Anis Baswedan dan Oligarki

Anis Baswedan
Nurbani Yusuf

Anis Baswedan dan Oligarki oleh Nurbani Yusuf, Pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.

PWMU.CO– Ada yang ketakutan Indonesia berubah menjadi khilafah ketika Anis Baswedan menjadi presiden. Tak sedikit pula yang cemas dan khawatir tak bisa leluasa jualan bakso, cilok, dan makanan lainnya pada bulan Ramadhan dari ancaman sweeping.

Jika suara seluruh partai umat Islam dikumpulkan tak akan melampaui 38,08 persen. Masih ada sekitar 70 persen suara yang harus direbutkan. Itupun jika PKB dan PPP tidak jalan sendirian atau menetapkan pada pilihan lain.

Jalan terjal bagi pendukung Anis, kerja keras, dan sungguh-sungguh. Memperbanyak teman bukan musuh sebab memenangkan presiden harus berkongsi.

Mas Anis Baswedan butuh suara Golkar, suara Demokrat, suara Gerindra bahkan suara PDIP dan pendukung Jokowi. Politik umat Islam tak bisa ditegakkan sendirian tapi butuh suara kelompok nasionalis, liberal, abangan dan sekuler.

Jika agama masuk politik, maka politik tak jadi bersih karena agama. Dan agama sudah pasti tercemari karena intrik politik. Maka Cak Nur dulu dengan gagah mengatakan: Islam Yes. Partai Islam No. Jargon ini bagai firman Tuhan diamini saat Orde Baru kokoh berkuasa.

Tapi tidak buat era sekarang. Jika orang baik tak mau berpolitik, maka jangan salahkan jika politik diisi para penjahat politik. Maka semua berpolitik: ulama politik, guru politik, saudagar politik, petani politik, takmir masjid politik, jamaahnya juga berpolitik.

Nasdem adalah Jokowi. Jokowi adalah Nasdem. Begitu jargon Kak Surya Paloh. Dulu. Saat mengusung Jokowi menjadi Capres kala itu. Mungkinkah sekarang: Nasdem adalah Anis. Anis adalah Nasdem. Saat Kak Surya Paloh dan Rosano Barrack memainkan peran politiknya. Demi menjaga perusahaan raksasanya tetap survive dan berjaya. Anis adalah pilihan. Begitulah sunatullah politik.

Tak ada yang abadi dalam politik kecuali kekuasaan. Tapi jangan main politik kalau tak punya nyali dan ambisi. Maka orang baik kerap hanya menjadi dongeng penghiburan bagi para orang kalah dalam persaingan.

Demokrasi itu mahal. Hanya orang kaya dan berduit yang bisa kokoh bertahan. Maka partai gurem adalah partainya orang yang tak punya duit. Pemenang Pilpres adalah yang disokong para cukong dan oligarki. Rakyat adalah kumpulan banyak dengan satu biting suara.

William Liddle dan Ben Anderson mungkin benar ketika menyebut demokrasi di Indonesia dalam ancaman. One man one vote adalah sumber masalah. Sebab orang baik kerap kalah.

Dunia politik pun diisi orang orang berduit dengan ambisi besar. Bukan rakyat, tapi perusahaan dan uang yang diperjuangkan. Lantas siapa bisa kalahkan para oligarki ketika para Capres diusung para cukong?

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version