
PWMU.CO – Rapat Koordinasi Nasional Khusus (Rakornassus) Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat (LP2 PP) Muhammadiyah yang digelar di Pesantren Modern Internasional Dea Malela Sumbawa, NTB menghadirkan akademisi terkemuka dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yakni Dekan Fakultas Studi Islam sekaligus Direktur Pengembangan Pelajar dan Mahasiswa Asing, Prof Dr Nahla Shabry As-Sha’idy, pada Kamis (13/2/2025).
Dalam kesempatan ini, ia menjelaskan peluang studi bagi santri Muhammadiyah di Universitas Al-Azhar serta mekanisme pengiriman dosen Al-Azhar ke Indonesia.
Sesi ini diawali dengan pengantar dari Prof Dr M Din Syamsuddin, yang menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang telah mendukung terselenggaranya Rakornassus. Ia menjelaskan makna istilah Dea Guru, sebutan bagi tokoh agama di Sumbawa, yang berasal dari kata dewa dan diya’ (cahaya) dalam bahasa Arab.
“Sinergi antara pesantren Muhammadiyah dan lembaga pendidikan Islam dunia, terutama Al-Azhar sebagai pusat keilmuan Islam dengan sejarah panjang, sangat penting,” ujarnya.
Mengawali penyampaiannya, Prof Nahla menjelaskan bahwa calon mahasiswa yang ijazahnya tidak muadalah (tidak diakui langsung oleh Al-Azhar) harus melalui tiga tahapan.
“Pertama, mengikuti dauroh (pelatihan) selama tiga bulan sebagai syarat masuk ke tahap muadalah. Kedua, jika tidak lulus, harus mengikuti dauroh kembali hingga memenuhi standar yang ditetapkan. Ketiga, mengikuti program dauroh bahasa Arab khusus bagi para mudir pesantren, yang dapat menjadi bekal dalam pengajaran bahasa Arab di lembaga masing-masing,” jelasnya.
Program Pengiriman Dosen Al-Azhar ke Indonesia
Selain membahas studi bagi santri, Prof Nahla juga menjelaskan program pengiriman dosen dari Al-Azhar ke Indonesia. Program ini memiliki dua skema utama:
‣ Program Reguler
Dosen Al-Azhar dikirim ke Indonesia melalui koordinasi dengan Kedutaan Besar Mesir. Seluruh akomodasi ditanggung oleh Al-Azhar, sehingga tidak membebani pesantren yang menerima.
‣ Program Dosen Musim Panas (durasi 2 bulan)
Dalam program ini, akomodasi dan uang saku dosen ditanggung oleh pondok pesantren atau institusi yang mengundang. Skema ini memberikan kesempatan bagi pesantren untuk mendapatkan bimbingan langsung dari dosen Al-Azhar dengan jadwal yang lebih fleksibel.
Ia juga menjelaskan bahwa petinggi Al-Azhar mengadakan program Dosen Musim Panas karena beberapa alasan.
“Pertama, Al-Azhar melihat banyak pesantren di Indonesia yang ingin menghadirkan dosen untuk memperkuat kualitas pembelajaran. Kedua, salah satu tantangan utama adalah biaya yang cukup besar jika pesantren mengirim santrinya ke Mesir. Oleh karena itu, pesantren dapat mengajukan permohonan resmi ke Al-Azhar untuk mendatangkan dosen langsung ke Indonesia,” tuturnya.
Setelah sesi pemaparan, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Beberapa peserta menanyakan bagaimana cara pesantren Muhammadiyah mendapatkan status muadalah dari Al-Azhar. Prof Nahla kemudian menjelaskan langkah-langkah berikut:
1. Pesantren harus mengirimkan surat resmi ke Al-Azhar atau ke kantor Prof Nahla sebagai perwakilan.
2. Menyiapkan berkas-berkas administratif yang diperlukan untuk pengajuan muadalah.
3. Muadalah dapat diajukan secara kolektif untuk beberapa pesantren sekaligus.
4. Untuk memudahkan komunikasi, akan dibuat grup WhatsApp khusus yang melibatkan pihak Al-Azhar.
Sebagai penutup, Prof Nahla memberikan motivasinya, “Man kanat bidaayatuhu muhriqoh, kaanat nihaayatuhu musyriqoh (Barang siapa yang awal perjalanannya penuh perjuangan dan tantangan, maka akhir perjalanannya akan bersinar terang).”
Sesi pertama Rakornassus ini membuka wawasan para peserta tentang peluang studi di Al-Azhar serta mekanisme pengiriman dosen Al-Azhar ke Indonesia. Dengan terjalinnya kerja sama yang lebih erat antara pesantren Muhammadiyah dan Al-Azhar, diharapkan semakin banyak santri dan tenaga pendidik yang memperoleh akses pendidikan Islam berkualitas dari sumber yang terpercaya. (*)
Penulis Arif Maeshawl Nur Jagad Editor Ni’matul Faizah