
Oleh Muhammad Al Hafidz – mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta
PWMU.CO – Kesultanan Utsmani (Ottoman) adalah salah satu kekhalifahan Islam terbesar dalam sejarah, yang berkuasa selama lebih dari enam abad (1299–1924). Pada puncak kejayaannya, Utsmani menguasai wilayah yang sangat luas, mencakup sebagian besar Timur Tengah, Eropa Tenggara, dan Afrika Utara.
Namun, menjelang akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, kekhalifahan ini mulai mengalami kemunduran yang disebabkan serangan dari kekuatan Eropa, serta munculnya gerakan-gerakan reformis dan separatis di dalam dunia Islam. Salah satu gerakan yang berperan dalam dinamika politik pada masa itu adalah gerakan Wahabi di Jazirah Arab.
Sejarah Wahabi
Gerakan Wahabi muncul pada abad ke-18 di Jazirah Arab, sebagai pendirinya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang ulama dari Najd yang mengembangkan paham keislaman yang sangat puritan. Ia menolak berbagai praktik yang dianggap sebagai bid’ah (inovasi dalam agama). Ia menyerukan kembali kepada ajaran Islam yang lebih ketat — sesuai dengan interpretasinya terhadap pemahaman tauhid dan sunnah Nabi.
Gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab ini mendapat dukungan dari Muhammad bin Saud, seorang pemimpin lokal di Najd. Kemudian menjadikan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai ideologi resmi dalam membangun kekuasaannya.
Gerakan Wahabi memiliki tujuan utama untuk membersihkan Islam dari praktik-praktik yang dianggap menyimpang, seperti ziarah kubur, pemujaan wali, dan berbagai bentuk tasawuf yang berkembang di dunia Islam saat itu.
Namun, dalam praktiknya, gerakan ini tidak hanya berfokus pada reformasi agama. Wahabi juga memiliki ambisi politik untuk memperluas pengaruhnya. Dengan dukungan keluarga Saud, Gerakan Wahabi berhasil menaklukkan banyak wilayah di Jazirah Arab, termasuk Makkah dan Madinah pada awal abad ke-19.
Konflik dengan Kesultanan Utsmani
Kesultanan Utsmani, ketika dalam kekuasaan Sultan Mahmud II, menganggap gerakan Wahabi sebagai ancaman serius terhadap otoritasnya. Sebagai penjaga dua Kota Suci, Makkah dan Madinah, Kesultanan Utsmani memiliki tanggung jawab untuk memastikan stabilitas di wilayah tersebut. Oleh karena itu, ketika kelompok Wahabi merebut Makkah dan Madinah, Utsmani tidak tinggal diam.
Sultan Mahmud II memerintahkan gubernurnya di Mesir, Muhammad Ali Pasha, untuk menumpas gerakan Wahabi. Pada tahun 1811, Muhammad Ali mengirim pasukan besar ke Hijaz untuk merebut kembali kota-kota suci. Setelah pertempuran sengit, pasukan Utsmani-Mesir berhasil mengalahkan Wahabi dan merebut kembali Makkah dan Madinah pada tahun 1818. Pemimpin Wahabi saat itu, Abdullah bin Saud, ditangkap dan dieksekusi di Istanbul.
Meskipun kekalahan ini melemahkan Wahabi untuk sementara waktu, gerakan ini tidak sepenuhnya musnah. Keturunan keluarga Saud terus berjuang untuk membangun kembali kekuasaannya, yang pada akhirnya berhasil mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada awal abad ke-20.
Pengaruh Gerakan Wahabi dan runtuhnya Kesultanan Utsmani
Meskipun gerakan Wahabi bukanlah faktor utama yang menyebabkan runtuhnya Kesultanan Utsmani, Namun ia berkontribusi dalam beberapa aspek penting:
1. Melemahkan otoritas Utsmani di Jazirah Arab
Meskipun Utsmani berhasil merebut kembali Makkah dan Madinah pada tahun 1818, pemberontakan Wahabi menunjukkan bahwa kekuasaan mereka di Jazirah Arab semakin rapuh. Akhirnya, pada awal abad ke-20 Kesultanan Utsmani tidak mampu mengendalikan wilayah ini, dan kekuasaannya jatuh ke tangan keluarga Saud atas dukungan Inggris.
2. Menambah beban militer dan ekonomi Utsmani
Perang melawan Wahabi telah menguras sumber daya militer dan ekonomi Kesultanan Utsmani. Pada saat yang sama, Kesultanan Utsmani juga menghadapi ancaman kekuatan Eropa, seperti Rusia, Inggris, dan Prancis. Juga berbagai pemberontakan di wilayah Balkan dan Afrika Utara.
3. Munculnya Pengaruh Asing di Timur Tengah
Gerakan Wahabi, meskipun awalnya bertujuan untuk memperkuat Islam, tapi pada akhirnya justru membukakan jalan bagi intervensi Inggris di kawasan tersebut. Inggris melihat keluarga Saud sebagai sekutu potensial yang dapat melemahkan Utsmani, sehingga mereka memberikan dukungan diplomatik dan militer kepada Wahabi dalam berbagai kesempatan.
4. Meningkatnya gerakan separatis di dunia Islam
Kebangkitan Wahabi memberikan gambaran bahwa kelompok-kelompok lokal di dunia Islam bisa menantang otoritas pusat Utsmani. Hal ini menginspirasi berbagai gerakan separatis lainnya, baik di Jazirah Arab maupun di wilayah lain seperti Mesir, Suriah, dan Irak.
Kesimpulan
Gerakan Wahabi memang bukanlah penyebab utama runtuhnya Kesultanan Utsmani, tetapi juga memiliki peran penting dalam melemahkan otoritas kekhalifahan, terutama di Jazirah Arab. Perang melawan Wahabi menunjukkan bahwa Utsmani semakin kesulitan mempertahankan wilayah-wilayahnya yang jauh, sekaligus menghadapi tekanan dari kekuatan Eropa. Di sisi lain, gerakan Wahabi juga menandai perubahan besar dalam politik Islam, dengan munculnya kekuatan-kekuatan lokal yang menantang hegemoni pusat.
Akhirnya, meski Kesultanan Utsmani mampu bertahan hingga awal abad ke-20, faktor internal dan eksternal yang semakin kompleks membuat kejatuhannya tidak terhindarkan. Pada tahun 1924, kekhalifahan Utsmani secara resmi dihapuskan oleh Mustafa Kemal Ataturk, dan menandai berakhirnya sebuah era dalam sejarah Islam.
Gerakan Wahabi sendiri terus berkembang dan akhirnya menjadi kekuatan utama di Arab Saudi modern, yang hingga hari ini memainkan peran penting dalam politik dan keislaman di dunia Muslim. (*)
Editor Notonegoro