
Oleh: Wildan Nanda Rahmatullah – Alumnus Ilmu Sejarah Unair
PWMU.CO – Memasuki bulan Februari, tak bisa lepas dari perayaan Hari Valentine yang jatuh pada tanggal 14. Budaya ini telah menyebar ke seluruh dunia sebagai simbol kasih sayang antarpasangan. Menjelang Hari tersebut, banyak minimarket, restoran, dan bisnis FnB lainnya menawarkan paket khusus, seperti cokelat dan bunga. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, Hari Valentine memiliki sejarah panjang dengan beberapa versi yang menggambarkannya.
Festival Lupercalia
Festival Lupercalia digelar setiap 15 Februari oleh masyarakat Romawi Kuno yang masih menganut kepercayaan pagan. Perayaan ini dikenal penuh darah dan kekerasan, bahkan mengandung unsur pelecehan. Tradisinya mencakup pengorbanan hewan serta praktik perjodohan dan pembentukan pasangan secara acak, yang dipercaya dapat mengusir roh jahat serta meningkatkan kesuburan.
Dilansir dari History, belum diketahui asal-muasal Lupercalia. Namun, para sejarawan meyakini perayaan ini sudah digelar sejak abad ke-6 SM. Penamaan Lupercalia sendiri dinisbatkan pada serigala betina yang merawat Remus dan Romulus (pendiri kota Roma dalam legenda Romawi kuno) ketika masih bayi. Serigala tersebut dinamai oleh Remus dan Romulus dengan nama “Lupercal”.
Festival ini dimulai di Gua Lupercal, yang terletak di Bukit Palatine, serta di Comitium, tempat pertemuan terbuka bangsa Romawi. Di Gua Lupercal, festival dibuka dengan penyembelihan seekor kambing jantan, yang melambangkan seksualitas, serta seekor anjing, oleh Luperci, sekelompok pendeta Romawi. Setelah itu, pisau yang masih berlumuran darah hewan kurban dioleskan ke tubuh dua orang Luperci yang tidak mengenakan busana. Kemudian, noda darah tersebut dibersihkan menggunakan kain wol yang telah direndam dalam susu.
Ritual pengorbanan kemudian disusul dengan pesta telanjang atau setengah telanjang, serta perjodohan secara acak.
Tak jarang, pasangan yang berjodoh kemudian jatuh cinta dan menikah. Seiring waktu, unsur ketelanjangan dalam festival Lupercalia ditiadakan. Festival ini dianggap semakin sakral, meskipun tetap mengandung unsur kekerasan, seperti para perempuan yang dicambuk oleh laki-laki.
Kematian Santo Valentinus
Sejarah lain yang diyakini sebagai cikal bakal dirayakannya hari Valentine adalah setelah tragedi dipenggalnya Santo Valentinus, seorang Uskup Agung yang dikenal sebagai pelindung orang-orang yang jatuh cinta. Dikisahkan bahwa Kaisar Romawi saat itu, Claudius II, menetapkan kebijakan yang melarang laki-laki lajang untuk menikah dan mewajibkan mereka bergabung menjadi tentara.
St Valentinus menolak perintah tersebut dan diam-diam menikahkan muda-mudi Kristen yang sedang jatuh cinta. Namun, tindakan St Valentinus tersebut diketahui oleh pihak kekaisaran Romawi sehingga ia dijebloskan ke penjara.
Di dalam penjara, ia dikisahkan membantu anak kepala sipir yang mengalami kebutaan. Meski cerita ini sangat populer, beberapa sejarawan percaya bahwa ada lebih dari satu pria bernama Valentinus yang dieksekusi atas perintah Kaisar Claudius II.
Terlepas dari ambiguitas cerita ini, Gereja Katolik menetapkan Santo Valentinus sebagai Martir Kristen dalam Martirologi Romawi pada 14 Februari. Dalam agama Katolik, Martir Kristen adalah julukan yang diberikan pada orang yang berani berjuang sampai meninggal untuk membela iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan.
Festival Lupercalia Dihapus, Namun Tradisi Valentine Tetap Berlanjut.
Setelah abad ke-5 M, Festival Lupercalia dihapus setelah Paus Gelasius I menetapkan 14 Februari sebagai hari untuk mengenang kemartiran Santo Valentinus. Namun, tradisi perayaan kasih sayang ini tetap berlanjut hingga kini.
Berbeda dengan masyarakat modern yang merayakan 14 Februari sebagai hari kasih sayang, Paus Gelasius I meniadakan Festival Lupercalia karena dianggap sebagai bagian dari tradisi pagan bangsa Romawi Kuno. Hal ini juga didukung oleh beberapa pakar Alkitab, yang memperingatkan umat Kristiani untuk tidak merayakan Valentine karena berakar dari ritual kaum pagan.
Masih banyak ketidakjelasan terkait asal-usul festival Lupercalia maupun pengaruhnya terhadap perayaan hari Valentine. Para sejarawan menghubungkan Valentine dengan Lupercalia karena ada beberapa korelasi antara kedua perayaan tersebut. Contohnya adalah penggunaan pernak-pernik berwarna merah pada hari Valentine, dimaknai melambangkan ritual kurban dalam festival Lupercalia.
Valentine Kini: Memadu Kasih Bersama Pasangan, Berujung Nanas Muda
Di era modern, masyarakat merayakan Hari Valentine dengan saling memberikan hadiah kepada pasangan mereka. Namun, perayaan ini juga sering dilakukan oleh pasangan yang belum terikat dalam pernikahan. Tak jarang, hari Valentine menjadi ajang bagi sebagian pasangan untuk untuk melakukan perzinaan.
Maka, netizen berpendapat bahwa penjual nanas muda akan meraup keuntungan besar setelah Hari Valentine, karena banyak pasangan yang mencarinya. Hal ini dikarenakan nanas muda diyakini dapat menggugurkan kandungan.
Sebagai warga Persyarikatan Muhammadiyah yang berkomitmen pada dakwah Islam Berkemajuan, tentu tidak ikut merayakan Hari Valentine, yang sejak awal sejarahnya penuh dengan peristiwa berdarah dan bahkan melambangkan objektifikasi perempuan.
Seharusnya, kita bisa memanfaatkan momen Valentine untuk kegiatan yang lebih positif, seperti mengedukasi masyarakat agar lebih memahami sejarah Hari Valentine serta larangan mendekati perzinaan. Sebab, perayaan ini berakar dari tradisi pagan masyarakat Romawi Kuno. (*)
Editor Ni’matul Faizah