Din Syamsuddin: Maqashid As-Syariah Bersifat Relatif; Liputan Dian Rahma Santoso, kontributor PWMU.CO Sidoarjo.
PWMU.CO – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) menggelar Seminar Internasional Islamic Economics in Maqasid Al-Syariah Perspective” (Ekonomi Islam dalam Perspektif Maqasid Al-Syariah), Sabtu (26/11/2022).
Salah satu pembicaranya adalah Prof M Din Syamsuddin MA PhD, Guru Besar Politik Islam Dunia Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemampuannya yang luar biasa di bidang politik Islam mewarnai pembahasan ekonomi Islam dengan mengusulkan beberapa hal pada seminar yang diselenggarakan di Auditorium KH Ahmad Dahlan Umsida ini.
Sebagai orang luar (outsider) dari bidang ekonomi Islam ataupun syariah, di hadapan para ahli ekonomi Islam dan syariah serta 700 peserta mahasiswa dan dosen, Din mengusulkan bahwa maqashid as-syariah harus menghormati harga diri manusia (karamat al-insan/human dignity) dan hak asasi manusia.
Din me-review ekonomi Islam dari perspektif maqasid al-syariah dari Imam Malik, al-Maturidi, al-Qardawi, dan Imam Ghazali. Yang intinya, mengembangkan ekonomi dalam Islam harus menghormati harga diri manusia dan hak asasi manusia. “Banyak juga yang melihat dari tiga kebutuhan primer, sekunder, dan tersier,” katanya.
Namun, Din menekankan pada yang primer dalam memahami ekonomi Islam dari perspektif maqasid al-syariah, yaitu dengan memelihara agama. “Saya melihatnya sebagai yang primer adalah hifzuddiin, maintaining and strengthening (memelihara dan menguatkan) agama,” tuturnya.
“Dan menjadikan hifzuddin sebagai yang sentral, maka yang lainnya menjadi instrumental. Agama digunakan untuk membela negara karena kita hidup dalam pascapenjajahan,” jelasnya.
Kepada PWMU.CO Din menjelaskan, maqashid as-syariah adalah ijtihad ulama untuk merumuskan filsafat hukum Islam menjadi lima tujuan syariat Islam. “Maka sesungguhnya maqashid as-syariah itu bersifat nisbi, dapat ditambah atau disederhanakan menjadi ada yang bersifat sentral dan ada yabg bersifat instrumental. Maka ada yang ingin menambahkan hifzhu karamatil insan (human dignity) atau kemuliaan manusia. Saya pun ingin mengusulkan pentingnya memelihara lingkungan hidup (hifzhu al-biah), dan memelihara negara (hifzhu al-dawlah),” ujarnya Ahad (28/11/2022).
Cita-Cita Islam
Di sela materi seminarnya—karena ini seminar internasional—Din menawarkan pada audiens untuk berbicara dalam tiga bahasa yaitu Arab, Inggris dan Bahasa Indonesia yang disambut tepuk tangan meriah oleh seluruh peserta.
Din melanjutkan, “Ada yang lebih tinggi dari maqasid al-syariah yaitu cita-cita sosial Islam. Dalam pemahaman saya, ada yang lebih tinggi dari tujuan-tujuan syariah yang sifatnya relatif, mungkin saja bisa ditambah atau bisa diklasifikasi,” terangnya.
Merujuk pada ulama-ulama terdahulu yang juga sudah mengklasifikasikannya, “Ada yang pokok dan ada yang cabang-cabang,” katanya. Din menyebutkan tujuan dari agama Islam adalah cita-cita sosial dan imajinasi sosial, yaitu membangun umat Islam.
“Inilah yang dibentuk Rasul SAW di Yatsrib (Madina), umat yang dibangun adalah dimensi dalam. Dalam komputer disebut soft ware, sedangkan Madinah itu hardware-nya,” lanjutnya.
Dalam membangun umat tersebut, Din berpikir untuk mempertimbangkan sistematika ajaran Islam, yaitu at-tauhid dan al-khilafah.
Din mengutip potongan ayat dalam Surat al-Baqarah, “Inni jaailun fil ardli khalifah (sesungguhnya Aku menciptakan manusia di bumi sebagai khalifah).”
Din melanjutkan, walaupun ada dua penafsiran, pertama khalifah yang datang belakangan pada manusia itu dari generasi-generasi manusia sebelumnya. Maka ketika Allah berkata, ‘Inni jaailun fil ardhi khaliifah.’ Jin dan malaikat mengetahui bertanya, ‘Apakah engkau menciptakan generasi manusia untuk membuat kerusakan’,” paparnya.
“Tafsir kedua, menggantikan Allah membangun bumi, islah fil ardh, menjadi muslihin, lawannya walaa takunu minal mufsidin (atau bukan mufsidin),” sambungnya.
Din menegaskan, “Islah dan fasad ini dilawankan, jadilah minal muslihin, yang melakukan al-islah, bukan hanya mendamaikan antara dua yang bertikai namun membangun bumi, membangun khilafah peradaban.”
“Maka tebarkan amal shalih yang sangat sentral dalam Islam, walladi na amanu waamilus shalihat,” tandasnya.
Untuk mewujudkan al-islah, Din mengusulkan, berdasarkan sistematika Islamic teaching (pengajaran Islam). “Tauhid paling penting, kita mengemban misi kemanusiaan, kita membangun khilafah peradaban, yang dengan itu kita harus melakukan islah,” jelasnya.
Menurut Din, Muhamadiyah menjabarkan islah ada dua, amaliah dan al-asriah. Amaliah yaitu seperti sekolah, rumah sakit, dan sebagainya yang mencakup amal usaha Muhammadiyah. Sedangkan al-asriyah adalah wajahnya Muhammadiyah yang berkemajuan.
Dari pembahasan kurang dari tiga puluh menit, , Din menyimpulkan, “Maqasid al-syariah penting sebagai instrumen untuk menafsirkan, memahami ajaran-ajaran Islam, tapi yang penting adalah cita-cita sosial Islam, mewujudkan masyarakat utama, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,” ujarnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post