Suka Tamsil
Di antara ciri khas tulisan Mohammad Diponegoro, dia suka menggunakan metafora. Bacalah bahasan berjudul Nenek yang Menulis Cerpen di buku Yuk, Menulis Cerpen Yuk. Di situ dia berkisah, bagaimana seorang nenek-nenek yaitu Eudora Welty punya semangat tinggi dalam mencipta cerpen.
Oleh Mohammad Diponegoro, etos menulis yang menyala-nyala itu diberi perumpamaan yang menarik dan mudah dipahami. Eudora Welty, tulis Mohammad Diponegoro, “Mewarisi tekad Jenderal Thariq bin Ziyad yang membakar seluruh armada perangnya setelah mendarat di Jazirah Spanyol. Ever onward, never retreat, menurut istilah Bung Karno. Terus maju, pantang mundur. Demikian juga Welty dalam menulis” (h.23).
Hal lain, bertebaran nada humor di tulisan Mohammad Diponegoro. Sekadar menyebut, lihat pada judul “Kau Suka Baca Apa, Nak” di buku Yuk, Menulis Cerpen Yuk.
Dia menulis seperti berikut ini (silakan perhatikan yang saya cetak miring). “Bahasa pun,” tulis Mohammad Diponegoro, “Perlu digunakan yang sederhana. Setiap kalimat mengandung subjek dan predikat yang jelas. Kata-kata asing dan langka dijumpai harus dilempar ke luar pagar. Jalan ceritanya pun sebaiknya sederhana dan lurus. Sorot balik (flash back) merupakan belut licin untuk bisa ditangkap oleh pikiran anak-anak” (h.27).
Karya-karya Mohammad Diponegoro membawa warna tersendiri, demikian kesan Taufik Ismail. “Isi cerita pendeknya: simpati kepada kehidupan dan taqarrub pada Tuhan,” simpul penyair tenar tersebut.
Alhasil, sungguh panjang jejak kebajikan Mohammad Diponegoro. Maka ketika beliau wafat pada 9 Mei 1982 dalam usia 54 tahun di Yogyakarta, duka menyergap banyak kalangan (sekadar catatan: sampai beliau meninggal, posisi Wakil Pemimpin Redaksi Suara Muhammadiyah masih dipegangnya).
Terakhir, lebih dari rasa duka, banyak doa yang membubung tinggi: Semoga semua kontribusi Mohammad Diponegoro bagi masyarakat Islam terutama lewat karya-karyanya di aspek sastra dan budaya menjadi amal jariyah yang berbuah jannah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post