
PWMU.CO – Kejaksaan Republik Indonesia adalah instansi pemerintah yang memiliki wewenang untuk menjalankan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan, serta melaksanakan tugas lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai Dominus Litis, kejaksaan memiliki peran sentral dalam mengelola dan mengendalikan proses penanganan kasus pidana.
Dengan posisi yang strategis dalam sistem peradilan pidana, kejaksaan menjadi lembaga yang satu-satunya berhak memutuskan apakah suatu kasus layak diajukan ke pengadilan berdasarkan bukti-bukti yang sah sesuai dengan prosedur hukum pidana.
Menanggapi kondisi diatas, pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Samsul Arifin menegaskan bahwa rancangan KUHAP yang baru, muncul persoalan mengenai perluasan kewenangan Kejaksaan yang dinilai terlalu berlebihan.
“Jika sebelumnya asas Dominus Litis memberikan kontrol kepada Kejaksaan dalam batasan tertentu, rancangan baru justru memperkuat posisi kejaksaan dengan memberikan hak kontrol yang hampir absolut,” papar Arifin dalam keterangannya pada Sabtu (8/02/2025).
Dia juga menambahkan bahwa salah satu bentuk kewenangan yang diperluas adalah kemampuan kejaksaan untuk melakukan intervensi terhadap suatu perkara apabila dalam waktu 14 hari kepolisian tidak mengambil tindakan terhadapnya.
“Kewenangan ini memunculkan perdebatan terkait keseimbangan peran antar-lembaga penegak hukum. Karena memberikan wewenang kepada Kejaksaan untuk masuk lebih awal dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan yang secara tradisional merupakan ranah kepolisian. Menurut saya selama ini tidak ada persoalan soal itu,” jelas Arifin.
Selain itu, rancangan KUHAP yang baru juga menimbulkan kekhawatiran dalam hal penentuan sah atau tidaknya tindakan hukum seperti penangkapan dan penyitaan. Dalam sistem peradilan yang berlaku selama ini, kewenangan untuk menentukan keabsahan proses penyidikan, termasuk penangkapan dan penyitaan, adalah hak prerogatif hakim melalui mekanisme pra-peradilan.
“Hakimlah yang seharusnya berwenang untuk menilai apakah suatu proses hukum telah dilakukan sesuai dengan aturan atau justru melanggar hak asasi tersangka. Namun, rancangan KUHAP yang baru berpotensi menggeser kewenangan ini dengan memberikan peran yang lebih dominan kepada kejaksaan dalam menilai keabsahan proses-proses tersebut sebelum perkara diajukan ke pengadilan,” imbuhnya.
Arifin juga menyangkal soal argumen efisiensi atas perubahan tersebut. Efesiensi semata tidak dapat dijadikan satu-satunya tolak-ukur keberhasilan dalam penegakan hukum. Jika kontrol yang diberikan kepada kejaksaan terlalu besar, hal ini dapat mengganggu prinsip checks and balances didalam criminal justice system harus dilakukan proporsional agar dapat dipastikan adanya keseimbangan kekuasaan di antara lembaga penegak hukum.
Dengan kewenangan yang semakin luas, ada potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mengancam independensi lembaga lain, terutama kepolisian dan pengadilan, yang memiliki peran penting dalam memastikan proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan. (*)
Penulis Amanat Solikah Editor Azrohal Hasan