Pelukis Muhammadiyah Lamongan Ini Tuangkan Keresahan dan Kerinduan

Hendy Prayudi ketika berfoto bersama lukisan Para Pencari Legen. (Ario Khairul Habib/PWMU.CO)

PWMU.CO – Pelukis Muhammadiyah asal Lamongan bagian Pantai Utara, tepatnya kecamatan Brondong, Hendy Prayudi mengaku turut senang dan tertarik dengan Gebyar Budaya Muhammadiyah yang diadakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.

“Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi terbesar di Indonesia mau dan mampu mengayomi dunia lukis. Sekaligus para pelukis-pelukis Muhammadiyah yang tergabung di persyarikatan tersebut,” ujarnya.

Pasalnya, dari beberapa lukisan yang ia bawa, Hendy mendapat keuntungan karena salah satu lukisannya terjual. “Ohya kebetulan itu sold Mas, laku dengan harga Rp 1 juta,” ujarnya, Sabtu (23/12/2023) siang.

Hal itu ia sampaikan ketika tengah memamerkan karyanya di ruang pameran lukis Balai Gedung Pemuda, Alun-alun Surabaya, Jalan Yos Sudarso. Hendy menjelaskan, lukisan yang terjual itu berupa dua perahu yang memiliki makna kearifan lokal.

“Di tempat tinggal saya ada Pelabuhan Perikanan Nusantara II. Perahu pada pelabuhan tersebut besar-besar. Para nelayan itu menangkap ikan dengan serakah. Menggunakan jala troll, pakai jaring cangkrang yang kemarin sempat jadi kontroversi, dilarang waktu Menterinya Bu Susi Pudjiastuti. Akhirnya dilegalkan dengan batasan berapa PK gitu,” kenangnya.

Dari situ, Hendy memiliki keresahan, perahu kecil lebih ramah lingkungan dalam menangkap ikan. Ikan yang ditangkap jika menggunakan perahu kecil menurutnya lebih fresh (segar) karena hanya memuat ikan dengan kapasitas terbatas.

“Tapi kalau kapal besar atau perahu besar, waktu melautnya itu gak bisa sehari. Bisa sampai satu bulan atau dua puluh hari, belum melabuhnya juga. Sehingga ikan yang ditangkap itu tidak fresh atau sehat lagi. Jadi nilai konsumtifnya menurun,” tambahnya.

Hendy kemudian mengatakan, selain keresahan, lukisan itu tertuang salah satu bentuk kerinduannya pada masa kecil. “Karena pada saat itu orang-orang banyak menangkap ikan menggunakan perahu tersebut, bukan kapal yang besar,” sambungnya.

Ia juga menjelaskan, saat ini perahu-perahu tersebut sudah tidak lagi ada di daerahnya. Semua tergantikan oleh kapal-kapal besar.

“Jadi apa yang saya tangkap, mata saya, saya tuangkan, saya visualisasikan. Yang bisa bikin pantai itu bersih tanpa ada tumpahan solar. Kalau perahu yang saya lukis itu kan sederhana, hanya memakai dayung, alat tangkap ikannya pun hanya memakai pancing. Lebih dari itu, ikan yang ditangkap akan fresh mas, karena cuma sehari,” ujar Pria yang telah menekuni dunia lukis selama 42 tahun itu.

Baca sambungan di halaman 2: Lukisan Pencari Legen

Hendy Prayudi ketika berfoto bersama lukisan Para Pencari Legen. (Ario Khairul Habib/PWMU.CO)

Lukisan Pencari Legen

Hendy juga membawa lukisan lain yang diberi judul Para Pencari Legen (PPL). Di balik lukisan itu juga ada keresahan yang ia punya pada pohon siwalan di daerah Paciran, tepatnya daerah yang bersebelahan dengan tempat tinggalnya di Brondong.

“Penghasilan minuman yang bernama legen itu sudah hampir punah juga karena lahan yang ditumbuhi pohon siwalan penghasil legen itu pada ditebang untuk peternakan ayam dan lele,” ungkapnya.

Hendy kemudian mengatakan, reboisasi (menanam ulang) hingga pada tahap panen buah siwalan memerlukan waktu 50 tahun. Karena itulah ia mengaku nelangsa. Akhirnya sebagai pegiat lingkungan dan seniman, ia tersentuh untuk menciptakan karya lukis tersebut.

“Saya pun protes, ya apa sih, padahal menanam pohon siwalan itu memerlukan waktu satu generasi. Masyarakat sana itu tidak sadar tinggal potong del, satu generasi lho, Mas! Padahal minuman yang bernama legen itu sudah khas dari Paciran,” ujarnya.

Hendy pun bercerita mengenai kiprahnya dalam dunia melukis. Ketika usianya masih menginjak SD kelas VI pada 1981, ia sudah mulai melukis. Bahkan hasil lukisannya dapat menghasilkan uang dengan nilai Rp 25 ribu.

“Dulu sempat ada acara akhir tahun lulusan sekolah dasar ke Malang Songgoriti, bayarnya Rp 15 ribu. Saya bisa ikut karena pakai uang hasil lukisan,” ucapnya sambil tertawa.

Hendy kemudian mengatakan, ketika lulus SMA ia sempat mendaftarkan diri secara diam-diam di sebuah Perguruan Tinggi Negeri Surabaya jurusan Seni Rupa. “Waktu itu namanya masih IKIP Negeri Surabaya. Kampusnya masih di Ketintang, sekarang sudah menjadi Unesa,” kenangnya.

Dia menambahkan, “Lucunya, saya minta uang semester sejumlah Rp 360 ribu. Waktu itu sudah lolos nama saya masuk koran. Kalau alo dulu masih Sipenmaru, kalo sekarang kan SBMPTN.”

Hendy akhirnya mengikuti tes keterampilan melukis. Hasil dari tes tersebut membuat Hendy diterima. Setelah itu ia berencana ingin meminta uang pendaftaran untuk satu semester saja di mana sisanya ia akan membiayai kuliahnya sendiri. Hendy pun mengalami perdebatan dengan ayahnya hingga pada akhirnya ia tidak melanjutkan pendidikan tinggi.

“Waktu itu background orang tua saya nelayan. Gak dikasih, padahal punya jaring, punya perahu, punya alat tangkap nelayan. InsyaAllah bisa lah kasih uang segitu, tapi gak dikasih. Maunya bapak, saya harus meneruskan bisnisnya untuk menangkap ikan,” ujar pria berusia 56 tahun itu.

Hal itu membuat Hendy pergi merantau ke Bali untuk belajar melukis secara otodidak. Merantau membuat Hendy memiliki prinsip ia harus memberikan pendidikan tinggi pada anak-anaknya kelak.

Kiprahnya sebagai pelukis kini membuat Hendy memikili lima anak. Keempat anaknya telah mengenyam pendidikan tinggi dan mendapatkan posisi pekerjaan yang membuatnya bersyukur. Sedangkan anak bungsunya masih duduk di bangku SMA. (*)

Penulis Ario Khairul Habib Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version