
Dokumentasi saat Walikota Surabaya, Eri Cahyadi, dan Baznas, memberikan santunan kepada warga miskin kota Surabaya, sumber: Tribun
Artikel ini ditulis oleh Teguh Imami. Sehari-hari sebagai wartawan PWMU.CO dan pegiat filantropi.
PWMU.CO – Namanya Dewi, bukan nama sebenarnya. Saat ini duduk di bangku kelas XII di salah satu pondok pesantren Gresik. Di pondoknya dia termasuk santriwati yang aktif. Selain aktif mengikuti pelajaran-pelajaran yang diampuh Asatidz, juga menjadi salah satu pengurus di pondok tersebut bagian keamanan. Tugasnya, memberi hukuman bagi santriwati-santriwati yang melanggar aturan pondok.
Sama seperti santriwati lainnya, sehari-hari dia mengikuti seluruh rangkaian kegiatan pondok pesantren. Setelah subuh mengaji, pagi berangkat ke sekolah hingga siang. Sore hari mengaji lagi, dan pada malam hari belajar untuk persiapan sekolah esok hari. Jika tidak belajar, dia habiskan waktu untuk rapat bersama pengurus pondok lainnya. Dewi melalui hari-harinya dengan keceriaan, semangat, dan kebersamaan bersama santriwati lainnya.
Dibalik keceriaan dan semangat yang menggebu untuk menuntut ilmu, saat menyendiri, airmatanya sering meleleh. Dia merenung dengan kondisi orangtuanya di rumah dan kemiskinan di lingkungannya. Dewi masih ingat saat SMP, dia sering diolok oleh teman-teman sebayanya karena tempat tinggalnya yang kumuh, di bawah tol jembatan, dan seluruh tetangganya bekerja sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, pemulung, dan buruh kasar.
Saat tersadar dari lamunan, dia cepat-cepat membersihkan air matanya yang mulai mengering, dia sapu kesedihannya, menguatkan diri untuk selalu bersyukur dan menjalani kehidupan sehari-hari seolah tidak ada masalah apapun. Di lingkungannya, hanya dia yang bersekolah. Lainnya, baik muda dan tua, lulus SD pun tidak ada. Sejak kecil semuanya sudah menjadi pengamen dan pengemis.
Setelah kesedihan mendera, dia selalu bangkitkan lagi semangatnya untuk menuntut ilmu. Di tengah keterbatasaannya, Dewi masih memiliki cita-cita tinggi untuk berkuliah di universitas. Baginya hal itu mustahil, namun sebagai santriwati yang diajari utntuk hanya berharap kepada Allah, dia selalu berdoa di sepertiga malam agar bisa berkuliah. Meskipun belum mengetahui bagaimana kedepannya.
Kampung 1001 Malam
Lokasi di bawah tol Dupak, Surabaya, merupakan kawasan hutan rimba setidaknya hingga pada tahun 1990an. Meskipun pada tahun 1986, beberapa orang miskin sudah mulai tinggal di bawah kolong jembatan tersebut, namun jumlahnya hanya beberapa keluarga. Mereka menamakan permukimannya dengan nama 1001 Malam. Nama itu mereka ambil agar kelak masa depan para warga cerah. Kurun waktu 1999, jumlah pemukim semakin banyak, bahkan mereka tidak hanya tinggal di bawah kolong jembatan, melainkan menggunakan tempat-tempat sekitaran sungai untuk bertempat tinggal.
Menjelang akhir 1999, permukiman itu telah tampak seperti sebuah kampung: rumah-rumah dibangun berdekatan, berderet-deret, dan manusia mulai berdesakan tinggal di sana. Beberapa diantaranya dari desa kemudian merantau di Surabaya, dan memilih tempat tinggal di wilayah tersebut.
Kampung 1001 Malam memiliki luas 5 Ha dengan jumlah penduduk 180 Kartu Keluarga (KK) sehingga menunjukkan kepadatan penduduk di kawasan ini sangat tinggi. Permasalahan yang paling menonjol di Kampung 1001 Malam adalah kepadatan yang tinggi, kekumuhan, kemiskinan dan sarana prasarana.
Misalnya, satu buah rumah berukuran 24 M² dapat diisi oleh beberapa rumah tangga dengan anggota keluarga berjumlah lebih dari 10 orang. Rumah-rumah pada umumnya tidak memiliki kamar mandi/kakus yang memenuhi syarat standart kesehatan. Anak-anak bermain di gang-gang sempit dan aktivitas rumah tangga yang dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga seperti memasak dan mencuci dilakukan di ruang-ruang luar memanfaatkan jalan atau gang-gang didepan rumah mereka.
Warga kampung 1001 yang awal dulu menetap di bawah Tol Jembatan, kini sudah beranak pinak. Mereka sudah memiliki anak bahkan cucu. Anak-anak tersebutlah yang meneruskan kehidupan orangtua mereka, juga meneruskan pekerjaan mereka.
Saat ini dari 180 KK tersebut, yang sudah memiliki KTP kota Surabaya sebanyak 135 penduduk, sisanya masih berKTP luar Surabaya. Ada yang berasal dari Gresik, Lamongan, Malang, bahkan Madura. Dalam sehari-hari mereka bekerja sebagai pengemis, pemulung, pedagang, pengamen, dan buruh kasar dengan pendapatan sehari-hari yang tidak menentu.
Kampung Miskin di Surabaya
Saat penulis berkunjung ke kampung 1001 Malam, Surabaya, bapak Dewi bercerita, “Bisa dihitung jari yang sekolah di kampung ini, Mas. Salah satunya anak saya, Dewi. Di tengah keterbatasan, kami memiliki impian yang besar agar anak kami bisa kuliah, agar kampung ini tidak dicap negatif terus, dan Dewi bisa menjadi inspirasi bagi yang lain,” ujar Bapak Dewi.
Selama ini di kampung tersebut tidak ada yang menempuh pendidikan formal. Mindset yang terbangun selama ini adalah bekerja dan mendapatkan uang, sehingga jarang sekali yang lulus, bahkan untuk sekolah dasar.
Dewi berbeda, kata Bapaknya. Semangatnya tinggi untuk merubah keadaan kampung tersebut. Ia rela dihina, dicaci, yang terpenting kelak anak-anak kampung 1001 Malam mau merubah mindset, mau sekolah, dan menjadi contoh bagi yang lain.
“Alhamdulillah, beberapa anak di kampung sini sudah mau sekolah, dan orangtuanya juga mau menyekolahkan anaknya. Katanya biar kayak Dewi,” cerita Bapaknya.
Saat liburan dari pondok, Dewi sering mengajari teman sebayanya untuk belajar. Belajar pelajaran apapun, termasuk mengaji. Bahkan Dewi juga mulai merubah iklim warga kampung, dari yang apathis mulai peduli kepada warga sekitar.
Usianya Dewi boleh masih duduk di bangku SMA. Namun ia rela turun dan terjun menebar manfaat kepada sesama. Dewi selalu bercita-cita untuk berpendidikan tinggi, agar usianya yang terus bertambah, bisa bermanfaat untuk sesama.
Dewi, merupakan 1 dari sekian ribu masyarakat miskin di Jawa Timur. Sesuai data BPS, pada tahun 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur (Jatim) mencatat persentase penduduk miskin di Jatim menurun 0,23 persen pada periode September 2024 menjadi 9,56 persen dibanding Maret 2024.Zulkipli Kepala BPS Jatim menjelaskan, jumlah penduduk miskin di periode September 2024 sebanyak 3,893 juta jiwa atau menurun 0,089 juta jiwa dibanding periode Maret 2024.
Menurut penelitian dari Patrica Bela Barbara dan Ema Umilia pada tahun 2020, di Surabaya terdapat 3 cluster dalam memetakan kampung kumuh di Surabaya. Cluster 1 memiliki area kumuh yang semuanya berlokasi di Kecamatan Tegalsari. Cluster 1 terdiri dari area kumuh dengan 2 bentuk dasar yang berbeda. Akan tetapi, nilai yang merepresentasikan cluster 1 mengarah pada bentuk empat persegi panjang (kompak). Permukiman kumuh pada cluster 1 memiliki karakteristik lokasi yang paling dekat dengan pusat kota Untuk karakteristik kekumuhan, cluster 1 memiliki karakteristik kekumuhan yang lebih baik daripada cluster 2 dan 3. Cluster 1 memiliki kepadatan bangunan yang relatif lebih rendah dibandingkan cluster 2 dan 3.
Cluster 2 terdiri dari area-area kumuh yang mayoritas berlokasi di Kecamatan Bubutan namun ada pula yang berlokasi di Kecamatan Simokerto. Cluster 2 terdiri dari area kumuh dengan bentuk dasar yang cukup beragam. Akantetapi, nilai yang merepresentasikan cluster 2 mengarah pada bentuk pita (memanjang). Perkembangan area kumuh pada cluster 2 lebih cenderung mengikuti jalur transportasi yang terdapat di Kecamatan Bubutan, khususnya rel kereta api yang menuju ke Stasiun Pasar Turi.
Cluster 3 terdiri dari area-area kumuh yang mayoritas berlokasi di Kecamatan Simokerto namun ada pula yang berlokasi di Kecamatan Bubutan. Cluster 3 terdiri dari area kumuh dengan bentuk dasar yang homogen, yaitu bentuk pita (memanjang). Seperti halnya dengan cluster 2, perkembangan area kumuh pada cluster 3 lebih cenderung mengikuti jalur transportasi yang terdapat di Kecamatan Simokerto, khususnya rel kereta api yang menuju ke Dipo Lokomotif Sidotopo dan Stasiun Sidotopo.
Dari pemahaman 3 cluster di atas, dapat dipetakan bahwa cluster 1 terdiri dari area kumuh Kedungturi, Wonorejo, Kampung Malang Tengah, Kedondong Kidul, dan Kupang Panjaan. Cluster 2 terdiri dari area kumuh Dupak, Mergorukun, Tembok Dukuh, Asembagus, dan Sidotopo. Cluster 1 dan 2 memiliki ketersediaan dan pelayanan prasarana permukiman yang baik. Konstruksi bangunan pada cluster 1 dan 2 didominasi oleh bangunan permanen. Yang membedakan ialah jenis kegiatan, bentuk dasar, intensitas pembersihan lingkungan setempat, kepadatan bangunan, serta mata pencaharian dan tingkat pendidikan penghuninya. Cluster 3 terdiri dari area kumuh Kemayoran Baru, Kapasari, Kenjeran DKA, Donorejo, dan Gembong. Sebagian besar permukiman kumuh pada cluster 3 memiliki ketersediaan dan pelayanan prasarana permukiman yang termasuk kategori sedang dan buruk.
Senada dengan penelitian di atas, Menurut penelitian dari Pambudi (2020) Di Surabaya sendiri, kampung-kampung kumuh miskin ada di Salah satu daerah yang tergolong miskin di Surabaya adalah Kecamatan Semampir, kecamatan Tambaksari, dan kecamatan Simokerto. Kecamatan Semampir sendiri merupakan kecamatan termiskin dibanding kecamatan lainnya (2020). Selain itu beberapa kelurahan seperti Kelurahan Kapasari, Kampung Nelayan Kejawan Lor, Permukiman di pinggiran selatan Surabaya, Kampung 1001 Malam, Kupang Panjaan, Dupak, Margorukun, Tembok Dukuh, Asembagus, Sawunggaling, Kenjeran, Rungkut Kidul, Kapasari.
Masih banyaknya kemiskinan, ketimpangan, kesenjangan, untuk warga Surabaya ini, maka Pemerintah Kota Surabaya (Pemkot) bekerja sama dengan Baznas sebagai lembaga filantropi yang sudah terbukti mampu mengentaskan kemiskinan di masyarakat. Program-programnya juga terbuti memberdayakan, menjadikan mustahik menjadi muzakki, dan memberikan cahaya bagi mereka yang membutuhkan uluran kasih.
Peran Pemerintah Kota Surabaya dan Baznas
Dalam menangani kemiskinan di kota Surabaya, Pemkot dan Baznas meluncurkan inovasi program bernama Kampung Madani sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat miskin. Pemkot juga menggandeng ormas, lazis, universitas, organisasi, komunitas, dan seluruh stakeholder, untuk bersama sama membentuk kampung madani (Elaine, 2023).
Berangkat dari makna kata madani, Madani berasal dari bahasa arab yang berarti masyarakat sipil (civil society), orang kota, dan/atau beradab. Secara harfiah, makna kata madani berhubungan dengan hak-hak sipil yang berkaitan dengan hukum, nilai, dan norma yang diyakini oleh ilmu pengetahuan(Antara, 2023). Dengan demikian, kampung madani dapat diartikan sebagai kampung yang dalam menjalankan roda kehidupan dan kemasyarakatan mengedepankan prinsip gotong-royong, keswadayaan dan kemandirian ekonomi yang mengoptimalkan peran zakat, infak, sedekah, dan pengelolaan wakaf dari warganya untuk mendukung pembangunan secara multikultural berlandaskan Pancasila selaku nilai dan norma yang berlaku.
Program ini juga, menggandeng berbagai dinas diantaranya kepala badan pemberdayaan masyarakat dan keluarga berencana Kota Surabaya sebagai penanggung jawab dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin, kepala badan perencanaan Pembangunan, kepala badan pengawas, kepala badan pengelolaan keuangan, kepala bagian bina program sekretariat sebagai pengawas program. Kepala bidang pemberdayaan masyarakat pada badan pemberdayaan masyarakat dan keluarga berencaan sebagai koordinator pelaksana program Tingkat Kota Surabaya, kepala sub bidang pemberdayaan ekonomi pada badan pemberdayaan masyarakat dan keluarga berencana sebagai sekretariat pelaksana. Camat sebagai koordinator pembina program Tingkat kecamatan, lurah sebagai koordinator program Tingkat kelurahan, lurah, PKK, LKMK Tokoh mayarakat, Keluarga miskin sebagai pembinaan administrator(Wiratama, 2023).
Tak hanya mensosialisasikan program, Pemkot Surabaya pun turut mengadakan pelatihan kepada Lurah dan Camat seluruh kota Surabaya sebagai bekal lapangan untuk membentuk kader-kader kampung madani di tingkat kelurahan(Intan, 2023). Pertanggung jawaban seluruh program Kampung Madani akan dilaporkan pada aplikasi Kampung Madani milik Pemkot. Program berjalan akan dibantu oleh Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shodaqoh (LAZIS) untuk mengelola hasil wakaf bantuan dari para muzaqi dan menyalurkan bantuan secara produktif kepada warga pra-miskin. Harapannya, program Kampung Madani menghasilkan bantuan berupa natura dan uang kepada masyarakat pra-miskin hingga menjadi masyarakat sejahtera.
Pada akhir 2024, bersama Baznas, Lazis, Pemerintah Kota, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memberikan penghargaan kepada 31 Rukun Warga (RW) yang berhasil mewujudkan Kampung Madani dan Kampung Pancasila. Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, sebelum meresmikan Kolam Renang Jambangan Hore Playland (Jambore). penghargaan tersebut diberikan sebagai apresiasi kepada kampung-kampung yang berhasil membantu mengentaskan kemiskinan melalui donasi sukarela dari warga sekitar. Kampung-kampung ini bisa memberikan bantuan untuk warga yang kurang mampu dengan menerepkan jimpitan, entah itu berupa beras atau barang lainnya. Gotong royong inilah yang diwujudkan di Kota Surabaya (Jatimpemprov, 2024).
Program Kampung Madani ini memberikan solusi nyata untuk mengentaskan kemiskinan, khususnya di Surabaya. Penulis menemui salah satu penerima manfaat dan menyatakan bahwa program ini benar adanya dan memberikan dampak langsung bagi masyarakat tersebut. Baznas, dalam hal ini sebagai pioneer Lembaga filantropi di Indonesia menjawa tantangan dengan program nyata melalui kampung madani dan memberikan sumbangsih untuk membangun Indonesia. Apa-apa yang diberikan rakyat melalui baznas, seperti zakat, infaq, sedekah, dan wakaf, dikmeblaikan Baznas kepda masyarakat dengan program nyata untuk mengentaskan kemiskinan.
Salah satu manfaat program ini adalah sebagian masyarakat yang dulunya tinggal di kampung 1001 Malam. Saat ini meskipun kampung 1001 Malam penduduknya sudah direlokasi di rusunawa, mereka pernah menjadi bagian yang diberi manfaat oleh pemerintah kota, Baznas, ormas, dan lain sebagainya. Dan Dewi, salah satu anak muda yang dulu penulis wawancarai, sudah mendapat bantuan, salah satunya dari Baznas, untuk mewujudkan mimpinya. Dewi adalah perpaduan antara semangatnya yang gigih untuk mencapai cita-cita, dan di tengah keterbatasan, Baznas hadir mewujudkan cita-cita tersebut.
Kisah Dewi adalah satu cotoh diantara ribuan kisah lainnya. Di sekitar kita, berapa banyak Dewi-Dewi yang saat ini di usianya yang terus bertambah, menginginkan hidupnya selalu bermakna. Hidupnya kekurangan, di lingkungan melarat, bahkan untuk hidup besok saja mereka belum mengetahui akan makan apa. Namun keseharian dan impiannya, selalu bermanfaat bagi orang lain.
Bagaimana dengan kita yang hidup berkecukupan, lingkungan yang mendukung, dan fasilitas yang serba ada untuk maju. Sudahkah bisa bermanfaat bagi sesama? Refleksi yang hanya kita bisa menjawabnya dari hati sendiri-sendiri. Usia semakin hari akan termakan oleh sang waktu. Tutup usianya seseorang tidak ada yang mengetahui kecuali sang Maha Pencipta. Yang kita tahu dan perlu lakukan adalah, mempergunakan usia untuk bermanfaat bagi sesama. Sebaik-baik manusia adalah yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Bersama Baznas, memberikan cahaya untuk negeri.
Editor Azrohal Hasan