Karakter Entrepreneur Muslim Ada Sepuluh, SPEAM Sudah Praktikkan Enam

Karakter Entrpreneur Muslim ada sepuluh, Sekolah Pesantren Entrepreneur Al-Maun Muhammadiyah (SPEAM) Kota Pasuruan Jatim sudah praktikkan enam.
Abu Nasir membahas karakter entrepreneur muslim (Dadang Prabowo/PWMU CO)

PWMU.CO – Karakter Entrpreneur Muslim ada sepuluh, Sekolah Pesantren Entrepreneur Al-Maun Muhammadiyah (SPEAM) Kota Pasuruan Jatim sudah praktikkan enam.

Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Pasuruan Drs H Abu Nasir MAg mengupasf free024).

Di hadapan para santri dan wali santri, Abu Nasir menyebutkan sepuluh karakter entrepreneur. “Yaitu mandiri, kreatif, berani mengambil resiko, berorientasi pada tindakan, kepemimpinan, kerja keras, disiplin, jujur, inovasi, dan tanggungjawab. Enam diantaranya sudah dipraktikkan di SPEAM,” ujarnya.

Keenam karakter tersebut, lanjutnya, bisa dilihat dari kegiatan pentas seni yang tiap tahun diadakan, baik di SPEAM putra dan putri. Pertama kemandirian. Yaitu sikap dimana para santri tidak lagi membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan pekerjaan.

“Santri mengelola, mengatur, mengarahkan dan menjalankan kegiatan,” ungkapnya.

Kedua, sambungnya, adalah kreatif. Hampir setiap tahun ditemukan hal-hal baru pada pentas seni. Sesuatu yang mereka kreasikan dari pikirannya yang kemudian menghasilkan tindakan dan produk-produk.

“Produk di sini bisa dua hal. Yang pertama adalah produk sosial berupa aktualisasi tindakan. Dan yang kedua adalah produk ekonomi yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat,” terangnya.

Ketiga, berani mengambil resiko. Yaitu kemampuan santri ketika menyukai pekerjaannya dan menyukai tantangan baru yang berbeda dari yang lain. Ingin selalu out off the box. Berpikir di luar dari yang selama ini dipikirkan orang lain. Lalu berani mengambilnya sebagai sebuah resiko, karena itu adalah sebuah tantangan.

“Anak seperti ini tidak akan mundur kalau ada hambatan. Dia akan mencari jalan secara kreatif bagaimana keluar dari persoalan. Maka hal-hal yang berat dan repot dijadikannya sebagai sebuah tantangan untuk membuatnya maju,” jelasnya.

Urutan keempat adalah berorientasi pada tindakan. Pada tahap ini seorang santri mampu berinisiatif tidak hanya menunggu perintah dan juknis.

“Di SPEAM anak-anak diajari untuk tidak menunggu juknis, tetapi dia mampu menerjemahkan pikiran, konsep dan ide dari orang lain. Dia juga akan mengambil tindakan sebagai langkah antisipatif dari sebuah tindakan yang tidak dia inginkan,” paparnya.

Siap Sengsara Menuntut Ilmu

Yang kelima adalah kepemimpinan. Tidak ada kepemimpinan yang baik kecuali seseorang memiliki seni yang membuat orang lain untuk bertindak. Di SPEAM anak-anak terbiasa untuk membuat proposal kegiatan, kemudian mampu menjelaskan apa yang telah dibuat.

“Pemimpin yang baik adalah yang mampu tahu jalan, tahu persoalan. Kemudian bisa menunjukkan jalan dan menempuhnya, dan selanjutnya mampu melaksanakan tindakan tersebut,” ucapnya.

“Dengan bekal arahan dari para pimpinan tersebut, setiap bulan para santri di SPEAM mampu menjadi imam dan mubaligh di masjid di berbagai daerah. Seperti Malang dan Gresik,” tambahnya.

Terakhir keenam adalah kerja keras. Etos kerja keras para santri sangat baik. Dia pun mengapreasiasi pentas seni yang tiap tahun diadakan. Selalu unik dan ada hal yang baru. Dan itu mungkin terwujud tanpa adanya kerja keras.

Dia juga mengomentari tentang menjamurnya pondok atau boarding scholl dengan fasilitas yang serba mewah. Hal itu menurutnya malah tidak menjadikan anak terdidik mentalnya.

“Hidup di pesantren itu memang harus mandiri, sederhana, disiplin, dan siap untuk sengsara untuk mendapatkan ilmu. Dengan begitu santri akan mendapatkan kenikmatan kelak di masa depan,” tuturnya. (*)

Penulis Dadang Prabowo. Editor Sugiran.

Exit mobile version