
PWMU.CO – Konflik Palestina memasuki babak baru dan semakin kompleks. Tiga peristiwa yang benar-benar menarik perhatian terjadi belakangan ini. Hal ini menunjukkan dinamika geopolitik yang terus berubah. Negara-negara Arab menyatakan persatuan untuk membantu Gaza. Amerika Serikat masih memainkan peran ambigu dengan ancaman dan dukungan terselubung. Sementara Israel kembali melancarkan serangan di pinggiran Gaza. Di tengah situasi ini, muncul pula pidato dari juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Ubaidah, yang memberikan semangat baru bagi perjuangan rakyat Palestina.
Satu perkembangan paling signifikan adalah keputusan negara-negara Arab dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terbaru. Negara-negara Arab sepakat untuk tidak membiarkan pemaksaan terhadap rakyat Gaza untuk keluar dari tanah air mereka, sebuah strategi Israel untuk menguasai wilayah Palestina secara de facto.
Sebagai bentuk komitmen, negara-negara Arab menyiapkan dana sebesar 53 miliar dolar untuk membangun Gaza yang porak poranda. Meskipun terlihat besar, dana sebesar itu sebenarnya masih tergolong kecil dibandingkan potensi ekonomi kawasan. Namun, lebih dari sekadar bantuan finansial, keputusan ini menunjukkan tekad negara-negara Arab untuk memperkuat Gaza dan Palestina secara militer, ekonomi, dan politik, agar tidak lagi bergantung pada bantuan luar.
Strategi Zionis Israel, dari Pemilu hingga Senjata
Di sisi lain, Amerika Serikat dan zionis Israel terus memainkan strategi tarik-ulur. Donald Trump, dalam video provokatifnya, secara terang-terangan meremehkan kapasitas negara-negara Arab dalam membangun Gaza. Pada saat yang sama, Amerika Serikat kembali mengirimkan pasokan senjata ke Israel. Ini menunjukkan bahwa mereka telah menyiapkan skenario untuk merespons dinamika politik di Palestina. Terutama jika Pemilu mendatang menghasilkan kemenangan bagi Hamas.
Pemilu Palestina menjadi salah satu momen krusial. Survei menunjukkan 80% rakyat Gaza dan 70% rakyat di Tepi Barat cenderung memilih Hamas. Ini menjadi ancaman bagi faksi Fatah dan Otoritas Palestina yang di pimpin oleh Mahmoud Abbas — yang selama ini terlihat gagal mewakili aspirasi rakyat Palestina.
Sejarah membuktikan bahwa setiap kali ada persatuan di Palestina, Israel merespons dengan agresi militer. Pada tahun 2014, setelah Ismail Haniyah menginisiasi rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah, Israel langsung melancarkan serangan brutal dengan dalih “Operasi Protective Edge“. Kemungkinan besar, jika Hamas menang dalam Pemilu mendatang, Israel akan menggunakan taktik serupa untuk menggagalkan pemerintahan baru Palestina.
Dilema Negara-Negara Arab
Persoalan Palestina bukan hanya masalah Gaza, tetapi juga bagian dari krisis yang lebih luas di dunia Arab. Suriah, Yaman, Sudan, dan Somalia adalah beberapa negara yang saat ini juga mengalami kehancuran dan krisis kemanusiaan. Negara-negara Arab menghadapi tantangan besar, di satu sisi mereka ingin mendukung Palestina, tetapi di sisi lain mereka juga harus menangani konflik internal di kawasan mereka sendiri.
Selain itu, Palestina hingga saat ini belum diakui sebagai negara berdaulat penuh oleh PBB, terutama karena adanya veto dari Amerika Serikat sebagai anggota tetap PBB. Akibatnya, meskipun negara-negara Arab ingin memberikan bantuan militer secara langsung, mereka terbentur oleh hukum internasional. Berbeda dengan Suriah, yang sudah mendapat pengakuan sebagai negara berdaulat sehingga berhak meminta bantuan dari Turki atau Iran. Palestina masih berada dalam status yang tidak jelas di mata hukum internasional. Inilah yang membuat negara-negara Arab tidak bisa secara terang-terangan mengirimkan bantuan militer ke Gaza.
Titik kritis masa depan Palestina
Konflik Palestina tak sekadar pertarungan antara Hamas dan Israel, melainkan bagian dari dinamika politik global yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar dunia. Amerika Serikat, Rusia, China, dan negara-negara Eropa memiliki kepentingan masing-masing dalam konflik ini. Sementara negara-negara Arab berada di persimpangan antara membantu Palestina atau menjaga stabilitas mereka sendiri.
Keputusan KTT Arab untuk bersatu dalam membangun Gaza adalah langkah positif, tetapi tantangan ke depan masih sangat besar. Jika Hamas menang dalam Pemilu mendatang, maka kemungkinan besar akan terjadi eskalasi konflik dengan Israel. Negara-negara Arab harus mencari strategi yang lebih efektif untuk mendukung kemerdekaan Palestina tanpa terjerumus dalam perang berkepanjangan.
Palestina telah bertahan dalam perjuangan panjang selama lebih dari tujuh dekade. Pertanyaan besarnya adalah, “apakah dunia akan membiarkan sejarah terus berulang, atau akankah ada titik balik yang membawa Palestina menuju kemerdekaan sejati?” (*)
Editor Notonegoro