Bulan keramat, keyakinan masyarakat yang keliru soal Muharram dibahas di Mushala As-Salam, liputan Intan Putry, kontributor PWMU.CO.
PWMU.CO – Mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) Pengembangan Cabang dan Ranting (PCR) Bulak, Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya ikuti kajian rutin bulanan di Mushala As-Salam RW 04 Bulak. Kajian diisi Ustadz Imanan pada bakda maghrib, Sabtu (23/7/22).
Selain mahasiswa KKN UMSurabaya, kajian rutin sebulan sekali tersebut juga banyak diikuti warga setempat yang ingin menambah ilmu. Dalam pertemuan tersebut, tema kajian tentang puasa sunnah di bulan Muharram.
Bulan Keramat, Amalan Bidah
Menurut Ustad Imanan, Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender Islam, hijriah. Bulan ini disebut Nabi Muhammad sebagai syahrullah, yakni bulan Allah, yang memiliki keutamaan yang sangat besar. “Banyak orang yang salah mengartikan bulan ini sebagai bulan yang keramat, dengan melakukan amalan-amalan bid’ah,” ujarnya.
Bulan Muharram, lanjut dia, termasuk bulan haram di mana berbuat dosa pada bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta Rajab yang terletak antara Jumada dan Sya’ban), lebih besar dosanya dari pada di bulan-bulan lainnya.
“Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Janganlah kalian mendzalimi diri-diri kalian di dalamnya,” ungkap Ustadz Imanan menyitir ayat al-Quran.
Dia melanjutkan, meski melakukan kedzaliman di setiap keadaan berdosa besar, tetapi Allah membesarkan segala urusannya sesuai apa yang dikehendaki-Nya, seperti yang termaktub dalam Fiqhussunnah karya Sayyid Sabiq.
Maka Nabi Muhammad SAW menganjurkan pada umatnya agar melakukan ibadah puasa sunnah pada bulan Muharram, karena puasa sunnah pada bulan Muharram merupakan puasa utama setelah puasa wajib dibulan Ramadhan.
“Hal ini didasarkan pada sebuah hadits riwayat Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad: ‘Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: puasa (sunnah) yang paling utama setelah (puasa) dibulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu al-Muharram, dan sunnah yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat lail’,” sitirnya.
Adapun amalan bid’ah yang dibenci oleh Allah SWT yang dikenal dalam bahasa Jawa dengan suroan, seperti berbagai ritual dan adat istiadat di tanah air. “Sebagaimana contoh, ketika tiba hari Asyura kita akan melihat berbagai adat istiadat dan ritual yang beraneka ragam dalam rangka menyambut hari istimewa,” jelasnya.
Jika kita lihat dalam kaca mata syar’i, adat dan ritual tidak akan lepas dari kesyirikan, yaitu meminta berkah kepada benda-benda yang dianggap sakti dan keramat. “Bahkan ada yang lebih mengenaskan dan ekstrem lagi, sampai kotoran hewan tidak luput untuk dijadikan alat pencari berkah,” paparnya.
Bulan Keramat, Keyakinan Masyarakat
Tidak hanya itu, keyakinan di mana bulan Muharram sebagai bulan keramat masih beredar luas pada sebagian masyarakat yang minim dalam ilmu agama. Berdasar atas keyakinan jahiliyah inilah, banyak di kalangan masyarakat yang enggan menikahkan putra dan putrinya pada bulan Muharram. “Karena alasan akan membawa sial dan kegagalan dalam berumah tangga,” tuturnya. .
Ada pula shalat dan doa Asyura, yang diyakini sebagian orang merupakan kesyirikan dan bid`ah, karena memang tidak ada haditsnya, kalau memang ada bisa jadi itu hadits palsu. “Sebagai contoh doa Asyura adalah, ‘barangsiapa yang mengucapkan HasbiyAllah wa Ni`mal Wakil an-Nashir sebanyak tujuh puluh kali pada hari Asyura, maka Allah akan menjaganya dari kejelekan pada hari itu’,” ungkapnya.
Doa tersebut, kata Ustadz Imanan, tidak ada asalnya dari Nabi, hingga para sahabat maupun tabi`in. Tidak disebutkan juga dalam hadits-hadits yang lemah apalagi yang shahih. Doa ini hanya berasal dari ucapan sebagian manusia.
Bahkan sebagian syaikh sufi ada yang berlebihan, bahwa barangsiapa yang membaca doa ini pada hari Asyura dia tidak akan mati pada tahun tersebut.
“Ucapan ini jelas batil dan munkar, karena Allah telah berfirman, ‘Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui’,” ucapnya menyitir al-Quran Surat Nuh ayat 4.
Kajian tersebut berlangsung dengan penjelasan dan sesi tanya jawab dari para jamaah yang mengikuti. Dari kajian tersebut, para jamaah mendapatkan ilmu, bahwa pada bulan Muharram lebih baik mendekatkan diri kepada sang pencipta, dengan melakukan ibadah-ibadah yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.