwid, nahwu sharaf,” tambah Tholin.
Puisi Bikin Haru
Saat 16 santri naik di atas panggung, Tholin membawakan puisi di hadapan wisudawan dan undangan yang memenuhi halaman sekolah.
Aku bahagia karena dari sini
aku bisa melihat senyuman yang teduh dan sejuk,
laksana di pagi hari
senyuman itu adalah senyuman ibuku dan senyuman ayahku.
Ayah ibu aku tahu,
aku tak akan pernah bisa membalas semua kebaikanmu,
membalas cinta dan kasih sayangmu.
Engkau yang mengandungku selama sembilan bulan,
engkau yang mempertaruhkan hidup dan mati saat melahirkan,
engkau yang merawatku dengan deburan kasih sayang.
Tholin mengucapkan puisi itu suara yang terbata-bata. Hadirin yang mendengarkan tak kuasa menahan air matanya.
Dia lalu melanjutkan pusinya.
Ayah yang memeras keringat tanpa henti,
berangkat pagi baru pulang sore hari,
ayah juga yang mengajariku arti hidup ini.
Ayah ibu, saat ini aku mulai menyadari betapa lelah dan susah engkau merawatku
Engkau rela tidak tidur agar aku bisa tertidur,
engkau rela duduk sepanjang malam agar aku nyaman di pangkuanmu, engkau juga orang pertama kali yang meneteskan air mata saat sakitku menimpa.
Ayah ibu samar-samar aku teringat pesanmu dulu katamu
Nak yang pinter ya, agar kamu bisa mwndoakan ibu dan ayah
agar ayah dan ibu bisa mendapat siraman surga dari lantunan al-Quranmu.
Aku ingat benar pesannu itu,
kini aku di sini di pentas yang megah ini,
mendekap pesanmu dengan ketangguhan hati yang melangit biru.
Kembali suara Tholin terhenti. Dia mengusap air matanya. Santri-santri pun tak kuasa menahan air matanya.
Lalu Tholin meneruskan puisinya.
Aku tahu ibu, aku tahu ayah
ini tidak sebanding dengan luka yang sering aku gores dalam hatimu
ini tidak sebanding dengan lelah yang engkau rasakan karenaku,
ini hanya setetes air dari lautan kasih sayang yang engkau curahkan dalam hidupku.
Ya Allah sayangi ibuku, sayangi ayahku seperti mereka menyayangiku dengan begitu syahdu.
Teruntuk guruku, terima kasihku yang tiada hingga untukmu, untuk keikhlasanmu mengajariku, untuk kesabaranmu menghadapi kenakalanku, untuk lelahmu membimbingku, untuk doamu yang kau panjatkan ke langit sana untuk kesalehanku.
Aku yakin tanpamu, aku tak mungkin bisa menggapai asa ayah dan ibuku
tanpamu aku tak mungkin bisa mengeja a-i-u ba–bi-bu
tanpamu aku tak mungkin bisa membaca alhamdulillah
terimakasih guru-guruku. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni