Dampak Ambisi Orangtua Mengabaikan Suara Hati Anak; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Pada sesi tanya jawab parenting SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) Gresik, Jawa Timur, bunda dari Hafidz Agustian Ramadhan kelas VI Mars langsung mengajukan pertanyaan. Sebelumnya dia menyatakan sepakat orangtua perlu terus belajar. “We never too old to learn (kami tak pernah terlalu tua untuk belajar),” ujarnya.
Kemudian, salah satu wali siswa yang duduk di kursi barisan depan itu menanyakan, “Bagaimana bisa dikatakan sebagai orangtua yang berkesan ketika orangtua itu salah mengarahkan anak?”
Ibu berjilbab kuning itu menceritakan satu contoh berdasarkan pengalamannya ketika masih aktif berkarir. “Saya mempunyai staf yang susah diatur, susah dibimbing. Setelah saya selidiki, ternyata dia salah pilih. Harusnya dia ingin menjadi dokter tapi oleh orangtuanya diarahkan ke bidang yang lain yaitu bidang akuntansi,” terangnya.
Untuk kebaikan generasi penerus, dia berharap, mudah-mudahan tidak akan terjadi seperti itu. “Karena di lingkungan masyarakat, ketika mengimplementasikan ilmunya, dipindah ke bagian mana pun dia tidak bisa diterima oleh lingkungan,” imbuhnya.
Terkait ambisi orangtua yang memaksakan kehendak pribadi tanpa mau mendengarkan suara hati sang anak, kata narasumber Erlan Iskandar ST, kenyataannya memang bisa berdampak seburuk itu. “Itulah sebabnya Islam itu mengajari kita untuk senantiasa mempertimbangkan aspirasi dan pandangan anak-anak kita,” terang Ketua Yayasan Anak Muslim Ceria itu.
Menurutnya, ini berdasarkan dalil kisah Nabi Ibrahim yang disuruh untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail AS. Dia mengajak para wali siswa kelas I-VI itu merenung, “Kita tahu, Nabi Ibrahim itu kekasih Allah tapi apakah Nabi Ibrahim setelah dapat wahyu disuruh menyembelih anaknya lalu ujug-ujug dia ambil golok? Apakah tanpa ada mukadimah dia langsung sembelih anaknya? Tidak!”
Nabi Ibrahim di surat as-Shaffat ayat 102 mengatakan, “Wahai anakku, aku disuruh untuk menyembelihmu. Coba Terangkan, apa pendapatmu?”
Setelah Nabi Ismail mengemukakan pandangannya, lanjut Erlan, baru kemudian proses penyembelihan itu dimulai. Dia menekankan pelajaran pentingnya menghargai keinginan anak, apa yang anak rasakan, dan apa yang didamba anak. “Karena anak-anak kita juga punya pandangan untuk kehidupannya,” ungkap lulusan Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta itu.
Oleh karenanya, sambung Erlan, jangan paksakan keinginan pribadi sampai menganggap remeh apa yang menjadi keinginan anak-anak. “Karena yang menjalani kehidupannya kelak adalah anak kita sendiri. Itulah sebabnya kalau sesuatu itu sudah berangkat dari kesadaran, sudah berangkat dari dalam diri, maka biasanya akan lebih powerful dan berenergi,” tegasnya.
Ibarat telur ayam, kata Erlan, kalau pecahnya dari dalam yang muncul adalah kehidupan yaitu anak ayam. “Tapi kalau telur ayam pecahnya dari luar maka tidak ada kehidupan setelahnya. Paling hanya sekadar menjadi telur ceplok dan telur dadar. Kalau pecahnya dari dalam, yang muncul adalah kehidupan yang lebih punya roh dan spirit nantinya,” jelas dia di Aston Inn GKB, Jumat (2/12/2022). (*)
Discussion about this post