
Oleh Dr KH Nurbani Yusuf – Pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar
PWMU.CO – Ini tentang fiqh identitas. Agar Islam kita berbeda dengan Islam mereka. Islamku tidak sama dengan Islammu.
***
Memulai acara dengan ucapan basmalah, meski mengucapkan Al-Fatihah juga sunnah. Shalat dengan niat dalam hati meski di ucap juga boleh. Mengucap basmalah secara siri dalam shalat meski dijaharkan juga tak mengapa. Qunut saat shalat Subuh sudah pasti tiada, meski sesungguhnya qunut juga bersanad. Shalat tarweh memiih yang 11 rakaat, meski 23 rakaat ada dalilnya. Tidak juga menghadiahkan pahala, meski banyak sahabat meriwayatkan bolehnya menghadiahkan pahala untuk kedua orang tua yang sudah meninggal. Sebutan Kyai, Wali dan Gus sudah hampir punah berganti gelar akademik dari Barat, yaitu profesor emeritus. Dan puluhan identitas lainnya yang tidak tercatat.
***
Muhammadiyah, NU, Salafi, Tabligh dan puluhan harakah Islam lainnya yang tak tersebut satu-satu, punya identitas yang spesifik. Itu tidak sekedar untuk membedakan, tapi juga menjadi bagian dari yang harus diperjuangkan.
Identitas ini dalam konteks khusus menjadi semacam kredo gerakan. Dalam hal tertentu bersifat sensitive. Bahkan sering terjadi perselisihan yang tidak boleh dianggap enteng, bagai api dalam sekam. Jangan harap ada titik temu meski Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) sudah launching. Sebab perbedaan ini bukan sekedar khilafiyah sebagaimana dalam pemahaman para imam mazhab, tapi telah menjadi bagian khilaf yang sengaja dirawat dan dijaga agar terus berbeda untuk menunjukkan identitas.
Beberapa akan dilawan habis hanya demi membedakan — takut sama. Muhammadiyah takut sama dengan NU, dan NU takut sama dengan Muhammadiyah. Salafi dan Tabligh juga demikian halnya.
Khuruj keliling dari masjid ke masjid, dari satu mushala ke mushala lainnya selama 40 hari atau empat bulan seumur hidup sudah pasti Tabligh. Muhammadiyah dan NU sudah pasti enggan meski khuruj ini juga bersanad.
Membuka acara dengan basmalah sudah pasti Muhammadiyah, meski Muqaddimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah (AD/ART) di awali Al Fatihah.
***
Imam Syafi’i berfatwa, “Jika imam tidak mengucapkan aamiin, dan makmum juga tidak mengucapkan aamiin, maka mereka tidak perlu mengulang shalat dan juga tidak perlu melakukan sujud sahwi”.
Aamiin tidak perlu diucapkan kecuali hanya setelah bacaan Ummul Quran. Kalau seseorang tidak mengucapkan aamiin setelah Al-Fatihah selesai dibacakan, maka dia tidak perlu meng-qadha-nya pada bagian lain.
Imam Malik berpendapat beda. Aamiin tidak disyariatkan dan tak perlu diucapkan saat shalat. Tidak hanya itu, para ulama juga berikhtilaf tentang letak aamiin di ucapkan. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa aamiin diucapkan makmum setelah imam mengucapkan aamin. Bagi imam, makmum di ucapkan setelah huruf nun dari kata waladh dhoolliin.
***
Realitasnya, fiqh identitas bukan semata soal perbedaan ritual yang jadi perdebat ramai. Juga bukan hanya tentang jumlah rakaat dan formasi shalat tarweh apalagi soal tempat di mana dua shalat Ied di laksanakan. Gamis juga bukan sekedar pakaian yang dikenakan, atau sarung yang dilipat. Bahkan kopyah atau surban yang di taruh di atas kepala.
Identitas pakaian Muhammadiyah adalah batik bukan sarung. Majelis Dzikir sudah pasti bukan tradisi Muhammadiyah, tapi lebih memilih istilah Resepsi.
Imam Malik bin Anas beda dengan imam As-Syafi’i atau Muhamad bin Idris sebanyak 5.679 ikhtilaf. Tapi keduanya tetap akur. Buya Hamka membaca qunut shalat Subuh karena salah satu yang menjadi makmumnya adalah Kyai Idham Chalid.
***
Bukankah guru-guru kita yang mulia semua berikhtilaf? Itu menjadi bagian dari keteladanan tentang “bagaimana berbeda dengan tidak saling merendahkan, apalagi saling menyesatkan dan membid’ahkan”.
Editor Notonegoro