
Oleh Alfi Saifullah – Penulis kolom, buku biografi & sejarah
PWMU.CO – Waktu terus berjalan mengiringi berbagai problematika dan sengkarut kehidupan yang selalu mengisi benak pikiran manusia. Setiap manusia akan selalu berhadapan dengan 2 (dua) pertanyaan tentang arah yang tujuan. Apakah akan menuruti hasrat pribadi atau mengikuti panggilan nurani untuk berbuat kebaikan?
Sebuah penggalan ayat Al-Quran pada surat Al-Baqarah 148 dan surat Al-Maidah 48, menawarkan jawaban praktis atas pertanyaan tersebut. Sebuah panggilan revolusioner yang cukup menggugah, “Fastabiqul Khairat”. Potongan ayat yang selalu di ulang-ulang dari mimbar ke mimbar, di sudut-sudut senyap pesantren, hingga pada meja para akademisi yang penuh dengan kumpulan teori-teori.
Apa itu Fastabiqul Khairat?
Dalam pengertian literalnya, Fastabiqul Khairat bermakna berlomba-lomba dalam kebaikan. Menjadi terjemahan yang baku dan primer, muttafaqun alaih pada benak sebagian besar umat Islam. Sebuah terjemahan yang sederhana, namun cukup menggugah semangat untuk melakukan kebaikan.
Pertanyaan, apakah tepat kata “Fastabiqul Khairat” itu bermakna sebagai perlombaan? apakah Allah Yang Maha Bijaksana benar-benar meminta manusia berlomba untuk menang, pada sebuah perkara yang seharusnya tidak ada unsur menang dan kalah? Tidak adakah makna Fastabiqul Khairat yang lebih relevan dalam konteks kekinian?
Saya memang bukanlah seorang mufasir. Pengetahuan agama yang saya miliki juga pas-pasan. Satu- satunya kitab tafsir yang pernah saya kaji saat berguru pada seorang kiai hanyalah “Tafsir Jalalain” karya Imam Jalaluddin As-Suyuti dan Imam Jalaluddin Al-Mahalli. Kalaupun berikutnya pengetahuan agama saya bertambah, entah karena membaca berbagai buku agama, diskusi, kajian atau mendengarkan ceramah, itu semata-mata Rahmat Allah. Karenanya, saya tidak akan mengkomparasikan berbagai penafsiran para ulama terhadap ayat tersebut. Cukup membatasi diri dengan Tafsir Jalalain yang sedikit saya ketahui isinya.
Imam Jalaluddin memaknai Fastabiqul Khairat dalam surat Al-Baqarah ayat 148 dengan narasi, “badiru illa at-Toati wa qobuliha” (bersegeralah kamu sekalian kepada ketaatan dan penerimaan atasnya). Sedangkan dalam surat Al-Maidah ayat 48 dengan narasi, “sari’ u ilaiha” (bergegaslah kamu sekalian terhadap kebaikan).
Secara bahasa, keduanya memiliki makna yang sama, bergegas, segera, atau cepat-cepat. Kiai Haji Achmad Warson Munawwir dalam kamusnya menjadikan kata badara (bergegas) sebagai sinonim dengan kata saro’a (cepat-cepat).
Jika maknanya adalah berlomba-lomba, maka sama dengan kompetisi. Dalam dunia bisnis, politik, pendidikan, bahkan dalam kehidupan sosial sehari-hari sekalipun, kompetisi telah menjadi salah satu wajah dunia yang tak terelakkan. Kita sering melihat pertarungan antar individu dan kelompok untuk mencapai posisi tertinggi, bahkan jika perlu mengorbankan orang lain atau merusak lingkungan. Kompetisi semacam ini, dalam banyak hal, mengarah pada kesenjangan yang semakin lebar antara pemenang dan mereka yang kalah.
Dalam semua levelnya, kompetisi selalu identik dengan dominasi individu atau kelompok tertentu, selalu muncul pemenang dan mereka yang kalah. Akan memunculkan kesombongan bagi pemenang dan keputus-asaan bagi yang kalah. Pemenang mendominasi, yang kalah tersingkirkan dari arena percaturan. Pada level ini, benar apa yang menjadi tesis Thomas Hobbes, homo homini lupus, bahwa manusia menjadi pemangsa sesamanya.
Dalam sebuah perlombaan, terdapat wasit, catatan waktu, garis finis, dan medali. Sebaliknya dalam bergegas menuju kebaikan tidak ada angka yang perlu di hitung. Tidak ada sistem perangkat yang menentukan siapa yang lebih baik. Pun tidak butuh sorak-sorai dan tepuk tangan penonton. Ia semacam gerak sunyi yang kerap tak disadari keberadaannya oleh setiap individu. Ia seperti akar, tersembunyi dalam tanah, menolak dihitung, menolak dijadikan perlombaan, namun menjadi organ yang fundamental.
Tanpa kesempatan kedua
Realitasnya, kita acapkali terjebak dalam deretan angka-angka. Berapa kali ibadah umroh atau naik haji? Berapa jumlah orang yang telah kita bantu? masjid yang kita bangun? Berapa besar donasi yang telah kita keluarkan? Seberapa lama wirid yang telah kita lafalkan? Berapa pula jumlah pahalanya?
Fastabiqul Khairat bukan tentang angka-angka, menang atau kalah, melainkan ketepatan dan efesiensi waktu, seberapa cepat kita segera melakukannya. Karena terdapat sebuah kesadaran, bahwa waktu acapkali tak memberi kesempatan untuk kedua kalinya. Seperti kata seorang bijak, “bergegaslah berbuat baik, karena kesempatan berbuat baik adalah pintu, dan tidak ada yang tahu kapan pintu itu akan tertutup untukmu selamanya”.
Karena itu, mari melakukan kebaikan dan tidak saling menunggu. Bukan untuk mengalahkan orang lain, tapi hanya berjalan. Tidak saling mendahului, tetapi untuk mendahului keterlambatan. Sebab ada hal-hal, yang jika tak melakukannya dengan segera akan kehilangan makna.
Meminjam istilah Marcus Aurelius dari tradisi klasik Filsafat Stoa, “ini hanyalah masalah momentum”, ada kebaikan yang tak bisa menundanya. Ada niat baik yang jika tak segera dijalankan, hanyalah ingatan samar yang tak pernah nyata, menjadi bias dan kerak di angan-angan. Wallahu a’lamu bish Shawab.
Editor Notonegoro