Baitul Arqam Muhammadiyah Ngagel Kupas Praktik Ibadah, Ini Penjelasannya

Ketua MTT PWM Jatim Dr Achmad Zuhdi Dh MFilI menjadi narasumber di Baitul Arqam PCM Ngagel Surabaya, Ahad (31/3/2024). (Azizah/PWMU.CO)

PWMU.CO – Baitul Arqam (BA) Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Ngagel Surabaya mengupas praktik ibadah dengan pemateri Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jatim Dr Achmad Zuhdi Dh MFil I, Ahad (31/3/2024).

Materi praktik ibadah ini tidak ada materi khusus, melainkan didesain dengan sesi tanya jawab seputar fiqih ibadah. Tak ayal, peserta pun berebut angkat tangan bertanya. Namun sebelum sesi tanya jawab dimulai Zuhdi menegaskan dalam beribadah sedapat mungkin harus tahu ilmunya.

Selanjutnya, pertanyaan pertama dilontarkan oleh moderator, Wahidin sebagai pematik. dia mengutarakan bagaimana bacaan al-Fatihah makmum ketika shalat berjamaah. Apakah makmum diam saja atau membaca al-Fatihah juga.

Zuhdi pun menjelaskan dalam keputusan tarjih ketika imam membaca al-Fatihah, makmum mendengarkan dengan cermat dan bibirnya ikut bergerak tanpa suara. Agar perhatian makmum fokus terhadap bacaan al-Fatihah yang imam ucapkan. Selain itu agar tidak mengganggu jamaah yang lain.

Pertanyaan kedua ada tiga pertanyaan. Pertama, ada siswa di Sekolah Muhammadiyah tapi background keluarga bukan Muhammadiyah, sehingga bacaan shalat ada yang tidak sama, misalnya bacaan doa iftitah.

Kedua, setelah i’tidal apakah tangannya bersedekap atau ada disamping kaki (paha)? Sedangkan pertanyaan ketiga, kapan sebaiknya shalat hajat itu dilakukan? Apakah setelah hajatnya tercapai shalatnya berhenti?

Pria kelahiran Lamongan ini menjelaskan memang ada beberapa bacaan shalat yang berbeda. Sebagai guru, lanjutnya, sebaiknya kita tunjukkan dan perkenalkan doa yang lain yang shahih.

“Seperti doa iftitah dari hadist shahih kan bukan hanya Allahumma ba’id baini,” jelasnya.

Sedangkan untuk pertanyaan kedua dalam tarjih tangan dilepas, tidak bersedekap. Berikutnya, untuk shalat hajat belum ada keputusan dalam tarjih. Namun ada hadist Nabi yang mengatakan barangsiapa berhajat maka shalatlah, karena itu shalat hajat sangat mungkin bisa dilakukan, meski belum ada dalam putusan tarjih, waktu mengerjakan 24 jam kecuali pada waktu terlarang.

Pertanyaan ketiga tentang makmum yang harus ikuti gerakan imam. Pertanyaan ini disampaikan Kepala Sekolah Muhammadiyah 4 (Mudipat)  Edy Susanto MPd. Dia melontarkan bagaimana hukumnya jika ada jamaah yang saat tarawih jika imamnya 11 rakaat ia ikut 11. Namun, jika imamnya 23 rakaat, dia ikut 23.

Alasanya ia mengikuti imam padahal dia juga Muhammadiyah. Pertanyaan berikutnya tentang niat shalat. Bagaimana jika saat shalat tapi niatnya salah? Misalnya mau shalat maghrib tapi malah niat shalat isya.

Zuhdi langsung menjawab pertanyaan tersebut. Menurut Muhammadiyah, shalat tarawih jumlahnya 11 rakaat. “Itu yang harus dipahami semua, harus clear. Kalau sudah tahu dari awal di masjid itu 23 maka segera memisahkan diri dan mencari masjid lain. Namun jika dari awal tidak tahu, ya ikuti imam,” jelasnya.

Sedangkan tentang niat ada fiqih baru di tarjih. Dia menjelaskan, niat bukan lagi rukun shalat tapi syarat. Kalau rukun masuk dalam shalat, tapi kalau syarat ada diluar shalat. Niat dilakukan bukan dibaca sesaat sebelum takbiratul ihram.

Pertanyaan selanjutnya tentang khutbah di dua hari raya yang berbeda. Ketua MTT PWM Jatim ini menegaskan kalau sudah tahu dari awal akan berbeda hari raya jangan diterima. “Namun jika terpaksa, maka lakukan,” ucapnya.

Dia pun bercerita pernah mengalami hari raya berbeda. Hari sebelumnya sudah khutbah di Porong. Hari berikutnya, khutbah di perumahan tempat dia tinggal. Ketika hari raya berbeda itu, ternyata khatib yang diundang tiba-tiba tidak bisa datang, kebetulan saya sebagai panitia. Maka panitia yang lain meminta saya jadi khatib.

“Untung masih hafal, jadinya khutbah dua kali. Saya juga dikasih amplop, tapi saya kembalikan untuk panitia,” ungkapnya.

Dia pun menegaskan jika dalam keadaan hari raya yang berbeda jangan aji mumpung, jangan mumpung ada kesempatan terus menerima menjadi khatib dua kali,” jelasnya.

Pertanyaan selanjutnya tidak kalah menarik, apakah sama antara shalat tarawih dan lail? Dia menjelaskan, dalam Muhammadiyah shalat lail itu ya shalat tarawih. Justru saat zaman nabi tidak ada shalat tarawih, yang ada ya shalat lail.

Dia menuturkan, saat Aisyah Ra ditanya bagaimana Nabi jika shalat lail saat bulan Ramadhan. Aisyah Ra menjawab, Nabi melakukannya 11 rakaat, tapi jangan tanyakan lamanya atau panjang bacaannya. (*)

Penulis Muhimmatul Azizah. Editor Ichwan Arif.

Exit mobile version