
Restorative Justice Tragedi Kanjuruhan Mengemuka di Pengajian Ini; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Usai menyimak pemaparan Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr Trisno Raharjo SH MHum tentang ‘Fenomena Crowd Behavior dan Tragedi Kerusuhan dalam Perspektif Hukum’ pada Kajian al-Jihadi Embun Pagi Edisi 118, sesi diskusi berlangsung hangat, Ahad (9/10/22).
Di tengah kajian yang digelar Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Godean, Yogyakarta, secara daring via Zoom itu, salah satu peserta asal Kabupaten Kudus Syumi Harsono mengungkap tanda tanya dalam benaknya.
Awalnya dia mengatakan, “Kami yang sejak kecil menjadi pengurus di Persijap Jepara sampai menjadi juara nasional pada waktu itu, merasa kejadian di Malang itu seolah-olah di luar tanggung jawab panitia.”
Karena dari penonton yang jumlahnya memang banyak, lanjutnya, biasanya para pemain memenuhi sportivitas. “Tapi kenapa sampai ada korban lebih dari 125 orang bahkan lebih?” tanya dia.
“Kalau tadi disinggung bahwa korban meninggal dapat bantuan santunan dari pemerintah, saya menilai itu tidak sesuai nyawa yang dikorbankan. Oleh keluarga dirasakan sangat menyusahkan!” imbuhnya.
Untuk pertandingan yang sifatnya antarkabupaten di Jawa Timur, sambungnya, itu merupakan pertandingan prestisius dan kebanggaan bagi masyarakat Jatim. Dia khawatir, jangan-jangan di balik kejadian itu ada dalang yang mengompori supaya muncul huru-hara setelah pertandingan di lapangan.
Kemudian, sang pembawa acara Diana Leli Indratno menegaskan agar Trisno–sapaan akrab narasumber–mengidentifikasi prima causa (penyebab atau faktor utama tanpa diawali oleh faktor lain). Dia lantas bertanya, “Apakah mungkin penyelesaian bisa dilakukan dengan restoratif justice?”
Trisno pun mengenang, sebenarnya banyak tokoh Muhammadiyah yang bergelut di dunia sepak bola. Misal Soeratin. Karena itu, kata dia, tragedi di Malang kemarin menjadi perhatian orang-orang Muhammadiyah juga. “Kita melihat ini secara jernih dan memberi masukan agar sepak bola kita berprestasi,” ujarnya.
Dia menyatakan, besar harapannya Indonesia bisa kembali menorehkan sejarah seperti saat zaman Hindia-Belanda dulu. “Hindia-Belanda main bola di Piala Dunia! Hindia-Belanda itu kan orang Indonesia. Kalau ditanya negara di Asia Tenggara yang pernah ikut kompetisi Piala Dunia, Indonesia bisa bilang pernah,” imbuhnya.
Sebagai jalan menciptakan prestasi, maka menurutnya memang perlu mencari upaya penyelesaian terbaik pada kasus ini. Termasuk melakukan evaluasi.
“Ketika presiden lihat tangganya curam sehingga kalau ada apa-apa orang mudah jatuh, pada aspek seperti itu ya perlu ada evaluasi mendalam terhadap kondisi stadion,” ujarnya.
Dia menekankan, memang harus ada perbaikan mengingat stadion-stadion itu rata-rata milik pemerintah.

Penyelesaian Restorative Justice
Secara prinsip, Trisno menyatakan setuju jika nantinya kasus yang menyebabkan banyaknya korban meninggal ini diselesaikan secara restorative justice. “Namun, secara hukum positif tidak bisa dilakukan, meski secara teori saya katakan bisa,” ujarnya.
Dari kajiannya, semua tindak pidana, berapa pun hukuman yang, bahkan kejahatan berat seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bisa direstoratif justice. “Pola penyelesaiannya itu mereka mengakui telah ada kesalahan. Pihak korban juga dapat menerima yang terjadi,” terangnya.
Yang perlu diperhatikan, melalui penyelesaian ini, lanjut Trisno, korban tidak boleh dipaksakan. Hal ini menghindari penyalahgunaan restorative justice yang tidak dibolehkan. Misal, pihak yang punya dana banyak dan kekuasaan tertentu mendikte pihak lain sehingga kalau ada orang yang seharusnya dihukum berat jadi dihukum ringan.
Trisno menerangkan, inti dari restorative justice ialah adanya musyawarah sampai pada ganti rugi yang ada jika diperlukan. “Minta maaf disampaikan. Tanggung jawab bisa dibebankan berbagai pihak. Restorative justice memungkinkan dialog,” ujar Dosen Fakultas Hukum UM Yogyakarta itu.
Di sisi lain, dia menilai sistem di Indonesia belum mengakomodasi secara baik tentang restorative justice. Dia mengungkap, “Kalau Kapolri menyatakan pasalnya itu pakai KUHP 359 dan 360, keadaan menyebabkan mati atau luka berat, itu ancamannya lima tahun.”
Sebenarnya, kalau ancamannya ini lima tahun, kata Trisno, kalau pakai sistem peradilan anak dibolehkan karena dalam sistem peradilan pidana anak itu ancamannya tujuh tahun. “Tapi ini pelakunya bukan anak. Apakah tujuh tahun itu menjadi hal yang mungkin?” tanya dia retorik.
Menurutnya, kalau melihat berbagai ketentuan peraturan yang ada di kepolisian, sebenarnya itu mungkin saja. Melihat peraturan Kejaksaan Agung yang bicara soal restorative justice, kemungkinan itu juga terbuka. “Hanya, akankah digunakan oleh pihak kepolisian atau kejaksaan?”
Dia lantas menegaskan, penggunaan restorative justice ini perlu dipertimbangkan hati-hati. Mengingat, saat ini, pandangan publik terhadap pihak kepolisian–dengan kejadian Sambo sebelumnya–sedang tidak baik.
Trisno menyarankan, “Biar kejaksaan yang mengambil inisiatif penyelesaian secara restorative justice, bukan kepolisian. Walau aturan kejaksaan tidak mengizinkan, tapi ketentuan restorative justice dalam peraturan kejaksaan itu membuka sedikit ruang. Yaitu tentang hal-hal yang dipertimbangkan Kejaksaan Agung.”
Bahkan, kata Trisno, Kejaksaan Agung punya pola penyelesaian secara oportunitas. “Penyelesaian ini, perkara itu tidak dibawa ke pengadilan. Tidak sekadar menghentikan, tapi menyelesiakan dengan bertanggung jawab dan meminta jawab,” ujarnya.
Kemudian dalam menyantuni satu per satu korban, menurutnya institusi perlu mengambil alih. Karena mungkin terlalu berat kalau dibebankan pada individu, meski bagi beberapa individu mungkin mampu karena berprofesi pengusaha.
Terkait siapa dalang di balik ini, Trisno meminta jamaah pagi itu menunggu. “Tidak baik kita berspekulasi. Kita tunggu tim yang dibentuk presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) berproses. Kalau kita berspekulasi dan menyampaikan pandangan prematur, malah menjadikan pandangan kurang baik,” terangnya.
Akhirnya Trisno menyimpulkan, “Tragedi Kanjuruhan merupakan tragedi besar di sepak bola. Di FIFA, semua tragedi disebut bencana. Ini bagian dari bencana non-alam yang perlu kita atasi dan mitigasi agar ke depan tidak terulang sekecil apa pun.” (*)
Discussion about this post