Puasa yang Mengatasi Absurditas

Kumara Adji Kusuma

Puasa yang Mengatasi Absurditas; Oleh Kumara Adji Kusuma, Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) dan Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Sidoarjo.

PWMU.CO – Di dalam al-Baqarah: 183 disebutkan bahwa kaum Mukmin wajib berpuasa seperti halnya umat-umat terdahulu agar menjadi orang yang tertakwa. 

Pesan singkat yang jelas dan gamblang, disebutkan bahwa sejak dari zaman dahulu kala, puasa adalah perintah suci dari Ilahi bagi setiap umat di setiap zaman.

Pertanyaannya adalah mengapa puasa menjadi kekhasan bagi umat beriman? Bahkan diperintahkan pada setiap zaman sehingga membentuk sebuah keterulangan, periode, atau siklus.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu kita harus merunut terlebih dahulu mengapa ada periodesasi atau siklus. Dan siklus ini ada di setiap ruang dan waktu.

jika kita cermati kosmos, segala sesuatu bersiklus. Siklus terbit dan tenggelamnya matahari/bulan berdasarkan siklus heliosentris. Siklus ini muncul konsep kalender; dari siklus hari yang sifatnya harian, mingguan, bulanan, tahunan, abad, hingga milenia.

Di dalam diri manusia terdapat siklus yang terjadi secara terus menerus. Ada siklus pernapasan/respirasi, siklus reproduksi, siklus hormonal, siklus tidur, siklus makanan. Bahkan di dalam setiap mikro tubuh manusia pun terdapat siklus-siklus mikroskopis yang hanya bisa dilihat di bawah mikroskop.

Emosi manusia mengalami siklus yang berkaitan dengan perubahan suasana hati, stres, kebahagiaan, kesedihan, dan perubahan emosional lainnya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Manusia juga mengalami siklus produktivitas dan kreativitas yang berkaitan dengan kemampuan untuk bekerja, belajar, berkarya, dan mencapai tujuan dalam hidup.

Dalam kehidupan pribadi, dipastikan individu mengalami siklus kehidupan pribadi yang unik, termasuk tahap-tahap seperti pendidikan, karier, perkawinan, keluarga, pensiun, dan akhir hayat. Manusia juga mengalami siklus-siklus sosial dan budaya yang melibatkan perubahan dan evolusi dalam nilai-nilai, norma-norma, tradisi, teknologi, dan budaya populer dari satu generasi ke generasi berikutnya. Individu juga mengalami siklus-siklus ekonomi dan sosial seperti siklus konsumsi, tabungan, investasi, siklus ekonomi makro, dan perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat.

Dalam perspektif filsafat yang memengaruhi gerak peradaban saat ini (modern dan postmodern), filsuf asal Jerman Friedrich Nietzsche mengungkapnya dalam konsep “eternal recurrence of the same” (keterulangan abadi hal yang sama) dalam karya yang berjudul Thus Spoke Zarathustra yang terbit dalam empat volume dari tahun1883 dan 1885 serta filsuf Prancis Albert Camus dalam esai The Myth of Sisyphus tahun 1942.

Keterulangan Abadi dan Absurditas

Konsep keterulangan abadi hal yang sama merupakan bagian dari pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa (will to power) dan pandangan terhadap kehidupan: tentang nihilisme. Bahwa keterulangan yang abadi ini meniscayakan tidak adanya esensi, bahkan yang absolut: Tuhan.

Secara umum, “eternal recurrence of the same” merujuk pada gagasan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia akan terulang kembali tanpa henti, tanpa perubahan, dan dalam pola yang sama secara abadi. 

Jika kita cermati, maka siklus tersebut mengarahkan pada dua kemungkinan yakni bagi yang “orang bijak” dan yang “berpikiran sumbu pendek.” Bagi mereka yang bijak akan memahami demikianlah dunia dan segala isinya. Sementara bagi orang yang bersumbu pendek, yang mungkin karena latar belakangnya, ia akhirnya mengatakan hidup tidak layak untuk dijalani, karena menemukan absurditas kehidupan. Hidup ini menjadi absurd karena hanya pengulangan-pengulangan atas hal yang sama. Akhirnya ia melakukan apa yang disebut oleh filsuf Prancis Albert Camus dalam “The Myth of Sisyphus,” bunuh diri filosofis. Karenanya, pertanyaan pertama bagi seseorang untuk menjalani kehidupan ini adalah apakah hidup ini layak untuk dijalani?

Antara Camus dan Nietszche boleh jadi menemukan pola-pola keterulangan yang sama. Namun dengan solusi yang berbeda. Camus menyajikan mitos Sisifus sebagai metafora untuk kondisi manusia yang terjebak dalam kehidupan yang tanpa makna, yakni mengulang-ulang sesuatu yang sama, tetapi tetap bertahan dan menemukan cara untuk hidup dengan absurditas ini. 

Camus menolak gagasan bunuh diri sebagai jalan keluar dari absurditas ini. Baginya, tindakan bunuh diri justru lebih merupakan tindakan yang menambahkan absurditas, karena itu merupakan upaya untuk melarikan diri dari realitas yang tak terhindarkan. Sebaliknya, ia mengusulkan sebuah pemberontakan filosofis yang disebut “pemberontakan absurd.” Pemberontakan ini mengakui keadaan absurditas, maka manusia harus membuat makna dan nilai-nilai sendiri dalam kehidupan yang absurd ini

Sedangkan Nietzshce memberikan solusi dengan menjadi “Übermensch” atau “Superman.” Ini merupakan visi Nietzsche tentang manusia yang diidealkan yang melampaui moralitas dan batasan konvensional. Übermenschadalah seseorang yang telah mengatasi nihilisme, merangkul kehendak untuk berkuasa, dan terlibat dalam revaluasi nilai untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan memuaskan. Sosok ini mewakili sifat-sifat seperti kreativitas, penguasaan diri, keberanian, dan penghargaan yang mendalam terhadap kompleksitas kehidupan. Übermensch adalah simbol potensi manusia dan usaha terus-menerus untuk melampaui diri sendiri.

Perpsektif Islam: Kritik terhadap Keduanya

Cara pandang kedua filsuf ini sangat mewarnai pola pikir masyarakat modern dan post modern. Secara ringkas, antara Camus dan Nietzsche sama-sama hanya berdimensi duniawiah, profan. Dalam perspektif Nietzsche keterulangan ini adalah bukti nihilisme. Sedangkan bagi Camus keterulangan ini adalah sebuah absurditas. Keduanya menawarkan solusi. Camus melawan Absurditas dengan membuat makna baru dalam kehidupannya. Sementara Nietzsche merevaluasi nilai yakni mencerabut nilai hingga ke akarnya dan membuat nilai baru.

Namun apa yang tidak disadari oleh keduanya adalah bahwa solusi baik itu Übermensch ataupaun “pemberontakan absurd” yang ditawarkan tetap akan menggiring manusia masuk pada ranah abusrditas baru, dan siklus keterulangan baru yang tiada hentinya. Keduanya menerima kehidupan hanya sebatas pada yang duniawiah, karenanya menerima yang absurd, untuk mengulang yang absurd dan mengulang yang sama. “Ja sagen”, “jawab ya” kata Nietzsche, menerima siklus hidup sirkular itu apa adanya, bahkan mengglorifikasinya.

Hal tersebut berbeda dengan pandangan Islam yang mengungkapkan bahwa manusia membutuhkan keilahian, divinitas. Di hadapan alam semesta ini, manusia sangat lemah. Manusia tidak seperti hewan yang memiliki kelebihan untuk mampu survive dengan hanya mengandalkan tubuhnya. Sementara tubuh manusia tidak dapat digunakan sebagai alat untuk survive menghadapi alam semesta. 

Satu-satunya “tool” yang dimliki manusia adalah anugerah Allah berupa kemampuan untuk berpikir (al-Baqarah: 31), akalnya. Dan jika akal ini tidak dipandu oleh wahyu, maka manusia akan menghancurkan diri sendiri dan menumpahkan darah (Al Baqarah: 30). Dan itu terbukti di era modern para penguasa “dunia” akan menggunakan akalnya untuk menguasai (will to power) orang lain untuk dieksploitasi secara ekonomi, sosial, dan politik. Karenanya dengan akal yang terpandu dengan wahyu (al-Baqarah: 38) akan mengarahkan manusia menjadi khalifah di Bumi mewujudkan rahmatan lilalamin.

Islam memandang eksistensi alam semesta ini tidaklah abadi, karena berada pada jalur kehancuran: kiamat (al-Qashash: 88). Hal ini pun terbukti secara ilmiah bahwa bintang-bintang akan hancur dan mati, termasuk matahari kita. Dalam ilmu kosmologi dan astrofisika, ada berbagai hipotesis tentang masa depan alam semesta yang mencakup konsep seperti Big Freeze, Big Crunch, atau Big Rip, yang menggambarkan perkiraan tentang bagaimana alam semesta bisa berakhir berdasarkan hukum-hukum fisika yang diketahui saat ini.

Dalam Islam, kiamat ini terdapat kiamat kecil (sughra) dan besar (kubra). Bahwa kematian (kiamat sughra) akan membawa pada pertanyaan apakah kehidupan hanya sebatas dunia? Jika demikian maka segala yang  dilakukan di dunia ini pun menjadi absurd, sia-sia. Jika memang hidup hanya sebatas dunia, maka apakah arti hidup di dunia jika kemudian tidak ada apa-apa setelah itu. Karenanya Islam memandang adanya hidup sesudah mati merupakan landasan rasional untuk memahami mengapa hidup ini kemudian layak untuk dijalani. 

Dalam hal keterulangan, memang dalam Islam menerima itu sebagai sebuah ketetapan Allah, sunatullah. Karenanya, manusia perlu peneguhan diri dengan mengulang-ulang ibadah: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Shalat dilakukan lima kali dalam sehari. Puasa bisa dilakukan mingguan dan tahunan. Zakat bisa dilaksanakan sewaktu-waktu dan tahunan, serta Haji dilakukan secara tahunan. Ini semua adalah untuk mewujudkan bagaimana tubuh manusia bisa harmoni dengan alam.

Memang betul terdapat keterulangan yang abadi, namun secara bentuk tidak sirkural, tetapi spiral. Yakni keterulangan sirkular namun dengan proses peningkatan spiritual (ruhaniah) untuk terus menuju kekekalan abadi surgawi. Karenanya mewujudkan kehendak Ilahi menjadi penjelas yang “crystal clear” bahwa tujuan hidup ini untuk menyembah-Nya (adz-Adzariat: 56) adalah untuk mencapai yang ilahi, kembali kepada Allah (al-Baqarah: 156). 

Puasa, dengan menahan seluruh hasrat will to power yang subjektif, mengajarkan kembali kepada manusia untuk menyadari kembali keberadaan manusia di Bumi: dari mana ia berasal, apa yang harus dilakukan selama di dunia, dan akan ke mana setelah meninggal dunia. Karenanya hanya orang beriman yang bersedia melaksanakan perintah-Nya ini. ini menjadi pembeda antara orang beriman tidak beriman. Bisa jadi adalah identitas yang khas milik orang beriman.

Secara keseluruhan, puasa Ramadan memiliki banyak kaitan dengan berbagai aspek siklus kehidupan manusia, termasuk aspek spiritual, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi. Puasa ini memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan individu dan komunitas umat Muslim selama satu bulan penuh setiap tahunnya, untuk kembali (lagi) kepada fitrahnya (fii ashani taqwim). 

Wallahu’alam(*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version