
Oleh M Ainul Yaqin Ahsan – PRM Kadungrembug
PWMU.CO – Geopolitik Timur Tengah terus menunjukkan gejolak yang sangat dinamika. Iran dan Arab Saudi menjadi dua kekuatan utama yang sering kali melakukan manuver politik maupun militer. Sementara banyak yang melihat Arab Saudi sebagai kekuatan dominan. Pada sisi lain, ada alasan kuat untuk percaya bahwa Iran juga memiliki peran besar dalam mewarnai realitas politik kawasan.
Hal ini terlihat dari bagaimana berbagai pihak terus berusaha memprovokasi agar kedua negara terlibat dalam konflik. Meskipun saat ini Iran dan Saudi tampak lebih bersatu daripada masa-sama sebelumnya.
Ada yang ketakutan jika Islam bersatu
Persatuan negara-negara Islam tampaknya menjadi ketakutan tersendiri bagi kekuatan-kekuatan global nonmuslim. Tanpa memandang aspek ideologis — apakah itu Syiah, Sunni atau bahkan penganut faham sekuler —, ada rasa Islamophobia jika negara-negara berkategori Muslim mampu menyatukan kepentingan. Mereka berpikiran bahwa peta kekuatan dunia akan mampu berubah secara signifikan jika kekuatan Islam bersatu.
Tidak berlebihan jika saat ini ketakutan terhadap dunia Islam (islamophobia), terutama negara-negara Barat dan Israel, masih dipelihara. Mereka bahkan justru berupaya untuk selalu menciptakan dan memastikan ketegangan negara-negara Muslim masih terus berlanjut.
Sejarah menunjukkan bahwa strategi “divide et impera” (pecah belah dan kuasai) telah berulang kali mereka pakai demi untuk menghalangi terjadinya persatuan dunia Islam. Misalnya, konflik antara Iran dan Saudi — yang sering mereka kesankan sebagai konflik karena isu sectarian — pada realitasnya justru karena ada korelasinya dengan politik global dan perebutan pengaruh ekonomi.
Trump, Biden, dan pergolakan politik Amerika
Peran Amerika Serikat dalam konflik Timur Tengah juga bukan tanpa alasan. Donald Trump, meskipun banyak dikritik, sebenarnya berhasil menjaga stabilitas dalam beberapa aspek politik global. Trump telah mengambil langkah kontroversial dengan memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Kebijakan kontroversial itu secara nyata semakin memperburuk situasi di Palestina.
Setelah memperoleh suara terbanyak dan berhasil terpilih menjadi Presiden AS untuk kedua kalinya, Trump berusaha menampilkan citra sebagai pemimpin yang dapat membawa perdamaian, termasuk dalam isu Gaza.
Beberapa jam sebelum Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani mengumumkan gencatan senjata antara Israel – Hamas, Trump mendahului mengatakan bahwa “Israel – Hamas akan genjatan senjata”. Padahal sebelumnya Trump berucap bahwa “akan menjadikan Gaza seperti neraka”.
Strategi Trump ini mirip dengan gaya politik Israel, kala seorang pemimpin berada dalam posisi sulit maka akan mencoba berperan sebagai korban atau pahlawan, tergantung pada situasi yang berkembang.
Pada sisi lain, Joe Biden pada saat akhir kepemimpinannya tampak seperti figur ‘boneka’ daripada figur pemimpin yang memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan. Banyak kebijakannya yang terlihat inkonsisten. Bahkan beberapa analis percaya bahwa Biden sudah tidak memiliki kendali penuh atas pemerintahannya sendiri.
Qatar, pemain kecil dengan pengaruh besar
Qatar mungkin lebih terlihat sebagai negara kecil. Namun Qatar justru menampakkan pengaruhnya dalam diplomasi global dalam skala yang sangat besar. Negara ini berhasil menjadi mediator dalam berbagai konflik besar, termasuk antara Taliban melawan Amerika Serikat. Qatar bahkan mampu menciptakan “safe house” bagi Hamas di Doha, Hal ini menunjukkan bahwa Qatar memiliki peran penting dalam menyeimbangkan kekuatan di Timur Tengah.
Kemampuan Qatar sebagai perantara tanpa label sebagai antek Barat atau teroris adalah hal yang luar biasa. Dengan kekuatan finansial yang besar, Qatar juga menjadi pemodal utama bagi berbagai negara, termasuk Prancis. Hal ini membuat mereka semakin memperhitungkannya dalam setiap negosiasi internasional.
Palestina, adu domba internal dan kepentingan global
Di tengah konflik Gaza, situasi internal Palestina juga semakin rumit. Pemerintahan Mahmoud Abbas (Otoritas Palestina) semakin dipandang sebagai alat Israel untuk mengendalikan wilayah Palestina. Perjanjian Oslo, yang seharusnya menjadi jalan damai, justru menjadi alat bagi Israel untuk mempertahankan kontrol mereka.
Abbas, yang telah berkuasa selama hampir 20 tahun tanpa pemilu, tampaknya lebih memilih untuk menjaga posisinya daripada memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina. Bahkan, dalam beberapa insiden, pasukan otoritas Abbas justru menyerang para pejuang Palestina di Jenin. Hal ini memperlihatkan adanya kepentingan tersembunyi yang berusaha untuk melemahkan perlawanan bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel.
Apa yang terjadi di Palestina, mengingatkan Kembali tentang pola yang sama yang pernah terjadi di negara-negara lain. Pemimpin lokal menjadi alat untuk melawan rakyatnya sendiri demi kepentingan kekuatan asing.
Menuju persatuan atau kehancuran?
Apa yang terjadi pada Kawasan Timur Tengah saat ini bukanlah sekadar konflik internal antar negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Konflik yang terjadi dan cenderung berkelanjutan tanpa batas akhir itu tidak bisa lepas dari adanya permainan tingkat tinggi oleh kekuatan global. Karenai itu, negara-negara Muslim perlu menyadari bahwa perpecahan hanya akan menguntungkan musuh mereka. Sebaliknya, persatuan Islam justru terlihat sebagai ancaman terbesar bagi mereka yang ingin mempertahankan dominasi di kawasan ini.
Peran Iran, Arab Saudi, dan Qatar dalam menjaga keseimbangan kekuatan sangat krusial. Jika negara-negara ini mampu mengesampingkan perbedaan ideologi atau paham mereka dan lebih memilih membangun bekerja sama untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan, bukan tidak mungkin peta politik dunia akan berubah secara drastis dalam dekade mendatang.
Namun, jika mereka masih terus terjebak dalam permainan asing untuk selalu menciptakan konflik internal dan permainan adu domba antar negara Muslim, masa depan dunia Islam pun akan tetap berada dalam kendali pihak-pihak yang selama ini sengaja menciptakan perpecahan tersebut. Waallahu a’lam. (*) Editor Notonegoro