
Oleh Pujiono – Direktur Pilar Pendidikan Rakyat, Nganjuk
PWMU.CO – Dalam sejarah Islam, kita mendapat penyadaran bahwa agama bukanlah sarana untuk memuaskan ego atau menyalurkan kemarahan. Agama merupakan jalan menuju kedamaian, kesejahteraan, dan kebijaksanaan. Sayangnya, jika kita menelisik sejarah perjalanan orang-orang Islam, sering tersesat ke jalur beragama dengan penuh nafsu amarah. Meskipun kerapkali berbungkus dengan argumentasi yang indah dan rasional, sesungguhnya tetap saja berseberangan dengan semangat ajaran Islam itu sendiri.
Mari kita simak sejenak masa awal sejarah Islam, ketika Rasulullah Muhammad SAW, sang teladan utama umat menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya beragama dengan penuh kelembutan dan kebijaksanaan. Bahkan ketika beliau dihina, dicaci, dan disakiti, Nabi Muhammad tetap menahan amarahnya. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
“Tidaklah seseorang itu di sebut beriman hingga ia tidak marah kecuali karena Allah” (HR. Al-Bukhari)
Lalu, mengapa kita yang mengaku umat beliau, terkadang lebih sering mempraktikkan cara beragama dengan emosi dan amarah? Mengapa tidak dengan penuh hikmah seperti yang beliau contohkan? Bukankah Islam sendiri mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara keadilan dan kasih sayang?
Prihatin kita melihat fenomena keberagamaan era sekarang. Seringkali memahami bahwa dalam beragama, amarah merupakan senjata ampuh untuk ‘mempertahankan kebenaran’. Padahal, jika kita telaah secara mendalam, amarah dalam perspektif agama dimaknai sebagai tindakan yang berakar dari nafsu pribadi, bukan dari prinsip agama yang sesungguhnya.
Sungguh miris jika kita suatu ketika mendengar ceramah agama yang justru penuh dengan bumbu hujatan, terlebih lagi hujatan itu mengarah terhadap umat Islam lain hanya karena adanya perbedaan-perbedaan kecil semata. Kadang tidak sekedar sindiran pedas, namun juga lontaran kata-kata kasar.
Bukankah Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 128 telah berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan, memberi maaf, dan mendamaikan di antara manusia, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Seharusnya, kita bertauladan pada sikap Rasulullah yang selalu mengutamakan kedamaian. Termasuk kala dalam kondisi yang penuh tantangan. Rasulullah Muhammad SAW sering kali memberi nasihat, bahwa “orang yang kuat itu bukanlah yang bisa mengalahkan orang lain, tetapi orang yang mampu mengendalikan diri saat marah.” (HR. Bukhari).
Lantas, apakah kita dapat dikatakan telah beragama secara tepat, jika kita mudah sekali terjebak dalam kebiasaan memupuk kebencian dan marah terhadap sesama, bahkan dengan mengatas-namakan agama?
Sejarah Islam memberikan banyak pelajaran menarik tentang kebijaksanaan. Salah satu contoh terbaik adalah tentang Nabi Muhammad saat berhadapan dengan kaum kafir Quraisy Makkah.
Ketika akhirnya beliau berhasil menaklukkan Makkah, banyak dari musuh-musuhnya yang datang kepadanya dengan rasa takut. Namun, Nabi Muhammad justru menunjukkan sikap sebaliknya dengan sangat luar biasa, sambil berkata:
“Hari ini bukan hari pembalasan, tetapi hari kasih sayang.” (HR. Al-Bukhari)
Kebaikan dan kasih sayang adalah inti dari ajaran Islam, namun justru seringkali terlupakan karena kita terlalu fokus pada kemenangan, keberhasilan dan pembenaran diri sendiri/golongan. Padahal, sekali lagi, Islam mengajarkan kita untuk bersikap lembut, bahkan terhadap orang-orang yang mungkin menyakiti kita atau orang yang berbeda keyakinan dengan kita.
Kini, mari kembali untuk berpikir sejenak: “apa faedahnya kita beragama dengan nafsu amarah, jika pada akhirnya yang kita dapatkan hanyalah perpecahan, permusuhan dan kebencian? Bukankah lebih indah jika kita beragama dengan hati yang penuh kedamaian, penuh kasih sayang, dan mengedepankan persaudaraan?”
Mengakhiri perenungan ini, patutlah kita bertanya pada diri kita sendiri: “apakah kita benar-benar ingin mengikuti jalan yang penuh amarah, ataukah kita ingin meneladani sikap Nabi Muhammad SAW yang penuh kelembutan dan kasih sayang”. Apakah kita tidak menginginkan umat Islam untuk selalu dalam persatuan, perdamaian, dan kebijaksanaan dalam beragama ini?
Jika jawabannya adalah meneladani Rasulullah SAW, maka kini saatnya kita berani untuk meninggalkan atau menjauh nafsu amarah dalam beragama. Marilah kita mulai dengan menjalankan praktik keberagamaan dengan penuh kedamaian, sebagaimana diajarkan dan ditauladankan junjungan kita nabi paripurna dan yang sempurna, Nabi Muhammad SAW yang mulia.
Editor Notonegoro