Clash of Champions Bukti Kesenjangan Kualitas Pendidikan Kita?

Wildan Nanda Rahmatullah, Pengajar SMA, Sejarawan Muhammadiyah

Oleh Wildan Nanda Rahmatullah (Pengajar SMA dan Sejarawan Muhammadiyah)

PWMU.CO – Pagelaran Clash of Champions yang diadakan oleh Ruang Guru kini tengah viral. Bagaimana tidak? Acara yang mengangkat tema pertandingan kecerdasan anak bangsa dari berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia ini membuat kita kadang terheran.

Lihat saja bagaimana seorang anak muda yang duduk di bangku kuliah, mengerjakan soal matematika dan logika hanya dalam beberapa detik. Beberapa dari mereka mendapat IPK 4 dari perguruan tinggi ternama di Indonesia. Sebut saja seperti UI, UGM, atau Unair.

Bahkan, ada beberapa yang mendapat IPK sempurna dari perguruan tinggi luar negeri seperti National University of Singapore (NUS) dan Korea Advanced Institute of Science & Technology (KAIST).

Di sisi lain, mungkin kita sering menemui di SMA seorang siswa yang mengerjakan soal ogah-ogahan atau bahkan sering membolos. Seakan memberikan sebuah tamparan, bahwa separah itulah kesenjangan pendidikan di negeri ini.

Masih teringat paruh awal 2024, banyak anak muda yang menyuarakan keengganan mereka untuk sekolah dan memilih untuk bermain cryptocurrency. Berapa juta juga anak muda Indonesia yang terjerat judi online?

Sering saya temui sebagai seorang pengajar, banyak murid yang masih bingung menentukan tujuan hidupnya. Apakah setelah lulus mereka akan bekerja atau kuliah. Tentunya ini menjadi PR bukan hanya bagi sekolah, tapi juga orang tua yang mestinya memberi support yang baik bagi anandanya.

Clash of Champions Buktikan Kualitas Masyarakat?

Melihat kompetisi Clash of Champions, bisa terlihat bagaimana mentalitas masyarakat negeri ini. Sangat miris bahwa kita menempuh pendidikan seakan hanya untuk money oriented saja. Jika itu tidak menghasilkan uang, untuk apa? Masyarakat kita masih berkutat dengan hal semacam ini.

Tidak ada salahnya memiliki pemikiran materialistik atau money oriented. Tapi seringkali kita temui oknum yang mengharuskan orang lain yang bekerja secara ikhlas sebagai sosok yang membuang-buang waktu. Padahal, contoh saja Persyarikatan Muhammadiyah mengedepankan keikhlasan untuk beramal.

Melihat kondisi ini, saya rasa slogan Indonesia Emas 2045 masih jauh panggang dari api. Perlu pembenahan pola pikir masyarakat kita agar lebih terbuka dengan ilmu pengetahuan. Bukan tanpa sebab, tetapi agar masyarakat kita paham jika pengetahuan bukan sekedar katalis untuk mencari kekayaan. (*)

Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan

Exit mobile version