Poligami

Silviyana Anggraeni (Foto: PWMU.CO)

Silviyana Anggraeni – Pegiat Literasi/Aliansi Penulis Muhammadiyah (APIMU)

PWMU.CO – Poligami di zaman modern ini bukanlah hal yang tabu. Sudah banyak yang melakukan praktik poligami, mulai dari masyarakat biasa sampai dengan golongan priyayi. Mulai dari yang tidak mengerti soal syariat poligami sampai dengan para kyai. Sebagaimana hukum kebiasaan. Perilaku semakin sering di lakukan, akan di anggap biasa lalu menjadi kebiasaan. Bahkan lambat laun akan menjadi budaya. 

Meski poligami bagian yang di  syariat/hukum kan dalam Islam, tetapi pandangan miring terhadap yang mempraktekannya tetaplah ada terutama kepada mereka perempuan penyandang predikat istri kedua. Istri kedua di anggap sebagai sumber poligami itu terjadi. Istri kedua di gambarkan sebagai sosok yang antagonis. Istri kedua adalah perusak rumah tangga monogami. 

Tanpa ingin tahu alasan poligami itu terjadi, masyarakat selalu menjustifikasi perempuan istri kedua adalah seorang perebut suami, seorang penggoda, seorang yang rela melakukan apa saja agar mendapatkan keinginannya meski harus menghancurkan kehidupan perempuan yang lainnya. Selain istri kedua, seorang suami juga mengalami hal yang sama, di anggap mahluk kurang bersyukur, tidak setia, mata keranjang dan lain sebagainya. Sedangkan istri pertama di persepsikan sebagai orang yang terdzolimi dan sabar. 

Ternyata yang dipersepsikan oleh masyarakat itu tidak semua benar. Bahwa pihak istri pertama adalah tokoh protagonis, dan pihak suami juga istri ke dua adalah tokoh antagonis. Pada realitanya baik itu suami, istri pertama dan istri ke dua memiliki dilematika masing masing dalam menjalani pernikahan poligami. Khususnya bagi istri kedua yang sering di anggap perusak kebahagiaan orang lain. 

Sebut saja namanya Ratna, dia menikah dengan suaminya saat sang istri pertama sedang hamil 8 bulan. Pernikahan tersebut terjadi karena paksaan dari orang tua nya yang matrealistik. Menikahkan anak semata wayangnya dengan pria kaya beristri. Bukan bahagia yang dia dapatkan justru cibiran orang orang yang selalu di terimanya dari masyarakat sekitar, keluarga suami, keluarga istri pertama bahkan teman dan keluarganya sendiri. Predikat sebagai pelakor telah di terimanya bertahun tahun bahkan setelah dia di ceraikan lagi oleh suaminya karena tak kunjung memiliki anak. Sudah jatuh tertimpa tangga. 

Ratna adalah gambaran perempuan yang tidak mampu menolak takdir yang di persiapkan orang tuanya sendiri. Dia tidak memiliki kuasa untuk menolak. Niat hati hanya ingin berbakti kepada orang tuanya lah yang membuat dia mendapat julukan pelakor yang telah menjanda, atau pelakor yang terbuang. Entah bagaimana caranya dia melepaskan diri dari julukan itu. Semuanya telah terjadi, tidak dapat di ulang kembali, dan percuma bila di tangisi. 

Selain ratna ada kisah lain dari perempuan bernama Citra. Berawal dari perkenalannya dengan seorang laki-laki bernama Rafi, pacaran lalu menikah. Tak di sangka ketika Citra telah mengandung anak pertamanya, datanglah seorang perempuan kepadanya, mengaku sebagai istri dari suaminya, bahkan sebelum Citra menjadi istrinya. Bagai tersambar petir Citra mengetahuinya, tapi sayang citra tak bisa berbuat apa-apa, dia tak mungkin melepaskan suaminya, ada anak di perutnya yang masih membutuhkan seorang ayah. Citra marah dan kecewa pada suaminya, terlebih kepada dirinya. Bagaimana bisa dia menikah dengan laki-laki beristri. Lagi-lagi inilah takdir yang tidak dapat di tolak perempuan manapun. Semua sudah kehendak Allah SWT. 

Andai waktu bisa di putar mungkin Citra tidak akan mau menikah dengan laki-laki beristri, citra tak ingin berbahagia di atas kesedihan perempuan lain, citra bukan penggoda, citra adalah perempuan baik, terdidik dan berada. Citra hanya sedikit ceroboh tak menelusuri lebih jauh soal laki-laki yang akan menjadi suaminya. Tidak ada kecurigaan sama sekali, tidak ada hal yang ganjil dari suaminya selama ini. Kini Citra hanya bisa menahan pedih menerima takdirnya menjadi istri kedua. Menerima takdirnya dalam pernikahan poligami yang sama sekali tak pernah di impikannya. 

Hukum Poligami dalam Islam

Dalam islam poligami adalah salah satu dari syariat, artinya poligami memang di atur dalam islam. Syariat/aturan itu ada ketika pernikahan poligami terjadi. Aturan itu di buat agar kehidupan manusia menjadi tertata, tidak seperti hewan yang bebas dan semaunya. Praktik poligami sendiri sudah ada sejak jaman kenabian, bahkan dengan jumlah istri yang tak lagi terbatas. Maka dari itu turunlah hukum Allah tentang poligami, agar pernikahan poligami memiliki aturan, agar poligami tidak mendatangkan mudhorot dan kedzaliman khususnya terhadap kaum perempuan. 

Seperti yang dapat kita lihat pada Q.S An-Nissa ayat 3 yang artinya “Kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Dari surah ini dapat kita simpulkan ternyata Allah bukanlah menyuruh manusia (laki-laki) untuk menikahi banyak wanita, justru Allah sedang membatasi mereka para laki-laki agar menikahi satu wanita saja jika tidak dapat berbuat adil atau tidak dalam kondisi yang darurat. 

Melihat dari banyak kasus poligami di sekitar kita, tentu kita dapat menangkap adanya beban psikologi (kesedihan) yang di alami oleh para istri. Baik itu istri pertama maupun istri ke dua. Sebagai istri pertama, ada kesedihan dari sebuah penghianatan suami yang tega membagi cinta setelah sekian lama suka duka di lalui bersama dalam biduk rumah tangga. Begitupun istri kedua yang bersedih karena image sebagai perebut suami orang melekat pada dirinya. Ternyata meski menjadi bagian dari syariat agama, terlebih tidak dilakukan secara benar sesuai syariat poligami tetaplah menyakitkan bagi seorang perempuan. 

Bagi para suami sudah seharusnya berhati-hati saat memilih untuk melakukan poligami. Ada hukum Allah dan negara yang siap menanti. Karena poligami memperbesar kemungkinan untuk para suami menelantarkan istri dan anak, poligami memicu kekerasan dalam rumah tangga meningkat, karena pernikahan poligami tidak lebih mudah dari pernikahan monogami. Poligami dapat mendatangkan pahala manakala dilakukan sesuai syariat, tetapi juga dapat mendatangkan dosa dan azab manakala di dalamnya terdapat kedzaliman.

Editor Teguh Imami 

Exit mobile version