Kokam dan Banser Bersatu saat Gus Dur Mau Naik Jadi Presiden; Penulis Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Sebagai pengamat sosial politik, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 2005-2015 Prof M Din Syamsuddin MA PhD sudah menengarai sejak dulu hingga sekarang ada upaya mengadu domba umat Islam.
Dia mengungkapnya saat membahas ‘Islam dan Perdamaian Dunia’ dalam Pengajian Ahad Pagi Fajar Mubarok yang digelar Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Nganjuk, Ahad (8/1/2023).
Prof Din, sapaannya, mengenang, “Waktu Gus Dur mau naik jadi Presiden, Pak Amien Rais pendukung utama tabligh akbar di depan Gedung Dakwah Muhammadiyah di Jakarta. Pembicara dari Muhammadiyah Pak Amien dan saya, dari NU Gus Dur dan Kiai Haji Nur Iskandar.”
Saat itu Jalan Raya Medan Raya dari Gambir sampai Cikini ditutup oleh Pemuda. “Mau dia Kokam dan Banser bersatu. Baru kali itu Banser dan Kokam bersatu!” imbuhnya.
Prof Din kala itu berpesan dalam pidato singkatnya, “Kalau kita sekarang bersatu, dengan bersatunya NU dan Muhammadiyah, waspadailah pasti ada pihak yang tidak senang baik di dalam negeri maupun di luar negeri.”
Dari momentum itu Prof Din bisa menilai, ternyata umat Islam luar biasa bisa bersatu. “Punya Presiden Abdurrahman Wahid (tokoh NU), punya Ketua MPR tokoh Muhammadiyah, punya Ketua DPR Tokoh Himpunanan Mahasiswa Islam (HMI) Akbar Tanjung,” ungkapnya.
“Ada orang-orang yang mau diadu domba di antara kita. Saya tahu di daerah ini betapa banyak Amal Usaha Muhammadiyah rusak. Saya bolak-balik sebagai wakil ketua PP Muhammadiyah. Inilah kita,” ujarnya di Kota Angin itu.
Maka untuk mempersatukan umat, dia mengimbau Muhammadiyah menjadi pelopor dan mediator. “Maka kalau ada yang ingin datang memprovokasi kita untuk bermusuhan dengan orang lain, apalagi sesama muslim, jangan mau!” tegasnya.
Prof Din pun memberikan kesaksian selama 10 tahun memimpin Muhammadiyah. “Setan-setan minal jinnati wannas itu banyak yang datang, agar begini begitu begini begitu. Tapi alhamdulillah saya tidak mau terpengaruh. Apalagi kalau menyangkut kebersamaan umat Islam. Ini masih berlangsung di bawah ya. Saya kadang-kadang hampir tidak tahu gimana cara lagi. Ya pernah terjadi sehingga ya bisalah saya telepon dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Tetapi kalau sudah kekuatan uang atau oligarki, lanjutnya, sering dari umat Islam ini, termasuk pemimpin, tidak berdaya. Tidak hanya umatnya tapi juga tokohnya.
Maka Prof Din menyarankan, “Yang kita tidak bosan-bosan terus-menerus untuk bisa, kita per sekali tabligh akbar ini, bersamalah dengan umat Islam yang lain. Jangan hanya sesama Muhammadiyah. Muhammadiyah, jadilah kekuatan pemersatu, kekuatan pendamai, dan itulah Islam yang kita anut!”
Prof Din yang setelah itu sudah ada agenda lain menyayangkan tak ada waktu untuk silaturahmi ke Pondok Pesantren Tebu Ireng. “Kalau ada waktu saya mampir di Tebu Ireng. Ibu Ida sahabat baik saya. Masih berdesaan dengan kakak saya,” ujarnya.
Putranya KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah–pengasuh Ponpes Tebuireng yang merupakan adik kandung Presiden ke-4 RI Gus Dur–menikah dengan putri dari kakaknya Prof Din. Maka waktu Gus Sholah meninggal, Prof Din menyempatkan datang.
“Di situ, di samping saya Emha Ainun Najib dan Lukman Hakim Saifudin, sama-sama Gontor. Ada Ky
Iai Akhyar juga di situ. Cuma Emha Ainun Najib agak melecehkan saya dalam sambutannya,” kenangnya.
“Tadi waktu tahlilan saya di samping Mas Din Syamsudin saya lihat dia itu kelihatannya nggak bisa tahlilan,” ujarnya menirukan Emha Ainun Najib.
Saat itu yang hadir dalam masjid ada puluhan ribu orang. “Kami bertiga yang diminta sambutan. Pas giliran saya sambutan, tadi saya dengar Cak Nun meremehkan dan sedikit melecehkan saya seolah-olah saya tidak hafal tahlilan.
Padahal kalau ada tahlilan kedua saya siap memimpinnya hahaha,” candanya. Mengingat bapaknya seorang NU.
Akhirnya dia memohon warga Muhammadiyah yang hadir agar rukun di dalam persyarikatan. “Itu bagi modal kita untuk bisa rukun khususnya sesama umat Islam!” Ujarnya. (*)
Discussion about this post