Indonesia Bukan Negara Agama apalagi Milik Mazhab Tertentu; Kolom oleh Prima Mari Kristanto
PWMU.CO – Beberapa kepala daerah yang sempat menolak memberi izin penggunaan lokasi shalat Idul Fitri 21 April 2023 pada akhirnya happy ending. Semua Walikota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid dan Sukabumi Achmad Fahmi menolak memberi izin. Tapi pemberitaan soal itu yang meluas sehingga akhirnya keduanya memberi izin penggunaan lokasi fasilitas pemerintah daerah untuk shalat Idul Fitri 21 April 2023.
Di tengah ramainya masalah itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir memberi tausiah perihal posisi pemerintah menyikapi perbedaan hari raya di tengah masyarakat. Di antara isi dan inti tausiah adalah pemerintah sebagai representasi negara diminta adil pada semua agama dan ormas agama yang sah di Indonesia.
Konstitusi UUD 1945 jelas menyebutkan di Pasal 29 Ayat 1 “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal dan ayat tersebut menunjukkan Indonesia bukan negara agama yang hanya berdasarkan satu agama saja, apalagi berpihak pada mazhab tertentu.
Ayat 2 berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ayat dua jelas mewajibkan negara melindungi kemerdekaan memeluk agama. Kemerdekaan beribadat menurut agama dan kepercayaan terkandung suatu pengakuan akan potensi perbedaan dalam beribadat. Perbedaan agama sudah jelas dan semua pemeluk agama telah terbiasa menghormati akan pilihan keyakinan masing-masing. Kondisi demikian selaras dengan ayat terakhir surat al-Kafirun “lakum dinnukum waliyadin“.
Zaman Hindia Belanda
Jika hubungan antarumat beragama telah dipahami bersama aturan mainnya, tidak demikian dengan hubungan antarsesama pemeluk satu agama. Seringkali dalam hubungan sesama pemeluk satu agama posisi pemerintah belum sepenuhnya adil.
Fakta di lapangan mencatat beberapa kegiatan dan amal usaha Muhammadiyah mengalami hambatan baik oleh aparat maupun masyarakat. Sebagai organisasi kemasyarakatan yang sah, ormas Muhammadiyah masih merasa tidak leluasa mengembangkan dakwahnya.
Perihal perbedaan hari raya antara Muhammadiyah dengan pemerintah sudah biasa terjadi sejak Muhammadiyah dipimpin KH Ahmad Dahlan. Pemerintah, dalam hal ini Kasultanan Yogyakarta, bukan pemerintah Hindia Belanda yang tidak peduli urusan agama. Kasultanan Yogyakarta pada masa itu dengan arif dan bijaksana mempersilahkan KH Ahmad Dahlan sebagai salah satu khatib Masjid Gedhe Kauman Kasultanan melaksanakan shalat Idul Fitri menggunakan fasilitas keraton ketika menyampaikan pendapatnya tentang hari raya Idul Fitri yang berbeda dengan kasultanan.
Kearifan Kasultanan Yogyakarta sebagai Kalifah Sayidin Panatagama masih berlaku hingga kini dalam menyikapi potensi perbedaan tata cara beribadat di tengah masyarakat. Hubungan Muhammadiyah dan Pemerintah Kasultanan Yogyakarta bisa mengilhami semua pihak dalam merawat NKRI. Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa butuh keteladanan dalam pelaksanaan agar warisan luhur itu bukan sekedar slogan yang cuma indah di lisan. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post