
Oleh Nashrul Mu’minin – Content writer Universitas Cokroaminoto Yogyakarta dan Tim Redaksi Gerakan Sosial Yogyakarta
PWMU.CO – Yogyakarta, 1 Februari 2025, sebuah gerakan diam-diam tengah berlangsung di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota Yogyakarta. Bukanlah sebuah revolusi besar yang mengguncang tatanan sosial, melainkan hanyalah pemberontakan sehari-hari oleh warga biasa. Dari dari boikot produk hingga solidaritas komunitas. Aksi-aksi kecil ini perlahan tapi pasti mampu mengubah wajah Yogyakarta menjadi lebih adil dan setara.
Tindakan kecil untuk perubahan
Pemberontakan sehari-hari sebagai bentuk perlawanan oleh individu atau kelompok sosial dalam kehidupan sehari-hari untuk menentang ketidakadilan, penindasan, dan ketidaksetaraan. Berbeda dengan revolusi besar yang membutuhkan momentum dan kekuatan masif, pemberontakan sehari-hari ini melalui tindakan-tindakan kecil yang sering kali tidak tampak, tetapi justru memiliki pengaruh besar dalam jangka waktu yang lama.
Di Yogyakarta, pemberontakan sehari-hari ini mulai terasa sejak awal tahun 2025 lalu. Warga kota yang terkenal dengan semangat gotong-royong dan solidaritasnya mulai melakukan berbagai aksi kecil. Mereka melawan ketidakadilan yang mereka rasakan selama ini.
Salah satu bentuk pemberontakan sehari-hari yang paling terlihat di Yogyakarta adalah boikot produk. Warga mulai sadar akan kekuatan ekonomi mereka dan memilih untuk tidak membeli produk dari perusahaan yang dianggap tidak adil atau merugikan lingkungan.
Sebagaimana yang terjadi pada Januari lalu, warga Yogyakarta secara masif memboikot produk-produk dari perusahaan yang diduga mendukung Zionisme. Aksi ini bermula dari gerakan kecil pada media sosial, yang kemudian merambat dengan cepat dan menyebar ke seluruh kehidupan warga Kota Yogyakarta. Toko-toko yang menjual produk beraroma zionisme tersebut mulai sepi pengunjung. Beberapa dari toko-toko itu bahkan terpaksa berhenti sementara.
“Kami tidak ingin uang kami digunakan untuk mendukung ketidakadilan. Boikot ini adalah cara kami melawan,” kata Rina, peserta aksi boikot yang juga seorang mahasiswi UGM.
Selain boikot produk atau barang, protes-protes kecil juga menjadi bentuk pemberontakan sehari-hari warga Yoyakarta yang populer. Melalui media sosial, warga mulai meluapkan ketidakpuasannya terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang menurutnya tidak menjunjung nilai keadilan.
Misalnya tentang protes terhadap rencana penggusuran kampung-kampung kota untuk proyek pembangunan. Warga yang terdampak mulai mengadakan demonstrasi damai di depan kantor Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka juga menulis surat terbuka, dan membagikannya secara online. Melalui media online tersebut, mereka meminta pemerintah untuk mendengarkan suara mereka.
“Kami tidak punya kekuatan besar, tetapi kami punya suara. Dan suara ini akan terus kami perjuangkan,” ujar Budi, seorang warga Kampung Code yang terancam tumahnya tergusur.
Solidaritas komunitas warga Yogyakarta
Kala ketidakadilan benar-benar menjadi hal yang harus mereka hadapi, warga Yogyakarta menunjukkan “solidaritas komunitas” sebagai kekuatan. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil yang saling mendukung, baik secara moral maupun material.
Salah satu contoh inspiratif adalah munculnya gagasan tentang gerakan dapur umum dan pasar gratis dari warga Kampung Jetis. Setiap minggu, warga berkumpul untuk memasak bersama dan membagikan makanan gratis kepada mereka yang membutuhkan. Selain itu, mereka juga mengadakan pasar gratis di mana warga bisa saling bertukar barang tanpa menggunakan uang.
“Solidaritas adalah senjata kami. Dengan saling membantu, kami bisa bertahan melawan ketidakadilan,” kata Sari, salah satu penggagas dapur umum.
Pemberontakan sehari-hari juga melalui perubahan perilaku individu. Warga Yogyakarta mulai sadar akan pentingnya mengurangi penggunaan plastik dan mendukung produk lokal. Di pasar-pasar tradisional, semakin banyak warga yang membawa tas belanja sendiri dan menghindari penggunaan plastik sekali pakai.
Gerakan “Belanja ke Tetangga” juga semakin populer. Warga memilih untuk membeli produk dari pedagang kecil di sekitar mereka daripada pergi ke supermarket besar.
“Perubahan kecil ini mungkin terlihat sepele, tetapi jika melakukannya secara bersama-sama, dampaknya akan sangat besar,” ujar Andi yang seorang aktivis lingkungan di Yogyakarta.
Gelombang kecil untuk mengubah kota
Meskipun tampak kecil, pemberontakan sehari-hari itu memiliki potensi untuk memberikan efek besar dalam jangka panjang. Tindakan-tindakan kecil ini mampu menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama, menciptakan gelombang perubahan.
Faktanya, Di gerakan-gerakan kecil warga Yogyakarta itu kini mulai memberikan pengaruh. Beberapa perusahaan yang menjadi sasaran boikot pun mulai mengubah kebijakan mereka. Pemerintah DI Yogyakarta juga pendengarannya mulai jernih, sehingga mulai bisa mendengarkan suara warga. Tentunya juga membawa pengaruh saat membuat kebijakan .
“Pemberontakan sehari-hari adalah bukti bahwa kita tidak perlu menunggu revolusi besar untuk membuat perubahan. Setiap tindakan kecil kita bisa menjadi bagian dari perubahan besar,” kata Doktor Anisa, dosen Sosiologi di UIN Sunan Kalijaga.
Yogyakarta Kota perjuangan
Yogyakarta melalui semangat gotong-royong dan solidaritasnya itu telah membuktikan bahwa pemberontakan sehari-hari bisa menjadi kekuatan yang mengubah tatanan sosial. Dari boikot produk hingga solidaritas komunitas, warga Yogyakarta menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil.
“Kami mungkin tidak punya kekuatan besar, tetapi kami punya semangat dan solidaritas. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat perubahan,” kata Rina, menutup percakapan.
Akhirnya, di tengah ketidakadilan dan penindasan, Yogyakarta tetap berdiri sebagai kota yang tak pernah berhenti berjuang. Dan pemberontakan sehari-hari adalah bukti nyata dari semangat itu.
Editor Notonegoro