
Oleh Dr KH Nurbani Yusuf – Wakil Ketua PDM Batu dan Pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar
PWMU.CO – Surat pertama Al-Qur’an yang turun adalah Al-A’laq ayat 1-5. Surat terakhir yang turun adalah al-Maidah ayat 3. Tapi mengapa Surat Al-Faatihah di taruh di awal surat, dan Surat An-Naas di taruh di paling akhir? Itulah kodifikasi Kitab Suci Al-Qur’an yang tidak ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam (saw).
Kodifikasi Al-Qur’an adalah bid’ah yang nyata. Kata Sayyidina Abu Bakar radi allahou anhu (ra) khalifah pertama. Tidak ada uswah dan contoh dari Nabi saw. Sayidiina Abu Bakar ra menolak keras ketika Sayyidina Umar ra mengusulkan penulisan Kitab suci Al-Qur’an yang berserak pada pelepah kurma, lempengan batu, kulit binatang dan atau pada hapalan para sahabat dalam satu mushaf.
70 sahabat hafidz syahid pada perang Yamamah. Usulan kodifikasi Al-Qur’an pun makin menguat karena khawatir kitab Suci Al-Qur’an akan menghilang.
Soal berikutnya adalah: Apakah hapalan para sahabat sama dengan kodifikasi pada susunan dalam Mushaf Usmani seperti yang sekarang kita baca?
***
Masa Nabi saw hingga Khalifah Abu Bakar ra tidak kita jumpai shalat taraweh yang pelaksanaannya secara berjamaah. Hingga suatu ketika Sayyidina Umar ra melihat jamaah mengerjakan shalat sendiri-sendiri sehingga tampak tidak beraturan. Beliau perintahkan Ubay Bin Kaab untuk menjadi imam shalat taraweh pertama di dunia.
Sayyidina Umar ra berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian Sayyidina Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab.
Sayyidina Utsman ibn Affan pun menambahkan adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwayatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra’, sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.
***
Awalnya Al-Qur’an berserak di lempengan batu, kulit binatang, pelepah kurna dan hapalan para sahabat. Kemudian ada kodifikasi dalam susunan yang rapi yang tidak ada pada masa nabi saw.
Awalnya mengerjakan shalat tarawih secara sendiri-sendiri. Sampai kemudian Sayyidina Umar menjadikan satu jamaah bersama seorang imam hingga berkembang seperti sekarang di masjid dan mushalla Muhammadiyah. Pelaksanaannya dalam satu paket Shalat Taraweh: di awali ifthar, Ifititah, kultum, taraweh, witir dan taddarus.
Awalnya “majelis dzikir” juga hanya sendiri-sendiri, bertiga, berlima dalam halaqah sederhana pelaksanaannya tidak beraturan dengan bacaan yang tidak sistematis.
Jika wahyu kalam Allah saja boleh ada kodifikasi lantas kenapa kalimat dzikir tak boleh disusun rapi agar mudah dibaca, dihapal dan diamalkan?
Bukankah masa Nabi saw tak ada Bahtsul Masaail atau Hizbah atau Majelis Tarjih yang berfungsi untuk melakukan validasi, mentarjih hukum-hukum syariat yang diperselisihkan? Bahkan sampai menyesatkan yang tidak sepandangan karena beda sedikit?
Jika menganggap Tarjih, Bahtsul Matsaail, Hizbah sebagai ubudiah khusus yang mendapatkan pahala, bukankah itu juga bid’ah yang nyata?
***
Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab “sebaik-baik bid’ah adalah ini” mengatakan: “Pada mulanya, bid’ah terpahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar’i, bid’ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid’ah itu tercela.”
Padahal sebenarnya, jika bid’ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid’ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bid’ah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela.
Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja untuk mengerjakannya. Singkat kata, hukum bid’ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam”. (*)
Editor Notonegoro