
Oleh Dinil Abrar Sulthani – Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Turki 2022-2024
PWMU.CO – Akhir-akhir ini, kehidupan manusia semakin kehilangan arah. Hal tersebut terjadi karena sudah banyak manusia yang kehilangan kesadaran untuk mengenal Allah sebagai Sang Maha Pencipta, dan mengenali dirinya sendiri sebagai hasil ciptaan Allah.
Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, tidak sedikit manusia yang kehilangan arah. Mereka telah mengabaikan hukum Allah yang telah tersampaikan melalui ajaran agama Islam. Fenomena ini tentu berdampak tidak baik bagi diri manusia itu sendiri. Mereka menjadi makhluk yang merasa bebas tanpa batas, dan tidak merasa khawatir walau telah melampaui batas-batas kewajaran yang telah digariskan oleh ajaran agama.
Padahal intisari dari perjalanan hidup itu sendiri adalah untuk mengenal Allah sebagai yang Maha Pencipta serta Maha Kuasa. Allah mencipta manusia bukan tanpa tujuan dan tanpa Pelajaran. Sebaliknya, apa yang Allah ciptakan justru mengandung banyak pelajaran penting untuk menyadarkan daya ingat manusia agar tidak lupa untuk mengingatNya. Sekaligus untuk membangun kedekatan kepadaNya.
Dengan kata lain, manusia harus selalu berdzikir (ingat) dan berpikir untuk mengenal Allah. Itu semua dapat diperoleh melalui segala sesuatu yang dilihat dan dirasakan oleh manusia di sekitar kehidupannya.
Narasi pikiran yang terbentuk hendaknya menjadikan diri menjadi lebih kenal Allah sebagai penentu takdir manusia. Artinya, segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi sudah dalam ketetapan takdir Allah. Takdir yang mengikat seluruh ciptaan-Nya. Dengan begini, maka akan terwujud pemahaman takdir yang benar bagi setiap manusia.
Manusia perlu melatih dan membiasakan ingatannya tentang Allah. Melatih dan membiasakan untuk terus mengingat Allah merupakan bagian dari cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ingatan manusia memang terkadang hilang (lupa), baik karena faktor internal atau pun kaerna faktor eksternal.
Namun, apapun faktor yang membuat manusia lupa tersebut harus diantisipasi dengan baik. Cara mengantisipasinya dengan melatih dan membiasakan konsisten dalam beribadah dan berdzikir. Dengan demikian, apapun situasi dan kondisi yang terjadi pada manusia maka dengan tegas dan konsisten menjalankan ibadah dengan baik dan maksimal.
Dengan mengenal Allah dan memahami semua fenomena dalam alam semesta, manusia akan meyadari bahwa tidak bisa berpisah dari Sang Maha Pengatur. Mengenal Allah dan ciptaan-Nya yang lain, maka manusia akan menyadari akan dirinya yang selalu bergantung dan terikat dengan pihak lain.
Tempat bergantung (harap) yang sejati dan sesungguhnya hanyalah kepada Allah. Karena itu, ikatan yang paling kuat adalah ikatan kalimat tauhid. Dengan berpegang pada kalimat tauhid, maka menjadikan manusia merasa aman, tenteram dan Merdeka. Orang yang beriman akan merasa berada dalam lindungan dan pembelaan Allah.
Maka, sesungguhnya mengenal Allah adalah landasan beragama yang benar, dan menjadikan diri sendiri secara totalitas bergantung dan berlindung kepada-Nya.
Ada 3 (tiga) hal yang harus manusia lakukan untuk mengenal Allah, yaitu: satu: memahami proses kejadian manusia. Proses kejadian manusia dari awal penciptaan Nabi Adam dan atau lahirnya seorang anak dari rahim seorang Ibu merupakan tanda (dalil) keberadaan dan kekuasaan Allah. Dua: bukti firman Allah dan agama sebagai pedoman manusia. Diantaranya adalah Al-Quran sebagai firman (perkataan) dari Allah yang selalu terjaga keaslian dan relevansinya dengan semua peradaban zaman. Dan, tiga: datang dan perginya manusia dari dunia (kelahiran dan kematian) merupakan pertanda bahwa hidup ada yang abadi yaitu akhirat, sedangkan dunia hanya tempat sementara.
Ada bagian penting yang perlu manusia pahami bahwa perlunya berproses dan berbuat sebagai wujud kedekatan kepada Allah. Maksud berproses adalah beribadah, yang praktiknya tanpa menunggu sempurna. Lakukan mulai dari yang kecil dan sederhana dengan penuh konsisten, dan menambahnya amalan-amalan lain yang sesuai syariat. Sebagai contoh, seseorang berproses dalam shalatnya adalah dengan melakukan tanpa menunggu merasa paham makna shalat, tanpa menunggu hari tua. Tidak perlu merasa malu dikatakan sok alim, sok ahli ibadah. Shalat saja dulu, sambil berjalan (berproses) memperbaiki pemaknaan shalatnya, lebih percaya diri, kemudian terbiasa shalat (habit), dan akhirnya meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya.
Rutinitas beribadah itulah yang membentuk manusia menjadi hamba yang baik di sisi Allah. Hamba yang secara makrifat dan syariat kepada Allah. Makrifat yang bermakna mengenal Allah secara hakikat (esensi). Dan juga bersyariat (menjalankan perintah-menjauhi larangan Allah) dengan sekuat tenaga, sampai hari akhir hayat.
Sedang mengenali penciptaan alam semesta melalui tiga hal, yaitu: 1) alam yang tercipta tunduk kepada aturan (sunnatullah), 2) alam merupakan bukti nyata adanya Pencipta dan Pengatur, dan 3) alam dan segala isinya untuk manusia dan pasti musnah pada waktunya.
Beberapa hal di atas menjadi pertanda bahwa alam ini tercipta tidak dengan sia-sia. Melainkan tercipta untuk bahan pemikiran manusia. Sebagai tempat singgah dan beramal bakti, sudah sewajarnya manusia merawat dan mengelola alam semesta ini dengan baik. Inilah tujuan penciptaan manusia sebagai pemimpin (khalifah) yang berdaya dan memberdayakan alam sesuai syariat ajaran Islam.
Mengenal Allah dan memahami penciptaan manusia merupakan landasan akidah. Manusia harus merasa penting untuk mengetahui asal usulnya dan tempat kembalinya kelak. Dengan mengetahui secara benar dan tepat, manusia cenderung lebih menghargai waktu dan kesempatan yang ada selama hidup di dunia. Waktu dan kesempatan tidak akan berulang, mundur, dan kembali ke awal. Dengan demikian, untuk menghindari penyesalan di kemudian hari dan memaksimalkan masa hidup secara tepat maka sewajarnya manusia taat beragama secara totalitas (fissilmi kaffah). (*)
Editor Notonegoro