PWMU.CO – Dakwah Islam bukan semata-mata menyampaikan kebenaran tapi juga harus memahami kondisi sosial keagamaan masyarakat. Dengan demikian ajakan pada kebenaran itu dapat diterima dan mencegah konflik.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Drs Nadjib Hamid MSi, dalam ‘Sarasehan Misi Dakwah Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Lakarsantri’ di Markaz Bangkingan, Surabaya, Selasa (28/3) siang.
(Berita terkait: Kisah Ketua Umum PP Muhammadiyah KH AR Fachruddin yang Pimpin Yasinan dan Aneh! Mau Berdakwah Dilarang, yang Mengancam Malah Dibiarkan: Cerita Wakil Ketua PWM Jatim tentang KH Ahmad Dahlan yang Pernah Diancam Bunuh)
Selain Nadjib Hamid, pembicara lain dalam sarasehan ini adalah Dr Ir Sudiyarto MMA menyampaikan Analisis SWOT ‘Tantangan Dakwah’ dan Drs Sugeng Purwanto penyampai materi ‘Refleksi Dakwah Nabi’. Sarasehan ini diikuti oleh pengurus PCM, PRM, PCA, dan personalia amal usaha Muhammadiyah (AUM).
Nadjib mencontohkan, dai Muhammadiyah itu biasa mengatakan bahwa tradisi megengan, yaitu berbagi kue apem ke tetangga menjelang puasa, itu bidah karena tidak ada dalilnya. Namun tidak pernah memberi alternatif pengganti tradisi itu.
”Tradisi apem megengan itu lahir sebagai bagian dari cara dakwah zaman dulu. Apem itu boleh jadi dari kata afuwun yang artinya maaf. Kalau itu dibidahkan lalu penggantinya apa sebab masyarakat butuh tradisi,” tanya dia.
(Baca: Dakwah Itu Jangan Menakut-nakuti, Apalagi Menyudutkan Pihak Lain)
Akibat model dakwah seperti itu, sambung Nadjib, Muhammadiyah akhirnya mendapat cap kasar, keras, ajarannya harus dihindari. ”Padahal dakwah itu mengajak bukan menghakimi. Kalau suka menghakimi mana ada orang yang mau diajak memahami Islam cara Muhammadiyah,” kata Nadjib yang pernah menjadi komisioner KPU Jawa Timur ini.
Dia menuturkan, tradisi megengan itu misi dakwahnya adalah sedekah menjelang puasa. ”Lebih baik gantilah hantaran apem itu dengan sedekah lain yang lebih bermakna,” dia menyarankan.
Nadjib bercerita, pernah membalas hantaran itu dengan sekotak kurma Tunisia. Ternyata kurma itu membawa respon baik. Tetangga cerita kurma itu dipakai buka puasa tiap hari.
”Nah dakwah seperti ini kan bisa mengajak orang dan menjadikan hubungan bertetangga juga baik. Padahal sebelumnya Ketua RT setempat selalu wanti-wanti ke warganya, awas lho rumah pojok Pak Nadjib itu orang Muhammadiyah,” ceritanya disambut tertawa hadirin.
(Baca juga: Dakwah Harus Menggembirakan, Jangan Menakut-nakuti dan Menyalah-nyalahkan)
Pembicara lain, Sugeng Purwanto dalam sarasehan itu menyitir arti ayat-ayat surat Al Insyirah. Dia menjelaskan, Nabi Muhammad menjadi nabi itu bukan pilihan hidup. Tugas kenabian tiba-tiba saja diberikan.
”Ayat-ayat dalam surat Al Insyirah menjelaskan kondisi psikologis Nabi SAW yang merasa sesak dada dan berat punggungnya menjalankan misi dakwah Islam. Tapi Allah menjamin kelapangan dada dan meringankan beban dakwah serta mengatasi kesulitan dengan kemudahan,” ujar Sugeng Purwanto yang juga menjabat Sekretaris PCM Lakarsantri. ”Hasilnya Allah mengangkat nama Nabi menjadi sebutan yang populer dan selalu diucapkan banyak orang hingga kini dalam shalawat maupun syahadatain,” sambungnya.
(Baca juga: Belajar Tembang Pucung di Sekolah Macapat Gresikan, Ikhtiar Dakwah Kultural Muhammadiyah)
Sedangkan kajian SWOT (Strenght Weakness Opportunity Treatment) tantangan dakwah, Dr Sudiyarto menjelaskan, agar dakwah bisa tercapai sesuai tujuannya, para dai perlu mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman faktor internal dan eksternal.
Analisis SWOT dipakai, kata dosen Fakultas Pertanian UPN ini, untuk memahami kekuatan organisasi dan peluang yang terbuka di medan dakwah.
”Pada akhirnya dai harus mampu meningkatkan SO (Strenght dan Opportunity) serta memperkecil WT (Kelemahan dan Ancaman) sehingga dakwah itu bisa sesuai harapan,” kata Sudiyarto yang juga Kepala Bidang Ekonomi PCM Lakarsantri. (sgp/mn)