Mabit di Muzdalifah, Jamaah Haji Beratap Langit Beralas Bumi. Hamparan putih terlihat sepanjang Muzdalifah.
PWMU.CO – Saat matahari tenggelam atau masuk waktu Magrib di Padang Arafah, 9 Dzulhijjah 1443 atau 8 Juli 2022, jamaah haji yang baru saja menjalani wukuf sebagai puncak ibadah haji, bersiap menuju Muzdalifah.
Meski sudah Maghrib, jamaah tak perlu menunaikan shalat Maghrib di Arafah. Karena begitulah Nabi SAW memberi contoh. Shalat Maghrib di-jamak qashar takhir di Muzdalifah. Artinya shalat Maghrib-Isyak digabung secara ringkas (3-2 rakaat) di waktu akhir (Isyak).
Perjalanan menuju Muzdalifah bukan tanpa tantangan. Yang paling berat—sesuai pengalaman berhaji dalam keadaan normal, bukan di masa pandemi—adalah antrean menuju bus yang akan mengangkut jamaah.
Mereka harus antre di ‘ruang tunggu’ yang berpagar besi. Berdesak-desakan berebut masuk bus yang silih berganti, datang dan pergi. Beberapa jamaah yang sepuh pingsan dalam anteran seperti ini.
Lulus ujian kesabaran dalam antrean dan desak-desakan itu, di dalam bus jamaah akan menempuh perjalanan 10 km Arafah-Muzdalifah.
Sesampai di Muzdalifah, jamaah disambut oleh petugas. Mereka memberi sekantong kerikil sebagai bekal melempar jumrah di Jamarat pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Tapi banyak jamaah yang tak suka kerikil yang dibagikan itu, karena dianggap terlalu kecil. Mereka biasanya mencari kerikil yang agak besar di hamparan tanah Muzdalifah.
Mereka harus menyiapkan minimal 70 kerikil—tanpa cadangan—untuk yang mengikuti Nafar Tsani (sampai 13 Dzulhijjah). Rinciannya: 7 batu untuk lemparan Jumrah Aqabah tanggal 10 Dzulhijjah.
Sementara pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, masing-masing membutuhkan 21 batu: 7 untuk Jumarh Ula, 7 untuk Jumrah Wutsha, dan 7 untuk Jumrah Aqabah.
Selain Nafar Tsani, banyak jamaah Indonesia yang mengambil Nafar Awal, dengan tidak melakukan lemparan pada tanggal 13 Dzulhijjah. Karena itu cukup mengumpulkan 49 batu kerikil.
Batu-batu kerikil itu adalah amunisi untuk persiapan “perang” melawan setan yang bercokol di Jamarat. Dan di Muzdalifah jamaah beristirahat mengumpulkan kekuatan jasmani dan rohani.
Memang, alas muzdalifah adalah tanah padat yang ditaburi kerikil. Di Muzdalifah tidak ada tenda. Maka bisa dibilang, di sini jamaah haji sedang menggelandang. Tidur di atas bumi, di bawah atap langit.
Beberapa areal Muzdalifah memang disiapkan karbet tebal, tapi itu tak cukup bagi jutaan jamaah. Tapi jamaah sudah diminta para pembimbingnya membawa alas sendiri, secukupnya.
Baca sambungan di halaman 2: