Staf Khusus Presiden Bicara Pembangunan Ekonomi Berkeadilan; Liputan Ain Nurwindasari
PWMU.CO – Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Dr Arif Budimanta MSi, menyampaikan konsep ekonomi berkeadilan dalam konteks Muhammadiyah dan negara.
Hal itu disampaikan pada kegiatan Kajian Ramadhan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur di Dome UMM, Sabtu (25/3/2023).
“Tiga hal yang disampaikan oleh Pak Haedar tentang jihad ekonomi bersinggungan dengan yang kita bahas saat ini. Yaitu tentang reorientasi teologis,” terangnya mengawali materi.
Menurut Arif, di dalam konteks pembangunan ekonomi yang membedakan arah pembangunan ekonomi Indonesia dengan negara lain adalah yang terkait dengan konsep keadilan.
“Nah Indonesia itu basisnya kalau konstitusi itu tujuan perekonomian Indonesia itu adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur,” ungkapnya.
Arif lantas merinci kata adil yang dapat dijumpai baik dalam teks al-Qur’an yang menjadi pedoman umat Islam, maupun dalam dokumen konstitusional negara.
“Terkait kosa kata adil ada sekitar 28 kali asal muasal kata adil (al-‘adl) di dalam al-Qur’an. Di dalam kehidupan bernegara, landasan filosofisnya, yaitu Pancasila, aspek keadilan juga diulang dua kali. Ketiga, di dalam konstitusi Undang-undang Dasar 1945, kata adil ada 25 kali,” paparnya.
Oleh karena itu menurutnya, ide reorientasi teologis dalam kerangka membantu mustadh’afin melalui zakat, infak, dan sedekah dimulai dari proses pembiasaan pengasahan kemampuan diri sehingga mewujudkan kemampuan ekonomi.
“Ada kemampuan ekonomi itu kemudian didistribusikan untuk kepentingan amal. Salah satunya untuk membela kaum mustadh’afin maupun kaum yang tertindas,” ucapnya.
Pembangunan Perubahan Terencana
Dengan demikian, menurutnya, di dalam konteks pembangunan ekonomi negara, yang dimaksud dengan pembangunan adalah satu perubahan yang terencana.
“Dalam konteks bernegara yang akan kita tuju adalah dalam rangka peningkatan taraf hidup sosial rakyat. Nah ini adalah nilai ketiga, tentang akselerasi,” terangnya.
Arif menambahkan bahwa tujuan utama jihad ekonomi adalah meningkatkan taraf hidup sosial ekonomi rakyat.
“Tentu di tengahnya ada strategi yang harus dilakukan. Strategi seperti apa?” ucapnya.
Ia lantas mengutip pendapat Ibnu Khaldun di dalam kitab Muqaddimahnya: strategi untuk mencapai ekonomi adalah mengharuskan adanya distribusi sumber daya ekonomi secara merata di antara seluruh anggota masyarakat.
“Karena ketidakadilan ekonomi akan mengakibatkan ketidakstabilan sosial,” terangnya.
Dengan demikian, lanjut Arif, jihad ekonomi Muhammadiyah dalam rangka meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat Indonesia secara umum dan warga Muhammadiyah secara khusus adalah dalam rangka menghadirkan social stabilization (stabilisasi sosial).
“Jadi reorientasi teologis tadi tujuan akhirnya adalah redistribusi kekayaan, kaya kemudian diredistribusi,” terangnya.
Arif lantas merinci terkait apa yang harus dilakukan ke depan oleh Persyarikatan maupun negara.
“Pertama, adalah kerja sama yang progresif dalam kerangka mengatur ulang distribusi kapital atau sumber daya secara adil dan merata sehingga semua orang memperoleh Kesempatan pemenuhan kebutuhan dasar hidup ataupun hak-hak sosial rakyat pada umumnya,” terangnya.
Yang kedua adalah (dalam konteks negara) memastikan adanya kesempatan kerja yang layak.
“Jadi untuk memampukan dalam konteks pengusahaan itu kan caranya dua agar terjadi peningkatan taraf hidup, Satu bekerja, sama orang lain dan Kedua menciptakan lapangan kerja dengan wirausaha. Itulah cara yang paling umum dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan,” terangnya.
Menurut Arif hal itu dapat membangun suatu konstruksi sosial bahwa keadilan ekonomi menjadi tanggung jawab bersama.
“Karena ada prinsip fastabiqul khairat di sana. Untuk itu kehidupan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari perspektif politik,” terangnya.
Arif menekankan bahwa produktivitas perekonomian nasional diukur melalui meningkatnya tenaga atau daya beli rakyat.
“Kemudian diikuti juga dengan inflasi yang rendah dan penciptaan lapangan kerja yang layak,” terangnya.
Peta Jalan
Selain itu, Arif menekankan, dalam skala makro diperlukan ekosistem harga.
“Harga dari karya dan harga dari kerja. Yang layak secara kemanusiaan. Dan hubungan industrial yang berkeadilan,” tuturnya.
Dalam konteks persyarikatan, Arif mengatakan bahwa Muhammadiyah telah memiliki semacam peta jalan, yaitu bahwa jihad ekonomi sudah ditetapkan melalui muktamar di tahun 2015.
“Memiliki sejumlah amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, perniagaan, pembiayaan, produksi, dan lain sebagainya,” terangnya.
Maka dari itu, menurut Arif, kerja sama progresif dengan prinsip taawun itu adalah dalam bisnis disebutkan sebagai connecting the door.
“Nah di sinilah kenapa penting connecting the door menghubungkan titik-titik aktifvtas usaha di seluruh unit amal usaha yang kita miliki. Mulai dari tingkat ranting sampai dengan tingkat wilayah sehingga menjadi terintegrasi,” terangnya.
Hal itu menurutnya merupakan upaya membangun ekosistem yang satu sama lain saling mendukung dan saling memajukan.
“Tugas Persyarikatan terutama majelis ekonomi itu, adalah pertama, connecting the door. Kedua akselerasi, membesarkan yang skala nasional menjadi regional, membesarkan yang skala lokal menjadi nasional,” terangnya.
Selanjutnya, yang ketiga menurut Arif ialah, diperlukan akses baik akses pasar atau pun kapital. Akses kapital bisa saja akses pembiayaan ataupun akses tentang sumber daya insani.
“Karena aktivitas usaha harus dikelola dengan tata kelola dan manajemen risiko yang baik, agar terjadi sustainability revenue, pendapatan yang berlangsung secara berkelanjutan dan kemudian akan memberikan manfaat balik yang berlipat ganda juga yang terus menerus berkelanjutan,” paparnya.
Atas dasar itu, Arif menegaskan, diperlukan kerja sama yang solid, transparan, saling mengedepankan aspek persaudaraan, tolong menolong, tetapi harus dalam perspektif akuntabilitas.
“Pembangunan ekonomi yang berkeadilan itu dirasakan nyata oleh warga masyarakat Muhammadiyah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya,” tandasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni