
Oleh L.ya Esty Pratiwi SH, MH, CMe – Dosen Fakultas Hukum UMSurabaya, APIMU Regional Jatim
PWMU.CO – Kasus korupsi yang kian merajalela di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah dan penegakan hukum sangat rentan untuk disalahgunakan. Korupsi merupakan kejahatan yang sangat kompleks dari sekadar melanggar hukum. Dalam konteks ini, korupsi sudah menjadi penyakit kronis yang mengancam pembangunan, serta kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Korupsi memiliki efek sangat besar dan merugikan berbagai aspek kehidupan di negeri ini. Salah satu yang terdampak signifikan adalah sektor perekonomian. Korupsi ‘mencuri’ anggaran yang seharusnya untuk belanja pengembangan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Anggaran berorientasi untuk kepentingan bersama, justru berakhir berbelok ke kantong oknum pejabat secara tidak bertanggung jawab.
Korupsi secara nyata juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi hukum. Ketika kejahatan korupsi yang melibatkan pejabat terkuak, penegakan hukum justru tampak melemah dan cenderung tebang pilih. Masyarakat pun akhirnya semakin ragu terhadap komitmen pemerintah terhadap pengurangan korupsi. Ketidakpercayaan ini dapat berdampak negatif pada stabilitas sosial dan politik karena masyarakat merasa tidak ada harapan untuk sistem yang ada.
Dengan kata lain, korupsi secara nyata memberi dampak negatif terhadap kualitas layanan publik. Karena mental koruptif, pelayanan kepada masyarakat menjadi tidak optimal. Infrastruktur pun tidak terawat dengan baik, terjadi penurunan kualitas fasilitas kesehatan dan pendidikan. Kesenjangan sosial kian melebar dan semakin menghambat kemajuan negara. Korupsi juga melambungkan angka kemiskinan.
Perlu strategi melawan korupsi
Korupsi bukan hanya tindakan yang melanggar hukum, tetapi juga merupakan penyakit sosial yang menghambat kemajuan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat. Kasus-kasus korupsi menimbulkan keprihatinan terhadap efektivitas pengawasan serta komitmen pemerintah dalam memerangi praktik tersebut.
Kasus korupsi terbesar di awal tahun ini melibatkan perusahaan energi milik negara, PT Pertamina. Pada 25 Februari 2025, Undang-Undang Pendapatan Hasil Kejahatan (IOCA) mengungkap kasus tersebut dan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap tujuh orang terkait dugaan korupsi di Pertamina, anak perusahaannya, serta kontraktor swasta. Perintah penangkapan ini terbit setelah ada laporan ke PPRG untuk Intelijen dan Investigasi Kriminal AO TOJ.
Kegiatan ilegal yang berlangsung dari 2018 hingga 2023 diperkirakan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun (setara dengan USD 11,9 hingga 12 miliar). Tujuh tersangka, termasuk CEO Pertamina Patra Niaga dan CEO Pertamina International Shipping, di duga melanggar regulasi yang mewajibkan mereka untuk memesan minyak mentah dari Pertamina—yang lebih murah dibandingkan minyak mentah impor. Selain itu, biaya pengangkutan minyak mentah oleh Pertamina International Shipping di duga telah mengalami mark-up sebesar 13% hingga 15%.
Selain itu, kasus yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan Indonesia, Thomas Lembong, juga menarik perhatian. Ia ditangkap segera setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto atas tuduhan membiarkan perusahaan swasta mengimpor gula, yang diduga menyebabkan kerugian pendapatan negara hingga 400 miliar rupiah. Namun, banyak pihak mengklaim bahwa penangkapan tersebut bermotif politik, mengingat Lembong merupakan kritikus vokal terhadap kepemimpinan Joko Widodo.
Kasus-kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan internal dan eksternal di Indonesia. Kolusi, kurangnya pengawasan, dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi faktor utama yang memungkinkan praktik korupsi terjadi. Politik turut berperan besar dalam memperburuk situasi ini, karena keterlibatan elit politik yang memperoleh keuntungan finansial dan kerap terjerat skandal korupsi. Sistem politik yang sarat kepentingan membuat calon pejabat berusaha menggalang dana dengan cara-cara tidak sah, termasuk korupsi, yang pada akhirnya berdampak buruk pada tata kelola pemerintahan dan kualitas pelayanan publik.
Korupsi membawa kerugian di banyak sektor di Indonesia. Secara ekonomi, korupsi menggarong uang dari anggaran untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan sistem kesehatan. Uang yang seharusnya bermanfaat untuk pembangunan masyarakat justru masuk ke tangan pemimpin yang di anggap tidak bertanggung jawab. Korupsi juga memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi hukum. Ketika skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi terungkap, kurangnya penegakan hukum yang tepat semakin memperdalam ketidakpuasan publik terhadap komitmen pemerintah untuk memerangi korupsi, yang dapat berdampak negatif pada stabilitas sosial dan politik.
Untuk menghentikan korupsi, Indonesia harus mengambil langkah-langkah sistematis dan serius.
- Memperkuat Sistem Pengawasan dan Peradilan
Pengawasan eksekutif terhadap publik dan kepala pemerintahan perlu penguatan. Selain itu, lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian harus memiliki kebebasan dalam melakukan investigasi serta penuntutan kasus korupsi tanpa adanya campur tangan politik. Reformasi pada sektor peradilan juga diperlukan untuk menutup celah hukum dan memastikan hukuman yang lebih berat bagi para pelaku korupsi. - Meningkatkan Transparansi dan Digitalisasi Sistem Keuangan
Pemerintah harus menerapkan sistem keuangan yang transparan dan memungkinkan publik untuk memantau pengeluaran negara, terutama dalam penggunaan anggaran. Audit independen yang transparan dan akuntabel perlu diterapkan guna mencegah penyimpangan dana. Selain itu, regulasi terkait pendanaan partai politik dan kampanye pemilu harus diperketat. Negara juga perlu menyediakan pendanaan yang memadai bagi partai politik agar mereka tidak bergantung pada sumber dana ilegal. Pengawasan ketat terhadap dana kampanye juga harus dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan uang publik demi kepentingan politik pribadi.
Pendidikan anti korupsi
Salah satu aspek penting dalam upaya pemberantasan korupsi adalah pendidikan anti-korupsi. Pendidikan ini harus ditekankan sejak usia dini agar generasi mendatang memahami dampak buruk korupsi serta pentingnya integritas sosial. Selain di institusi pendidikan formal, pendidikan anti-korupsi juga perlu diintegrasikan ke dalam organisasi non-pemerintah dan lingkungan kerja.
Selain melalui pendidikan, pemberian hukuman yang lebih berat bagi pelaku korupsi juga menjadi langkah penting. Hukuman, misalnya, perlu mencakup pencabutan hak politik serta penyitaan seluruh aset kekayaan yang terkait dengan tindak korupsi. Tindakan ini bertujuan agar hukuman memiliki efek jera yang lebih kuat dan dapat mencegah praktik korupsi di masa depan.
Partisipasi aktif masyarakat juga memegang peranan dalam pengawasan terhadap tindakan korupsi. Warga negara perlu lebih proaktif dalam memantau aktivitas pemerintah dan melaporkan indikasi korupsi melalui media sosial, forum publik, atau mekanisme pelaporan anonim. Selain itu, perlindungan hukum bagi whistleblower harus diperkuat agar mereka merasa aman dalam melaporkan tindakan korupsi tanpa rasa takut terhadap ancaman atau intimidasi.
Kasus-kasus besar korupsi yang baru-baru ini terjadi di Indonesia menjadi pengingat bahwa korupsi masih menjadi masalah mendasar bagi bangsa ini. Meskipun berbagai upaya sistemik telah dilakukan, evaluasi dan perbaikan yang lebih komprehensif masih sangat diperlukan. Tanpa langkah-langkah pencegahan yang sistematis dan pengawasan yang lebih ketat, korupsi akan terus menjadi hambatan dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, pengawasan terhadap praktik korupsi di Indonesia harus terus ditingkatkan.(*)
Editor Notonegoro