PWMU.CO – Sedikitnya 20 siswa Sekolah Dasar Muhammadiyah (SDM) 17 Simolawang Surabaya mendatangi kantor redaksi bahasa Jawa “Panjebar Semangat” di kawasan Bubutan, Senin (20/2). Dengan mengenakan baju Punokawan, mereka asyik belajar baca tulis bahasa Jawa langsung dari para awak media majalah legendaris yang sudah memasuki usia 83 tahun itu.
Pembelajaran yang unik tersebut sengaja dipilih sekolah dalam rangka memperinggati hari Bahasa Ibu sedunia 21 Februari sekaligus hari Pers Nasional yang diperingati pada 9 Februari lalu.
Kepala Sekolah SD Muhammadiyah 17 Surabaya Muslimin mengatakan kegiatan tersebut diharapkan kepada masyarakat dan siswa pada khususnya agar turut menjaga kelestarian bahasa lokal yang kian tergerus oleh pemakaian bahasa nasional (bahasa Indonesia) dan bahasa internasional (bahasa Inggris).
(Baca juga: Ini yang Dilakukan Universitas Muhammadiyah agar Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Internasional)
“Penerapan bahasa Jawa di kehidupan kita jangan sampai terlewatkan. Mulai kegiatan belajar menulis dan membaca bahasa Jawa langsung dari ahlinya sangat bermanfaat demi menjaga terus lestarinya bahasa daerah. Sebab pembelajaran bahasa daerah sering kali menjadi korban dari berubah-ubahnya kurikulum yang berlaku di sekolah,” tegas Muslimin kepada awak media.
Setelah belajar membaca dan menulis bahasa dan huruf Jawa, di akhir acara siswa memberikan kado berupa ban bekas bertuliskan: “Penyelamat Bahasa Ibu”. Ban bekas atau pelampung adalah simbol penyelamatan, betapa kondisi bahasa lokal saat ini dalam kondisi tenggelam yang butuh untuk diselamatkan.
Muhammad Uwes salah satu siswa kelas 4 yang berdandan ala Semar, mengaku senang dengan perannya sekaligus sangat berkesan bisa belajar baca dan menulis huruf Jawa langsung dari penulis majalah bahasa Jawa yang usia mereka setara dengan kakeknya.
(Baca juga: Di UMM, Mahasiswa Asing 11 Negara Ini Jalani Orientasi Budaya dan Bahasa Indonesia)
Wijotohardjo, dari redaksi majalah Panjebar Semangat berpesan agar gerenasi muda perlu tahu tentang bahasa lokalnya, sekaligus bahasa ibu mereka. Hal ini tidak bertentangan dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Sumpah Pemuda 1928 poin ketiga.
“Bukan berbahasa satu, tapi menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Otomatis adanya bahasa daerah harusnya terus dilestarikan,” kata Wijotohardjo. (agus wahyudi/sandhiarta)
Discussion about this post