
PWMU.CO – Seorang anak boleh menghajikan atau mengumrahkan orang tuanya yang sudah meninggal dunia, meskipun secara verbal (lisan) orang tua tersebut tidak memberi pesan khusus kepada anaknya.
Demikian pendapat KH Musthofa Muntasam, Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Palirangan, Payaman, Solokuro, Lamongan, menjawab pertanyaan Joko Supriyadi, seorang jamaah haji dari Gresik, di Hotel Alhejazi, Syisyah, Mekah, Kamis (7/9) malam.
Kebolehan itu, menurut Musthofa, berdasarkan hadist riwayat Daruqtni bahwa seorang Sahabat bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebolehan menghajikan orang tuanya.
Secara diplomatis Rasulullah saw menjawab, “Kalau orang tuamu meninggal dan punya tanggungan hutang apakah kamu juga yang membayarnya?”
Sahabat itupun menjawab, “Ya.” Dan Rasulullah saw bersabda, “Berhajilah untuknya!”
Dari hadis ini, kata Musthofa, dapat dipahami bahwa untuk membayar tanggungan hutang pun orang tua tidak pernah berpesan secara khusus. “Tapi sebagai bentuk birrul walidain, maka kewajiban itu kita lakukan. Demikian juga dengan menghajikan atau mengumrahkan orang tua,” ujarnya.
Maka, lanjutnya, anak yang shaleh itu, jika berkemampuan, melakukan itu (menghajikan) adalah kebaikan. “Tapi, syaratnya anak tersebut sudah pernah berhaji.” terangnya. Kalau mengumrahkan, berarti dia sudah harus pernah umrah.
Yang kedua, kata Musthofa, bahwa ahlul ilmi melihat dari posisi
lain. Apa itu? Bahwa anak dan hartanya anak itu adalah milik orang tuanya.
Musthofa lalu mengisahkan tentang seorang Sahabat yang mengeluh pada Rasulullah saw bahwa dia sudah punya istri, punya keluarga, tapi orang taunya masih suka mengambil kambingnya, mengambil kurmanya.
Maka Rasulullah saw marah dan mengatakan, “Anta wa maluka li abika (kamu dan semua hartamu milik bapakmu).”
“Artinya, kalau kita adalah milik orang tua kita, harta kita adalah milik orang tua kita, maka nggak salah kan kalau kita berikan pada yang punya. Wong itu harta milik orang tua,” ungkap alumni Pondok Pesantren Maskumambang Gresik itu.
“Jadi, (menghajikan) itu bentuk birrul walidain. Dan tak perlu menunggu ada wasiat atau tidak,” jelasnya.
Yang ketiga, jelas Musthofa, apakah harus menunggu wasiat. “Untuk berbuat baik, apakah menunggu wasiat? Kan wabil walidaini ihsana. Dan terhadap kedua orang tuamu hendaklah berbuat baik. Ini bagian ihsan kepada kedua orang tua. Jadi tidak perlu menunggu diperintah. “Anak kok medit,” candanya.
Yang keempat adalah bahwa hadist ini adalah tahsis, pengkhususan, dari anak pada orang tua atau keluarga. Maka wajar saja kalau kita menghajian orang tua atau saudara kita.
Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kabupaten Lamongan itu juga menekankan, untuk badal umrah, selain yang mengumrahkan sudah pernah melakukannya, umrahnya tidak dilakukan berkali-kali di musim haji. “Umrah ini untuk fulan, untuk fulan, dan seterusnya. Tidak ada tuntutan umrah seperti itu,” ucapnya.
Soal hukum umrah berkali-kali di musim haji bisa baca link berita ini: Soal Hukum Umrah Berkali-kali saat Haji, Ini Kata Kyai Lamongan yang Sedang di Mekah)
Jadi, yang sudah haji tahun ini, semoga lain kali bisa berkesempatan menghajikan orang tuanya yang telah meninggal, yang belum sempat menunaikan ibadah haji. Amin. (MN)