Titik Pisah Muhammadiyah-Salafi?
Bisakah orang bersalafi dan bermuhammadiyah secara bersamaan? Ketika seseorang tidak memahami sunnatullah bahwa kita diciptakan bersuku-suku berbangsa-bangsa agar saling mengenal, maka sulit terwujud.
Setiap kelompok memiliki manhaj yang harus dihirmati. Setiap organisasi memiliki aturannya sendiri. Hanya mengaku sebagai warga namun perilaku keagamaan dan sosialnya mengikuti orang lain bukanlah Muhammadiyah. Berorganisasi membutuhkan komitmen, memahami manhaj, ideologi, patuh pada garis perjuangan, dan lain sebagainya.
Sudah menjadi rahasia umum—dan saya lihat dengan mata kepala sendiri—banyak aktivis salafi sangat suka berjamaah di masjid Muhammadiyah, tetapi enggan mengikuti kajiannya.
Ketika para warga Muhammadiyah berdatangan ke masjid untuk kajian ahad pagi, misalnya, mereka malah secara demonstratif pulang dengan terang-terangan. Bukan karena suatu kesibukan tetapi sebuah kesengajaan.
Ada sekitar 43 masalah fikih yang memang berbeda antara Muhammadiyah dan Salafi
Artinya ketika kita memahami bahwa berorganisasi merupakan keniscayaan dalam berdakwah maka mengikuti adalah konsekwensi logis dari pilihannya. Ketika kita keluar dari satu kelompok otomatis terbentuk kelompok baru, begitulah sunatullah berjalan.
Bukankah sesama saudara akan lebih baik hidup berlainan rumah karena memang rumah tangganya beda, dari pada hidup satu rumah tetapi bertengkar terus. Inilah pentingnya umat Islam memahami etika berdakwah supaya tidak jadi benalu, beban dan virus bagi rumah saudaranya.
Pertanyaanya? Sisi mana yang membuat salafi layak disebut Muhammadiyah? Salafi adalah salafi, Muhammadiyah adalah Muhammadiyah. Biar saja berbeda dan saling menghormati karena kita sudah disatukan dalam ukhuwah islamiyah dalam bingkai iman yang sama.
Ada baiknya para tokoh Muhammadiyah dan salafi membaca buku karya Ali Trigiyatno: Titik Pisah Fikih Salafi-Muhammadiyah. Ada sekitar 43 masalah fikih yang memang berbeda.
Menemukan perbedaan bukan berarti bermusuhan. Menunjukkan perbedaan adalah cara umat Islam berikhtilaf secara bermartabat, sebagaimana tokoh-tokoh salafi juga banyak berbeda pendapat. Para ulama mahzab juga berbeda pendapat. Berbeda bukan berarti perpecahan karena perpecahan terjadi justru ketika sebenarnya berbeda tapi dipaksa sama. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post