Idul Fitri di Gaza, di tiap Rumah Ada yang Syahid atau Terluka

Idul Fitri di Gaza
Pasar dadakan di tengah reruntuhan gedung di Gaza. (aljazeera)

PWMU.CO – Idul Fitri di Gaza Palestina tahun 2024 ini adalah duka cita. Perang enam bulan berjalan ini telah membuat lebih 33.000 warga Gaza syahid.

Sebagian besar rumah hancur kena bom. Kegembiraan Idul Fitri di Gaza pun hilang.

Israel membatasi aliran bantuan ke wilayah Palestina, sehingga makanan untuk merayakan hari raya Idul Fitri tak mencukupi. Bahkan ada warga terpaksa mencampurkan tepung dengan pakan ternak untuk membuat makanan.

”Idul Fitri adalah kebahagiaan bagi anak-anak dengan pakaian dan mainan baru. Bagi orang dewasa, ini adalah saat menerima kunjungan anggota keluarga,” kata Rawan al-Zard, 53 tahun, warga Gaza, kepada Middle East Eye.

 ”Tahun ini, anak-anak kehilangan kegembiraan karena ketakutan mereka terhadap bom,” tambahnya.

Zard mengenang Idul Fitri tahun lalu yang dihabiskan dengan mengunjungi anggota keluarga, bercengkerama, dan makan sepuasnya setelah sebulan berpuasa.

Kini harus berjuang tetap hidup di tengah ancaman pasukan Israel. Di hampir semua keluarga di Gaza suasananya sedang berduka.

”Di setiap rumah, ada seorang syahid atau orang yang terluka,” tuturnya.

Zard dan warga Gaza lainnya tidak membayangkan perang berlangsung selama ini. Tekanan dalam upaya bertahan hidup membuat perayaan hari raya Idul Fitri tidak lagi istimewa.

Dia ingin merayakannya, dia tidak tahu bagaimana caranya. Sebab rumahnya hancur. Kini dia tinggal bersama kerabatnya. Tidak ada lagi tempat rekreasi di mana dia bisa mengajak anak-anaknya bermain.

Tidak ada lagi kunjungan Idul Fitri dari tetangga, teman, atau kerabat. Kalau ada yang datang dia pun bingung mau menampung mereka di mana sebab rumahnya hancur.

Zard mengatakan, kegembiraan kembali bersinar kalau dia dan tetangganya bisa kembali ke rumah dan perang berakhir.

Nasib sama dialami Rula Ajour, ibu dari lima anak. Dia biasanya menghabiskan dua pekan terakhir bulan Ramadhan untuk mempersiapkan Idul Fitri. Seperti mendekorasi rumah, membelikan pakaian untuk anak-anak, dan menyiapkan manisan tradisional.

Tahun ini, hidupnya terasa sepi. Serangan Israel menyebabkan 25 anggota keluarganya tewas.

“Saya dan keluarga selalu menantikan Idul Fitri dan rumah kami memiliki suasana yang bahagia,” kenang Ajour.

Saat ini dia terjebak di Gaza utara, di tengah puing-puing penghancuran Israel. Kerabatnya terpisah antara mereka yang meninggal dan mencari perlindungan di selatan.

”Perang menghancurkan segalanya,” katanya. ”Saya berbicara dengan saudara saya mengucapkan selamat Idul Fitri. Berharap Idul Fitri tahun berikutnya akan baik-baik saja, tetapi kami mulai menangis,” ucapnya.

Ajour mengatakan, putranya, Yasin, berusia tujuh tahun mengeluh tidak bisa bahagia atas perang ini. Banyak orang yang meninggal.

Ajour sempat membelikan pakaian baru dengan uang pinjaman, namun anaknya menolak memakainya. Selama Ramadhan dan Idul Fitri ada pasar dadakan yang muncul di tengah reruntuhan gedung.

”Kami tidak menyangka akan hidup dengan semua rasa sakit, kehilangan, dan kelaparan ini,” tuturnya.

”Israel tak mau kami hidup damai. Kalaupun perang berakhir sekarang, kita memerlukan waktu bertahun-tahun untuk pulih dari trauma ini,” tambahnya

Idul Fitri mestinya menandai kembalinya sarapan. Makan minum secara normal setelah sebulan berpuasa Ramadhan.

Namun bagi warga Gaza, hari-hari serasa Ramadhan terus karena kesulitan makanan sehingga memaksa terus berpuasa.

Iyad Islam (66), warga Gaza, menggambarkan Idul Fitri di Gaza sebagai ”penghiburan” setelah berbulan-bulan menderita.

Tentara Israel menghancurkan rumah tiga putrinya. Kini tinggal bersama di rumah kecil dan sempit. Ada 22 orang tinggal di rumah itu.

”Saya tidak mampu menyediakan makanan dan pakaian untuk keluarga saya,” katanya.

Pesawat-pesawat tentara pendudukan Israel masih terbang di ketinggian rendah, seolah-olah mereka memberi tahu kami bahwa mereka akan terus membunuh kami bahkan pada hari-hari suci kami.

Pasar dan masjid juga hancur. ”Mereka menghancurkan masjid tempat kami biasa melaksanakan shalat Idul Fitri,” katanya.

”Penjajah berusaha menghapus ingatan sosial, budaya, dan agama kami, namun mereka tidak berdaya, karena kami adalah orang-orang yang teguh,” tandas Iyad.

Husni al-Maidana (67) menangis ketika ditanya apa makna Idul Fitri di Gaza. ”Bagi saya Idul Fitri adalah keluarga,” katanya lalu berurai air mata dan tak mau berkata lagi.

Istrinya menjelaskan, mereka akan menemui putri mereka dan menantu laki-lakinya yang tinggal di kamp pengungsi bersama ribuan orang lainnya.

Rumah putrinya dihancurkan oleh rudal Israel, dan keluarga suaminya masih terkubur di bawah reruntuhan.

Exit mobile version