Soal Khittah Politik Muhammadiyah, Ini Kata Sekretaris PWM Jatim

Soal Khittah Politik Muhammadiyah, ini kata Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Prof Dr Biyanto MAg.
Soal Khittah Politik Muhammadiyah, Ini Kata Sekretaris PWM Jatim (Ahmad Choirudin/PWMU.CO)

PWMU.CO – Soal Khittah Politik Muhammadiyah, ini kata Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Prof Dr Biyanto MAg.

Khittah Politik Muhammadiyah disampaikan Prof Dr Biyanto pada materi kedua Raker dan Capacity Building Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sidoarjo, Sabtu (13/1/24). Kegiatan bertempat di Aula Arjuna Tanjung Plaza Hotel Tretes, Prigen, Pasuruan.

Pak Bi—sapaannya—menyebut Kota Ponorogo mempunyai sejarah hebat karena pernah menjadi tempat tanwir dan melahirkan khittah politik. “Ponorogo itu punya sejarah hebat, karena pernah ditempatin tanwir, yang melahirkan khittah politik. Sampai sekarang pun, khittah itu meskipun direvisi, substansinya masih seperti asalnya, isinya menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik dan pasangan calon presiden,” jelasnya.

Guru Besar UINSA Surabaya itu memberikan penekanan, bahwa yang terpenting perbedaan pilihan jangan sampai merusak ukhuwah organisasinya. “Jangan sampai membuat retak hubungan dalam ber-Muhammadiyah, dalam ber-Aisyiyah. Karena soal-soal politik itu sangat sensitif,” paparnya.

Terkait doktrin politik Muhammadiyah, lanjutnya, Muhammadiyah bukan organisasi politik, tapi Muhammadiyah tidak boleh menjauh dengan politik. Bahasa Pak Haedar adalah politik kebangsaan, sementara Buya Syafii menyebut Muhammadiyah tidak pernah berubah menjadi partai politik dan tidak pernah berafiliasi pada kekuatan politik. “Berdasarkan sejarahnya, Muhammadiyah hanya pernah menjadi anggota istimewa Partai Masyumi,” ungkapnya.

Dia menambahkan, kalau menurut Prof Haedar Nashir menyatakan, Muhammadiyah berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan dakwah dan pembaharuan kehidupan tanpa terlibat dalam pertarungan politik.

Diaspora Kader Muhammadiyah

Pak Bi melanjutkan, kader Muhammadiyah harus berdiaspora. “Kader Muhammadiyah harus ada yang menjadi saudagar, politisi, guru, hakim, atau jaksa. Namun juga perlu diingat pesan KH Ahmad Dahlan, jadi apa pun kembalilah ke Muhammadiyah,” paparnya.

Diaspora, sambungnya, seperti halnya kisah Nabi Yakub. Ketika Yakub dipamiti anak-anaknya untuk mencari adiknya yang bernama Yusuf, Yakub mengatakan, ‘hai anak-anakku, kalau kamu ingin mencari saudaramu yang hilang, Yusuf, maka jangan mencari dari satu pintu gerbang, tapi carilah adikmu yang hilang itu dari banyak gerbang, karena itu penting’.

Peran politik Kader Muhammadiyah yang paling memungkinkan yaitu membebaskan kader persyarikatan bergabung ke parpol yang ada, “Istilah Prof Din Syamsuddin itu berdiaspora ke partai politik secara terencana dan terukur. Ada kader Muhammadiyah di partai ini, partai itu, maka sekarang ada tagline satu dapil, satu kaderMu,” terangnya. (*)

Penulis Mahyuddin. Editor Darul Setiawan.

Exit mobile version