
Oleh Nurbani Yusuf – Pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar
PWMU.CO – Pasukan kafir Quraisy lari lintang pukang, compang camping karena dikejar-kejar oleh pasukan muslimin. Gegap gempita dan sorak sorai menandai sebuah kemenangan. Harta ghanimah pun berserak, mulai emas permata hingga perempuan yang menjadi tawanan untuk bisa dimiliki sebagai budak.
Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam (SAW) berpesan: “jaga Bukit Uhud jangan pernah tingalkan betapapun itu.”
Ibnu Hisyam seorang sejarawan besar Islam masa salaf mengisahkan, betapa ghanimah telah mempengaruhi paradigma pemikiran para sahabat Nabi SAW kala itu. Mereka menjadi ringkih dan lalai. Pesan Nabi SAW diabaikan, dan ikutlah dalam royokan berebut ghanimah karena takut tak kebagian.
Pasukan kafir yang dipimpin Khalid bin Walid pun mengambil kendali. Mereka berdiri tegak di Bukit Uhud yang sudah ditinggalkan. Tentara Muslimin terlena, lalai, porak poranda dan akhirnya kalah. Kemenangan yang sudah di tangan pun lenyap, berganti sesal tiada arti.
***
Paradigma ghanimah ini masih tetap relevan di sepanjang masa situasi dan kondisi umat Islam. Gusti Allah seakan hendak menasehatkan betapa ghanimah telah membuat iman setebal tembok China pun bisa retak, bahkan bisa menembus kekuatan baja sekalipun. Apalagi iman yang hanya ditaruhkan di jenggot yang dipanjangkan tanpa resiko biaya.
Masa sekarang harta ghanimah bisa dalam bentuk apapun: mulai dari jabatan atau posisi, harta infaq dan sedekah, wakaf atau apapun harta yang di dapat tanpa kerja keras semacam harta fida’ yang di dapat Nabi SAW tanpa pengorbanan dan deru perang.
Nafsu menguasai harta, baik untuk diri sendiri, keluarga atau untuk kelompok jamaah sekalipun harus tetap bersandar pada kaidah syara’. Seringkali terjadi perampasan hak atas nama kebaikan yang lain. Bukankah setiap kebaikan mewajibkan melalui proses yang baik pula? Bukan sebaliknya? Tapi bagaimana kebaikan yang ditempuh dengan cara subhat?
***
Mengelola hati agar jiwa tenang memang tak mudah. Ini bukan soal teori tapi butuh latihan keras.
Sayyidina Usamah bin Zaid dan Sayyidina Ali Karramullahu Wajhah adalah komparasi signifikan bagaimana kematangan jiwa mempengaruhi perilaku di antara para sahabat ahli surga.
Ussamah membunuh prajurit kafir yang telah mengucap syahadat karena menurutnya ia bersyahadat hanya karena takut pedangnya, yang justru berakhir dengan teguran keras dari Nabi SAW.
Sayyidina Ali Karramullahu Wajhah mengurungkan membunuh prajurit kafir yang meludahi mukanya karena ia tak mau membunuh dengan marah, yang justru berakhir dengan pujian Nabi SAW tentang kematangan dan dewasa berpikirnya.
***
Tidak terasa acapkali kita beragama dengan penuh nafsu amarah. Melihat pendosa marah, melihat yang belum shalat marah, melihat orang pelit marah, dan seterusnya. Kemudian melakukan intimidasi teologis, merampas hak anak yatim atas nama kebaikan yang lain. Atau mengerjakan amal baik sambil mencela yang belum baik. Islam itu sumeleh pasrah lerem …
Editor Notonegoro