Jadi Pimpinan Muhammadiyah Jangan Bonek,Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.
PWMU.CO – Muhammadiyah tengah punya gawe besar transformasi kepemimpinan. Diawali dengan musyawarah tingkat nasional yang lebih dikenal dengan muktamar, kemudian musyawarah wilayah (musywil), musyawarah daerah (musyda), musyarawah cabang (musycab), dan terakhir musyawarah ranting (musyran).
Ada fenomena baru pascaperhelatan muktamar rasa wisata di Solo November 2022 silam. Kegiatan musywil dan musyda selalu diringi serangkaian kegiatan edukatif, syiar, dan hiburan dalam satu paket. Konsep penggembira yang seharusnya gembira dan menggembirakan tampaknya menjadi model baru perhelatan di Muhammadiyah.
Namun demikian secara substansi keseriusan transformasi kepemimpinan tetap menjadi perhatian utama. Sifat dan karakter para kader Muhammadiyah memang berbeda dengan kader partai. Menjadi pengurus Muhammadiyah itu kurang menjanjikan untuk karier duniawi. Namun, semua perhelatan pada setiap tingkatan tampak seksi menjelang perhelatan akbar pemilu 2024. Para politisi terlihat antusias terhadap semua kerumunan apa lagi perhelatan ormas yang memiliki basis massa yang jelas.
Tapi mereka lupa bahwa yang sedang mengadakan perhelatan itu Muhammadiyah. Ormas dengan kuantitas kecil yang suaranya kurang diperhitungkan dalam sistem jual beli suara politik praktis yang pragmatis, sehingga kurang menjanjikan secara politik. Pimpinan Muhammadiyah dari pusat sampai ranting juga tidak dibayar. Lalu kenapa warga Muhammadiyah tampak selalu antusias menyuguhkan perhelatan yang meriah? Apa pula yang diharapkan para pimpinan?
Watak kader Muhammadiyah itu pantang meminta jabatan, tapi selalu siap jika dibutuhkan. Betulkah demikian? Menjadi pimpinan Muhammadiyah, apa lagi ketua harus memiliki modal yang cukup supaya tidak menjadi bonek (bondo nekat). Meskipun bonek sebenarnya memiliki ghirah yang tinggi namun tanpa modal hanya akan merepotkan orang lain.
Empat Modal
Pimpinan Muhammadiyah harus memiliki beberapa modal fundamental. Di antaranya: pertama, modal intelektual. Muhammadiyah adalah ormas keagamaan, sehingga pimpinannya harus ngerti agama, syukur-syukur mumpuni dalam rumpun keilmuan keislaman: pakar tafsir, hadits, dan fikih.
Memahami manhaj Muhammadiyah dengan baik. Modal intelektual juga menuntut para pimpinan memiliki ide dan gagasan kreatif untuk memajukan organisasi. Berpengetahuan luas, moderat, demokratis dan mampu menumbuhkan iklim berpikir yang sehat.
“Proses hidup sebagai seorang aktivis akan menempatkan seberapa besar kapasitas ketokohannya. Banyak menjalin silaturahmi, menangani proyek bersama, menjadi panitia suatu kegiatan, berinteraksi dengan kelompok lain, akan membentuk ketokohan seseorang.”
Modal intelektual juga menuntut pengalaman berorganisasi, khususnya di Muhammadiyah. Kemampuan manajerial biasanya ditempuh sejak muda menjadi seorang aktivis. Menjadi pimpinan IPM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Tapak Suci dan lain-lain. Mungkin itulah sebabnya mantan pimpinanberhak dipilih kembali menjadi pimpinan. Tentu saja modal sosial ini juga mencakup semua sifat baik, siddiq, tabligh, amanah dan fathonah.
Kedua, modal sosial. Pimpinan pusat haruslah kader yang memiliki tingkat ketokohan sekaliber nasional, pimpinan wilayah memiliki tingkat ketokohan sekaliber wilayah, begitu pula seterusnya. Artinya secara mutawatir ketokohannya diketahui bahkan diakui sesuai tingkat kepemimpinannya.
Proses hidup sebagai seorang aktivis akan menempatkan seberapa besar kapasitas ketokohannya. Banyak menjalin silaturahmi, menangani proyek bersama, menjadi panitia suatu kegiatan, berinteraksi dengan kelompok lain, akan membentuk ketokohan seseorang. Artinya, ketokohan lahir dari perbuatan yang dirasakan oleh orang banyak. Semakin besar area, durasi, dan intensitas perbuatan yang dirasakan masyarakat semakin besar pula tingkat ketokohannya.
Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) misalnya, memiliki teman, relasi, dan lahan perjuangan minimal satu kabupaten, diperhitungkan oleh ormas lain, komunitas lain, bahkan oleh pemerintah daerah. Tingkat ketokohan memang bukan satu-satunya ukuran kemanfaatan, namun secara sosial ketika seseorang mampu menjadi tokoh nasional, wilayah, atau daerah tentu telah mengalami berbagai tempaan sosial yang tidak ringan.
Mapan Finansial
Ketiga, modal finansial. Menjadi pengurus memang tidak harus kaya. Namun paling tidak memiliki kemapanan finansial. Generasi awal Muhammadiyah banyak diisi oleh para saudagar yang secara finansial tercukupi. Modal finansial ini akan membuat pengurus lebih istikamah dan tenang dalam perjuangan.
“Maka track record para kader yang diusung untuk menjadi pimpinan Muhammadiyah harus diperhatikan oleh warga.”
Bukan berarti yang miskin tidak bisa menjadi pengurus yang baik, namun realitas menunjukkan bahwa banyak amal usaha Muhammadiyah pada awal pendiriannya disokong dan di modali oleh pengurus yang kaya. Karenanya, modal finansial menjadi sangat penting bagi keberlangsungan pPrsyarikatan. Pesan kiyai Dahlan agar kita menghidup-hidupi Muhammadiyah dan tidak mencari hidup di Muhammadiyah akan aman di tangan pengurus yang telah memiliki kebebasan finansial.
Keempat, modal spiritual. Sebagai ormas dakwah, sentuhan spiritual sangatlah penting. Performa pimpinanyang shalih, rajin beribadah dan menjadi teladan menjadi keharusan Muhammadiyah. Mendoakan jamaah setiap selesai shalat harus menjadi rutinitas yang bermakna. Ini bukan soal puritanitas, namun menjaga hati umat untuk terus percaya bahwa Muhammadiyah adalah ormas Islam, bukan LSM apa lagi partai politik.
Modal-modal di atas, sekali lagi tidak diperoleh secara instan dan tiba-tiba, namun proses panjang perjuangan kehidupan sebagai seorang aktivis Persyarikatan. Maka track record para kader yang diusung untuk menjadi pimpinan Muhammadiyah harus diperhatikan oleh warga. Artinya, proses transformasi harus menjamin tampilnya seorang kader yang telah selesai dengan dirinya sendiri dan memiliki modal yang dibutuhkan untuk menjadi pengurus. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni