
Ternyata Besar Bersama-sama Itu Lebih Nikmat; Oleh KH M. Fahri SAg MM, Mudir Pesantren Entrepreneur Muhammadiyah Gondanglegi
PWMU.CO – Modal besar memajukan sekolah atau pesantren Muhammadiyah bermula dari kapasitas pendidik dan tenaga kependidikan (PTK). Jika PTK-nya petarung, pasti akan melahirkan sekolah petarung, sekolah unggul dan maju. Sebaliknya, jika PTK-nya pecundang, pasti akan melahirkan sekolah pecundang. Sekolah “layamutu wala yahya” (tak bermutu dan tak ada biaya).
Sebab itu, PTK perlu terus di-update semangat dan kapasitasnya. Di antaranya dengan studi tiru dan silaturahami dengan banyak sekolah. Seperti yang dilakukan perguruan Muhammadiyah di kompleks Pesantren Ulil Abshor Dau Malang. Di tempat ini terdapat AUM panti asuhan, pesantren, dan SMP Muhammadiyah 6.
Didorong untuk memajukan AUM, Kepala SMP Muhammadiyah 6 Dau Malang, Alfan Ajizan MPd, mengajak guru, ustadz, dan pengelola pesantren dan panti asuhan bersilaturahmi ke Pesantren Entrepreneur Muhammadiyah (PEM) Gondanglegi.
Alfan Ajizan yang baru satu bulan dilantik menjadi kepala sekolah bersama rombongan, diterima langsung Mudir PEM Gondanglegi, yang tak lain saya sendiri (penulis), beserta jajaran manajemen di ruang meeting Cordova Building. Pertemuan berlangsung cair, gayeng, akrab, dan penuh kekeluargaan.
Selaku Mudir PEM Gondanglegi, saya memulai pembicaraan dengan menyampaikan kondisi PEM tiga setengah tahun lalu. Pada masa itu (2019) PEM masih mengelola 32 santri. Semua serbagratis; mulai dari makan, minum, tidur, kencing, air, listrik, mandi, sampai dengan biaya sekolah dan mondok. Pokoknya santri tinggal belajar, belajar, dan belajar.
Dampak dari gratis tersebut, PEM yang waktu itu masih bernama Panti Asuhan al-Ma’un, tidak maju-maju alias jalan di tempat. Bahan bakar operasional pesantren hanya mengandalkan dana dari donatur yang tidak pasti. Kadang ada dana, kadang pula tidak ada dana. Akhirnya PEM menjadi pesantren “hidup tidak, mati pun segan”.
Demikian pula, nama al-Ma’un di abad ke-21, kurang branding dan kurang menjadi daya tarik bagi masyarakat. Tidak sedikit mobil wali santri yang masuk halaman pesantren, putar balik 180 derajat ketika melihat papan tulisan panti asuhan. Ditambah lagi sang anak pujaan hatinya merengek nangis, “Ma … mengapa saya dimasukkan ke panti asuhan?”
Bertolak dari kenyataan pahit itu, tanpa harus mengurangi peran dan fungsi panti, akhirnya disepakati oleh para faunding father, Panti Asuhan al-Ma’un Gondanglegi berganti nama menjadi Pesantren Entrepreneur Muhammadiyah (PEM) dengan jargon Santri Milenial Mendunia. Tentu nama ini keren dan sangat branding.
Ternyata benar, setelah berganti nama dan perbaikan manajemen, penataan personalia, pembenahan tata kelola keuangan, pengembangan profesionalisme ustad/ustadzah, perbaikan sistem logistik dapur, dan pemenuhan fasilitas pesantren, cepat tapi pasti kepercayaan masyarakat bertumbuh dan berkembang.
Dibuktikan dengan jumlah santri yang cukup melimpah tiga tahun terakhir ini. Tidak kurang dari 460 santri belajar di pesantren dengan visi menjadi lembaga pendidikan yang menyiapkan kader Islam yang berjiwa entrepreneur modern. Mereka tidak hanya berasal dari Indonesia: Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Bali, NTT, NTB dan Jawa, tapi juga dari mancanegara, Johor Malaysia.
Baca sambungan di halaman 2: Zamannya Berkolaborasi