Prof Muhadjir Effendy Mengaku sebagai Kader Kintil

Menko PMK Muhadjir Effendy menjadi pembicara melalui Zoom. Prof Muhadjir Effendy Mengaku sebagai Kader Kintil(Tangkapam layar Muh. Isa Ansor/PWMU.CO)

Prof Muhadjir Effendy Mengaku sebagai Kader Kintil; Liputan Muh. Isa Ansori, kontributor PWMU.CO

PWMU.CO – Seminar Nasional dan Rapat Kerja Nasjonal (Rakernas) Ke-5 Majlis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menghadirkan Kemenko PMK Prof Muhadjir Effendi.

Muhadjir menyampaikan perlunya MPK memiliki big data, sehingga jelas  berapa kader Muhammadiyah itu. “Tidak hanya berbasis kira-kira,” ujarnya melalaui Zoom Cloud Meetings, Selasa (18/10/22).

Hal ini juga berkaitan juga dengan kesenangannya, melacak anak cucu pendiri maupun tokoh-tokoh Muhammadiyah. “Saya pernah ketemu dengan anak keturunan Ir Djuanda dan keturunan Pak Prodjokusumo, yang aktif di Muhammadiyah,” ungkapnya.

Selain itu juga, bertemu dengan kakak Jenderal Soedirman, yang tidak memiliki keturunan, kemudian mewaqafkan hartanya untuk amal usaha Muhammadiyah.

Menurutnya, Muhammadiyah memang tidak mengenal “darah biru” dalam organisasinya. “Namun tidak ada salahnya, MPK memperhatikan anak turun tokoh-tokoh Muhammadiyah untuk diketahui keberadaan dan aktifitas kemuhammadiyahannya,” harap Muhadjir. 

Anak turun tokoh atau pimpinan Muhammadiyah juga bisa menjadi sumber kader yang bisa meneruskan aktivitas orang tuanya.

Kader Kinthil

Banyak serba-serbi perkaderan Muhammadiyah yang dikupas Muhadjir Effendy dalam materi yang disampaikan dalam acara yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini. 

Untuk memperluas audience, Ketua MPK Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, yang juga menjadi ketua panitia, Dr Latipun, membagikan link Zoom kepada seluruh pengurus MPK Pimpinan Dawrah Muhammadiyah (PDM),  sehingga banyak yang bisa menyimak di daerah masing-masing. 

Salah satu yang menarik dari fenomena di Muhammadiyah dan tidak boleh diabaikan menurut Muhadjir adalah pengaderan kintil—yang dalam bahasa Jawa artinya mengikuti seseorang terus-menerus. Dalam perjalanannya, dia bisa mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman, dari tokoh-tokoh yang diikutinya. 

Perkaderan model itu, dialami olehnya sendiri. “Lagu pertama yang saya hafal, adalah lagu Nasyiatul Aisyiyah (NA), karena sering diajak (ngintil) kakak ke acara-acara NA,” katanya. Kebiasaan ini, terjadi dalam peran-peran yang lebih besar dan lebih penting berikutnya. 

Muhajir, termasuk kelompok delapan, peletak dasar kebangkitan perguruan tinggi Muhammadiyah. “Saya banyak menyerap ilmu di tim ini, saat mengikuti Pak Djasman dan Pak Malik Fadjar, juga anggota kelompok lainnya,” ungkapnya memberi contoh saat dia ngintil ke tokoh-tokoh Muhammadiyah.

“Waktu itu saya masih berusia 27 tahun, saat ditetapkan sebagai Wakil Rektor di UMM,” jelasnya. 

Karena dalam tim, Muhadjir anggota paling muda, maka pekerjaan kesekretariatan banyak yang diserahkan kepadanya, seperti membuat surat dan proposal untuk mengurus izin pembukaan prodi tertentu di perguruan tinggi Muhammadiyah. 

Perkaderan model ngintil ini ternyata tidak bisa diremehkan, karena banyak kader sukses di berbagai bidang karena mengikuti aktivitas seniornya. 

Selain model itu, di Muhammadiyah ada pengaderan formal, termasuk yang ada di lembaga, majelis, dan organisasi otonom, melalui Baitul Arqam dan Darul Arqam. 

Namun, menurut Muhadjir, sering kali formalitas ini, menghalangi seseorang untuk aktif di Muhammadiyah. Misalnya aturan, lima tahun NBK (Nomor Baku Muhammadiyah), bisa menghambat seseorang untuk masuk dalam struktur kepemimpinan tertentu, karena belum sempat atau belum lama mengurusnya. 

“Pak Malik dan Pak Tarmidzi Taher pernah mengalami hambatan ini, padahal siapa sih yang tidak kenal dengan Pak Tarmidzi,” jelasnya dalam nada tanya. 

Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta menyampaikan perlunya kader yang berwawasan dan berperan global, seperti Prof Din Syamsudin dan Buya Syafi’i Ma’arif. 

Melacak Jejak Sejarah

Dalam paparannya, Muhadjir juga menyampaikan kegemarannya menelusuri jejak perjuangan kader Muhammadiyah di suatu tempat. 

“Para pendahulu ini, pasti selalu meninggalkan jejak amal usaha, di mana dia berada atau ditempat beliau ditugaskan,” katanya. Contohnya di Sumbawa Besar, di mana Pak Malik Fadjar ditugaskan   dan mendirikan lembaga pendidikan.

“Ketika saya lacak ke sana, ternyata sudah tidak aktif. Kemudian saya revitalisasi menjadi klinik dan sekarang sudah menjadi rumah sakit,” jelasnya.

Dia menegasan, peninggalan-peninggalan jejak sejarah yang sudah tidak aktif, perlu ditransformasikan menjadi jejak peninggalan baru, oleh kader-kader sekarang. 

Selain itu, MPK juga perlu membuat proyeksi, bagaimana dengan masa depan Muhammadiyah dan bangsa ini. “Termasuk mencetak kader yang berwawasan, berkarakter, dan berperan secara global,” ujarnya menjawab pertanyaan di atas. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version