ADVERTISEMENT
  • Home
  • Kabar
  • Kajian
  • Kolom
  • Feature
  • Musafir
  • Khutbah
  • Canda
  • Ngaji Hadits
  • Kajian Ramadhan
  • Index
  • Mediamu
Minggu, Agustus 14, 2022
  • Login
  • Home
  • Kabar
  • Kajian
  • Kolom
  • Feature
  • Musafir
  • Khutbah
  • Canda
  • Ngaji Hadits
  • Kajian Ramadhan
  • Index
  • Mediamu
No Result
View All Result
PWMU.CO | Portal Berkemajuan
  • Home
  • Kabar
  • Kajian
  • Kolom
  • Feature
  • Musafir
  • Khutbah
  • Canda
  • Ngaji Hadits
  • Kajian Ramadhan
  • Index
  • Mediamu
No Result
View All Result
PWMU.CO | Portal Berkemajuan
No Result
View All Result

Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (4): Tak Mau Menjilat Soekarno meski Dia Warga Persyarikatan

Sabtu 24 Juni 2017 | 08:47
6 min read
204
SHARES
636
VIEWS
ADVERTISEMENT
Ma’mun Murod Al-Barbasy. (Foto dok pribadi)

Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ dan Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang.

PWMU.CO – Memasuki era Demokrasi Terpimpin, Muhammadiyah mulai tak nyaman, meski sang penguasa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno adalah warga Muhammadiyah. Selain karena situasi politik internal Masyumi yang tak lagi kondusif, juga situasi politik nasional yang tak kondusif pula, akhirnya Muhammadiyah menyatakan keluar dari Masyumi pada tanggal 8 September 1959, untuk kemudian menjauh dari hiruk pikuk politik kepartaian hingga saat ini.

(Terkait: Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (1): Dituduh Kenyang di Era Orde Baru)

Praktis Muhammadiyah dalam sejarahnya tidak pernah menjadi partai politik, kecuali bergabung ke dalam Masyumi. Bandingkan dengan NU yang pernah menjadi partai politik, yaitu sejak 1952 sampai 1973, kemudian berlanjut dengan fusi ke dalam PPP hingga menyatakan kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, 1984.

Nasib Masyumi sendiri, karena desakan PKI, dan juga banyak tokoh Masyumi yang dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, menurut versi internal Masyumi, Masyumi akhirnya membubarkan diri. Pembubaran Masyumi ini seiring dengan keluarnya Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Dalam pelaksanaannya, pembubaran kedua partai itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempo seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Karenanya Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjen M Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah.

(Terkait: Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (2): Diidentikkan Masyumi dan Dituding Memarjinalkan NU)

Sejak keluarnya Keppres tersebut, maka saat itu partai yang diakui oleh rezim Soekarno hanya PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti, dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, yang tidak diakui dan dibubarkan.

Perlu diketahui bahwa ketaknyamanan Muhammadiyah di Masyumi sebenarnya sudah muncul beberapa tahun sebelumnya. Hal ini setidaknya terlihat dari pemikiran yang berkembang saat berlangsungnya Tanwir 1956 di Yogyakarta. Ketika itu, muncul empat pemikiran yang berkembang.

Pertama, menghendaki agar Muhammadiyah memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi partai politik. Pemikiran ini didasari dengan pandangan tentang Islam dan realitas sosial Muhammadiyah pascapemilu. Muhammadiyah dalam kepengurusan PP Masyumi labih dari 50 persen, tetapi perolehan kursinya di dewan dan di Majelis Konstituante masing-masing 22,87 persen dan 18,75 persen. Perolehan ini membuat aliran ini kecewa berat pada Masyumi.

(Baca: Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (3): Dianggap Ingin Kuasai Jabatan Menteri Agama, Faktanya?)

Mereka mempertanyakan hal itu sebagai berikut, “Apa keuntungan yang kita dapat dengan bekerja sama dalam Masyumi? Kita telah mengerahkan segenap tenaga dan fasilitas sehingga Muhammadiyah sendiri menjadi korban kebencian sebagian orang, rakyat kita kerahkan untuk menusuk lambang Masyumi “Bulan Bintang” dan kita rayu Bulan Bintang pasti menang!

Tetapi, setelah selesai pemilu, yang kita dapatkan hanya kekalahan melulu. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo bukan orang Masyumi, ketua parlemen juga bukan orang Masyumi. Posisi-posisi penting dipegang orang lain, yang kurang penting, baru dihadiahkan pada kita. Ini bukti bahwa pimpinan Masyumi kurang aktif berjuang, kekalahan-kekalahan ini dipertanyakan oleh daerah-daerah, mengapa kita kalah?”

Kedua, menghendaki pisahnya relasi Muhammadiyah dengan Masyumi, dan kembali pada tradisi sendiri, yaitu dakwah pada semua lapisan dan aliran yang ada, sedangkan untuk masalah politik diserahkan pada masing-masing anggota. Mengenai politik, wakil dari corak pemikiran ini mengatakan, “Kalau ada di antara anggota kita yang ingin hendak berkecimpung dalam lapangan politik, lepaskanlah dia (untuk) masuk Masyumi, bahkan boleh anggota kita secara pribadi masuk berbondong-bondong dalam Masyumi. Tetapi, Muhammadiyah sendiri sebagai pergerakan jangan dicampur-adukkan dengan politik”.

(Baca juga: Indonesia, Negeri Muslim Katanya)

Ketiga, menghendaki Muhammadiyah menjadi partai politik, dan hubungan organisasi kemasyarakatan dengan organisasi politik melalui federasi. Menurut corak pemikiran ini, di dalam mendirikan partai ini dicetuskan “ikrar” bahwa partai ini menjadi satu-satunya partai politik di Indonesia sudah tidak berlaku lagi karena keluarnya PSII (1949) dan NU (1952) dari Masyumi.

Salah satu penyebab keluarnya NU dari Masyumi adalah karena NU dilecehkan oleh sebagian anggota Masyumi yang berpendidikan Barat, dan selain itu ketika NU meminta kedudukan Menteri Agama agar diberikan kepada NU, akan tetapi di tolak dan di berikan kepada KH Fakih Usman (Muhammadiyah). Dan mereka bersama Perti membuat federasi sendiri. Dengan demikian, corak pemikiran ini menginginkan Muhammadiyah manjadi sebuah partai politik sendiri.

Keempat, menghendaki hubungan Muhammadiyah dan Masyumi tetap berlangsung. Pemikiran ini di dasarkan pada cita-cita, yaitu memajukan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

(Baca juga: Wacana Pemisahan Agama dan Politik adalah Pelecehan Pancasila)

Menyikapi empat corak pemikiran yang berkembang di Tanwir, maka dibentuklah tim perumus yang terdiri dari empat orang, yaitu AR Fachruddin, M Junan Nasution, A Malik Ahmad, dan Buya HAMKA. Tim ini memutuskan dua hal. Pertama, Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, berjalan menurut khitahnya yang telah ditentukan, sedang yang berkenan dengan politik praktis disalurkan dan diatur bersama dengan Masyuni, dan anggota-anggota Muhammadiyah yang berkeinginan hendak berjuang di lapangan politik secara langsung dianjurkan supaya masuk partai politik Islam Masyumi.

Kedua, menerima secara aklamasi hasil musyawarah PP Muhammadiyah dengan PP Masyumi beberapa hari sebelum sidang Tanwir 1956. Musyawarah tersebut memutuskan bahwa PP Muhammadiyah dan PP Masyumi sama-sama menyadari bahwa adanya keanggotaan istimewa dalam Masyumi tidak wajar, dan sama-sama menyetujui penghapusan.

Selama belum dihapuskan, relasi di antara keduanya dilakukan dengan sebaik-baiknya, diupayakan untuk masa-masa yang akan datang relasi di antara keduanya lebih baik dan ada pengertian bersama yang sebaik-baiknya.

(Baca juga: Ketulusan KH Hasyim Muzadi dalam Menjalin Hubungan dengan Muhammadiyah)

Gagasan untuk menghapus keanggotaan istimewa ini didasarkan pada adanya pengakuan dua macam anggota Masyumi, yaitu anggota biasa yang bersifat perorangan dan anggota istimewa yang bersifat organisasi yang diwakili pimpinan pusat organisasi. Kemudian dalam prakteknya terjadi penjajaran atas kedua anggota tersebut sehingga oleh Muhammadiyah dinilai sebagai hal yang tak wajar.

Kembali ke soal Demokrasi Terpimpin, kalau Muhammadiyah berpikirnya politis, tentu dalam pengertian “murahan” yang berkonotasi politik kekuasaan, sekadar untuk memperoleh kekuasaan, selepas keluar dari Masyumi, Muhammadiyah bisa saja “mendekat” dan “menjilat” kepada Soekarno yang notabene orang Muhammadiyah. Namun itu sama sekali tidak dilakukan oleh Muhammadiyah. Karenanya wajar kalau Muhammadiyah tak mendapatkan kekuasaan politik apapun.

Ketika Muhammadiyah memutuskan untuk menjauh dari politik kekuasaan/kepartaian, NU justru sebaliknya menjeburkan diri secara total dalam dunia politik praktis. Sampai-sampai sebagai jamiyah, NU nyaris tidak atau kurang terurus. Bukti bahwa jamiyah NU tidak terurus lantaran keterlibatan total dalam politik praktis tergambar dari “protes” dari salah satu peserta Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959.

(Baca juga: Otentitas Muhammadiyah dalam Perkuat NKRI: Hanya Manusia Ahistoris Kelas Berat yang Ragukan)

Juru bicara Pimpinan Cabang NU Mojokerto, KH Achmad Halim melontarkan pernyataan yang intinya NU harus kembali ke Khittah 1926. “Peranan politik oleh Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perorangan, hingga partai sebagai alat sudah hilang. Oleh karena itu diusulkan agar NU kembali pada Khittah.”

Alasan-alasan kembali ke Khittah juga lantaran NU sebagai jamiyah tidak terurus. Bahkan perpecahan yang terjadi menjelang Muktamar Situbondo juga sangat beraroma politik, di mana NU terpecah dalam dua kubu, yaitu Kubu Cipete (kubu politisi) dan Kubu Situbondo (kubu Khittah).

Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1967), NU benar-benar menikmati dan mengalami kejayaan politik. NU menjadi pilar kekuasaan politik yang sangat penting di era Nasakom yang begitu otoriter, selain tentunya PNI dan PKI. Dengan pembenaran beberapa kaidah ushul, seperti dar ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih, NU memberikan justifikasi keterlibatannya dalam Nasakom. Beberapa politisi NU menempati posisi strategis, di antaranya KH Idham Chalid yang pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda dan menjadi Menteri Utama Kesejahteraan Rakyat di era Kabinet Ampera I (Kabinet transisi dari Orde Lama ke Orde Baru) dan Kabinet Ampera II.

Beberapa politisi lainnya banyak yang menduduki jabatan menteri, termasuk tentunya jabatan Menteri Agama. Di era Demokrasi Terpimpin semua Menteri Agama dijabat oleh NU, dari mulai KH Wahib Wahab dalam Kabinet Karya I (10 Juli 1959-18 Februari 1960), Kabinet Karya II (18 Februari 1960-6 Maret 1962), KH Saifuddin Zuhri pada Kabinet Karya III (6 Maret 1962-13 November 1963), Kabinet Karya IV (13 November 1963-27 Agustus 1964), Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964-22 Februari 1966), Kabinet Diwkora II (22 Februari 1966-28 Maret 1966), Kabinet Ampera I (28 Juli 1966-14 Oktober 1967), sampai KH Moh Dahlan pada Kabinet Ampera II (14 Oktober 1967-10 Juni 1968). (*).

Baca Selengkapnya:

  1. Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (1): Dituduh Kenyang di Era Orde Baru
  2. Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (2): Diidentikkan Masyumi dan Dituding Memarjinalkan NU  
  3. Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (3): Dianggap Ingin Kuasai Jabatan Menteri Agama, Faktanya?
  4. Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (4): Tak Mau Menjilat Soekarno meski Dia Warga Persyarikatan
  5. Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (5): Katanya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Jatahnya, padahal …
  6. Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (6): Dari Tudingan Memakzulkan Gus Dur hingga Diremehkan SBY
Tags: Demokrasi TerpimpinKesalahpahaman pada MuhammadiyahMa'mun Murod Al-BarbasyMasyumiMuhammadiyah dan Politik
SendShare82Tweet51Share

Related Posts

Muhammadiyah dan PAN Saling Membutuhkan

Senin 21 Maret 2022 | 23:06
623

Ma'mun Murod al-Barbasy (kanan) di Sekolah Kepemimpinan Politik dan kebangsan. Muhammadiyah dan PAN Saling Membutuhkan...

Negara Mengalami Gejala Distorsi, Deviasi, dan Stagnasi

Rabu 16 Maret 2022 | 13:13
295

Prof Dr Abdul Mu'ti MEd dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah. Dia mengatakan, beberapa gejala sedang...

Ayahku, Haji Poethoet Soegito

Senin 14 Maret 2022 | 16:49
943

Ustadz Putut Sugito, kiri, bersama KH Syukri Zarkasyi. PWMU.CO- Ayahku Haji Poethoet Soegito dipanggil di...

Pertarungan Leadership Peristiwa G30S

Rabu 29 September 2021 | 13:05
598

Daniel Mohammad Rosyid Pertarungan Leadership Seputar G30S/PKI oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan...

Kolaborasi dengan Universitas Asing Dianjurkan Menko PMK

Rabu 25 Agustus 2021 | 19:46
379

Menko Muhadjir Effendy, tengah, bersama Rektor UMJ Ma'mun Murod, kanan. PWMU.CO- Kolaborasi menjadi salah satu...

Dr Evi Satispi Dilantik Jadi Dekan FISIP UMJ

Rabu 18 Agustus 2021 | 21:32
563

Dr Evi Satispi PWMU.CO- Dr Evi Satispi MSi dilantik menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan...

Beasiswa Peduli 142 Diluncurkan UMJ untuk Anak Korban Covid-19

Senin 16 Agustus 2021 | 15:42
695

Rektor UMJ Dr Ma'mun Murod Al-Barbasy saat meluncurkan Beasiswa Peduli 142 di perhelatan wisuda (UMJ...

UMJ Beri Beasiswa Peraih Medali Olimpiade Tokyo

Senin 2 Agustus 2021 | 21:45
1.3k

Rektor UMJ Ma'mun Murod Al-Barbasy saat jogging di Gelora Bung Karno Istimewa/PWMU.CO) PWMU.CO - UMJ...

Rektor UMJ: Covid-19 Bagian Qadha dan Qadar

Minggu 18 Juli 2021 | 07:39
157

Ma'mun Murod Al-Barbasy: Rektor UMJ: Covid-19 adalah Qadha dan Qadar (Tangkapan layar Sayyidah Nuriyah/PWMU.CO) PWMU.CO...

Politik Moral Ustadz Abdurrahim Nur

Sabtu 29 Mei 2021 | 07:35
4.1k

Ustadz Abdurrahim Nur saat mengajar. Belajar dari politik moral Ustadz Abdurrahim Nur (Dokumentasi keluarga/PWMU.CO) Politik...

Discussion about this post

Populer Hari Ini

  • PBS Teken MoU dengan King Sejong Institute untuk Smamio

    27795 shares
    Share 11118 Tweet 6949
  • Dua Bintang Timnas Piala AFF U-16 Siswa SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta 

    4879 shares
    Share 1952 Tweet 1220
  • Melawan Tuduhan-Tuduhan Salafi

    2625 shares
    Share 1050 Tweet 656
  • PWM DIY: Berjilbab bagi Siswa Muslimah Pengamalan Ajaran Agama

    1556 shares
    Share 622 Tweet 389
  • SMP Mutu Launching Kantor Layanan Lazismu, Pertama di AUM Pendidikan Surabaya

    16926 shares
    Share 6770 Tweet 4232
  • Lima Model Orang Muhammadiyah, Anda Termasuk yang Mana?

    4993 shares
    Share 1997 Tweet 1248
  • Muhammadiyah dan Salafi Itu Berbeda, 5 Hal Ini Penyebabnya

    757 shares
    Share 303 Tweet 189
  • Strategi Salafi Masuk ke Masjid Muhammadiyah

    5444 shares
    Share 2178 Tweet 1361
  • Irjen Ferdy Sambo Tersangka, Din Syamsuddin: Bubarkan Satgassus Polri

    49062 shares
    Share 19625 Tweet 12266
  • Free Writing Mengagetkan Peserta Workshop Jurnalistik IPM Muhiba

    180 shares
    Share 72 Tweet 45

Berita Terkini

  • Pendidikan Holistik Perspektif MuhammadiyahMinggu 14 Agustus 2022 | 17:39
  • Pengajian keliling
    Pengajian Keliling Mencari Empat Manfaat IniMinggu 14 Agustus 2022 | 17:27
  • Ketua PWI Jatim Berbagi Strategi Mengatasi Kriris KomunikasiMinggu 14 Agustus 2022 | 14:55
  • Begini Lomba HART di Jambore Nasional SAR Muhammadiyah WonosoboMinggu 14 Agustus 2022 | 13:26
  • Dua Bintang Timnas Piala AFF U-16 Siswa SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta Minggu 14 Agustus 2022 | 12:49
  • Peserta Jambore SAR Muhammadiyah Ini Bawa Dagangan Cobek, KreatifMinggu 14 Agustus 2022 | 11:37
  • Mimdaka Kembali Gelar Latihan Tapak SuciMinggu 14 Agustus 2022 | 09:59
  • Rahasia 8 Santri PMMP Borong Medali Jember Open Championship 2022Minggu 14 Agustus 2022 | 08:58
  • Belajar dari Kisah Abu Lahab di Living Quran SD MugebMinggu 14 Agustus 2022 | 07:57
  • Menghafal Al-Quran Tak Kenal UsiaMinggu 14 Agustus 2022 | 06:51

Hubungi Kami

WA : 0858-5961-4001
Email :pwmujatim@gmail.com
  • Dewan Redaksi dan Alamat
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy

© 2021 pwmu.co - PT Surya Kreatindo Mediatama.

No Result
View All Result
  • Home
  • Kabar
  • Kajian
  • Kolom
  • Feature
  • Musafir
  • Khutbah
  • Canda
  • Ngaji Hadits
  • Kajian Ramadhan
  • Index
  • Mediamu

© 2021 pwmu.co - PT Surya Kreatindo Mediatama.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In