Buta Sejarah, Memisahkan Muhammadiyah dengan Politik

Dr H Mahsun Djayadi MAg: Buta Sejarah, Memisahkan Muhammadiyah dengan Politik

Buta Sejarah, Memisahkan Muhammadiyah dengan Politik. Menyambut Musyawarah Daerah (Musyda) Ke-18 Muhammadiyah Kota Surabaya yang akan digelar di Universitas Muhammadiyah Surabaya, 26 Februari 2023, redaksi menurunkan tulisan khusus tentang pasang surut hubungan Muhammadiyah dengan politik yang ditulis oleh Dr H Mahsun Djayadi MAg, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya 2015-2021.

PWMU.CO – Eksistensi Muhammadiyah sebagai organisasi nonpolitik memang sudah dirancang sejak awal (by design) oleh pendirinya: KH Ahmad Dahlan. Akan tetapi sang pendiri juga menyadari bahwa keberadaan Muhammadiyah sebagai subsistem dalam sistem pemerintahan penjajah Belanda harus bersinggungan dengan persoalan politik.

Bahkan di banyak persoalan keumatan, KH Ahmad Dahlan harus melakukan komunikasi politik dengan pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian bisa dimaknai tanpa harus menjadi partai politik, Muhammadiyah sejatinya harus selalu berkontribusi di bidang politik sebagaimana telah dicontohkan oleh pendirinya.

Muhammadiyah perlu memainkan peranan politik yang akomodatif, khususnya terhadap pemerintah. Sehingga Muhammadiyah mampu secara jernih mendudukkan persoalan keumatan dan politik yang dalam satu sisi ada batas demarkasinya dan sisi lain merupakan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Maka akomodatif dalam berpolitik adalah keniscayaan.

Bagi Muhammadiyah, politik harus menjadi kegiatan integral dari kehidupan yang utuh. Maka mengherankan kalau ada warga Muhammadiyah yang menjauhi, apalagi membenci, kegiatan tertentu yang menentukan arah kehidupan bangsa.

Mengutip Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1988), kegiatan dunia harus direbut dan dikendalikan agar sesuai dengan ajaran Allah yakni agama Islam. Dalam konteks ini, Muhammadiyah telah memberi ruang bagi warganya agar memanfaatkan secara baik politik dan ekonomi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam dan bermanfaat serta maslahat bagi umat manusia.

Sejarah Pasang Surut Muhammadiyah dan Politik

Sejarah panjang hubungan Muhammadiyah dengan politik mengalami pasang surut setidak-tidaknya menurut analisis penulis berdasarkan fakta perjalanan persyarikatan Muhammadiyah sebagai berikut:

Pertama, di awal berdirinya Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan memulai melakukan komunikasi politik terkait dengan kebijakan pemerintah memberi izin pendirian persyarikatan Muhammadiyah. Pada tahun pertama ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Kemudian pada tahun 1914 KH Ahmad Dahlan mengajukan legalitas lagi dan disetujui oleh pemerintah meski hanya untuk wilayah Yogyakarta. Tetapi karena perluasan Muhammadiyah sudah sangat masif sampai ke luar Jawa, maka KH Ahmad Dahlan mengajukan legalitas lagi, dan pada tahun 1921 mendapatkan izin operasional Muhammadiyah untuk seluruh Nusantara.

Kedua, KH Ahmad Dahlan melakukan tindakan politik yakni memprotes pemerintah atas diterapkannya kebijakan tentang “ordonansi sekolah liar” yakni setiap lembaga pendidikan atau pondok harus mendapat izin dari pemerintah.

Selain itu KH Ahmad Dahlan juga memprotes kebijakan “ordonansi guru agama” yang dinilai sangat merugikan umat Islam. Dan yang sangat kontroversial adalah sikap KH Ahmad Dahlan memprotes keras kebijakan “ordonansi haji” yakni pembatasan jumlah umat Islam yang ingin menunaikan haji termasuk berbagai syarat yang sengaja mempersulit agar umat Islam nusantara (Indonesia) tidak bisa menunaikan ibadah haji.

Semua protes KH Ahmad Dahlan disampaikan secara tegas dan argumentatif itu berhasil dengan baik. Pemerintah Belanda akhirnya setuju mencabut berbagai kebijakan ordonansi, termasuk ordonansi perkawinan tercatat.

Ketiga, di zaman pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, Muhammadiyah turut aktif melalui tokoh-tokohnya dalam partai Syarikat Islam. Pada pertengahan 1930-an banyak tokoh Muhammadiyah struktural ikut mendirikan PII (Partai Islam Indonesia) di bawah pimpinan Wiwoho.

Keempat, di zaman kemerdekaan, selain ikut dalam perjuangan fisik bersenjata, Muhammadiyah aktif dalam partai Masyumi. Bahkan Muhammadiyah diakui sebagai anggota istimewa Masyumi, sampai partai tersebut membubarkan diri. Di kalangan Muhammadiyah waktu itu terkenal dengan semboyan “Muhammadiyah tempat beramal, Masyumi tempat berjuang”. Ini adalah fakta sejarah, (Mahsun, 1997, hal, 126).

Pada tahun 1956, sebelum Masyumi membubarkan diri, Muhammadiyah menyelenggarakan sidang Tanwir di Yogyakarta, hasilnya adalah: Muhammadiyah tetap Muhammadiyah berjalan sesuai dengan khittahnya, sedangkan di bidang politik praktis disalurkan dan diatur bersama dengan Masyumi. Anggota Muhammadiyah yang ingin berjuang di ranah politik dianjurkan masuk partai Islam.

Zaman demokrasi terpimpin di bawah pemerintah Orde Lama—setelah bubarnya Masyumi, dan munculnya gelombang Nasakom—bagi Muhammadiyah merupakan masa vakum ketiadaan wadah. Tetapi tuntutan membela kepentingan umat Islam mengharuskan Muhammadiyah melakukan fungsi-fungsi politik, sehingga waktu itu Muhammadiyah dikenal sebagai ormaspol.

Kelima, pada zaman Orde Baru, Muhammadiyah bersama dengan ormas lain yakni NU, PSII, dan Parti, melalui embrio Amal Muslimin mendirikan partai Islam baru yang diberi nama Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Faktanya tokoh-tokoh Muhammadiyah sangat mendominasi kepengurusan partai tersebut. Tetapi pemerintah, khususnya pihak militer, tidak menyukai Parmusi karena banyak oknum mantan Masyumi. Hal ini juga kemudian menyulitkan Muhammadiyah.

High Politic

Pada Tanwir di Ponorogo tahun 1969 memutuskan: Muhammadiyah tetap sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar, sedangkan untuk perjuangan politik praktis wajib membina Parmusi yang sebagai proyeknya. Antara Muhammadiyah dengan Parmusi tidak ada hubungan organisatoris tetapi tetap ada hubungan ideologis.

Muktamar Muhammadiyah Ke-38 di Ujungpandang 1871 memutuskan memberi sinyal jalan bagi politisi Muhammadiyah di Parmusi tetapi ditegaskan bahwa Parmusi sudah bukan lagi proyeknya Muhammadiyah.

Pada perkembangan baru yakni Muktamar Ke-41 Muhammadiyah di Solo tahun 1985 Muhammadiyah melakukan politik akomodatif dengan pemerintah. Hal ini terkait dengan kebijakan tentang Asas Tunggal. Ini berjalan sampai Muktamar Ke-42 Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1990. Dengan demikian peran politik Muhammadiyah mengalami surut.

Keenam, pada Muktamar Ke 43 Muhammadiyah di Aceh tahun 1995, peran politik Muhammadiyah mengalami perkembangan baru yakni memantapkan sikap politik yang dikenal dengan high politic atau politik adiluhung, yakni politik nilai. Bahwa Muhammadiyah bukan partai politik tetapi berkontribusi politik yakni politik berbasis moral. Pada masa ini dikembangkan masalah profesionalisme di jajaran pimpinan Muhammadiyah. Bahwa profesionalisme dalam menjalankan tugas di Muhammadiyah tidak mengurangi keikhlasan yang bersangkutan.

Ketujuh, masuknya era reformasi yang dimulai pada tahun 1997. Lewat Tanwir Semarang, Muhammadiyah mengamanatkan M. Amien Rais melakukan jihad politik dengan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Kebijakan Muhammadiyah tetap bahwa antara Muhammadiyah dengan PAN tidak ada hubungan organisatoris tetapi punya hubungan historis dan ideologis. Jadi pada era Reformasi sampai sekarang ini satu-satunya partai yang didirikan (berdasarkan keputusan Tanwir Semarang) adalah PAN.

Buta Sejarah

Pertama, bahwa dalam sejarah panjang Muhammadiyah sejak berdiri sampai sekarang selalu berhubungan—atau setidak-tidaknya bersinggungan—dengan masalah politik. Hal ini wajar karena baik manusia apalagi lembaga yang berada dalam sebuah sistem pemerintahan mau tidak mau pasti bersentuhan dengan politik dalam pengertian yang luas.

Kedua, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan publik pemerintahan dan negara. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik pemerintahan.

Maka penulis menyayangkan bahwa orang atau pihak tertentu di Muhammadiyah yang menyatakan antipolitik atau antipartai politik (baik politik dalam arti luas maupun politik praktis). Barangkali bisa disebut sebagai ahistoris yakni buta sejarah.

Ketiga, jihad politik Muhammadiyah (Jipolmu) dalam perspektif penulis sampai saat ini terasa masih relevan meski format dan skemanya bisa berubah sesuai perkembangan peta politik di Indonesia ini.

Keberhasilan para politisi kader Muhammadiyah di samping karena support langsung dari Muhammadiyah, ada juga yang hasil usaha dan kerja individu. Itu tidak masalah yang penting peran dan kerja politik mereka nyata untuk kepentingan umat dan bangsa. Nasrun minallah. (*)

Buta Sejarah, Memisahkan Muhammadiyah dengan Politik; Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version